Living Surabaya: Traffic

Bulan ini genap sudah saya dua tahun bermukim di kota para buaya (hahaha) yang konon juga merupakan kota terpanas di Indonesia. Untuk sema...



Bulan ini genap sudah saya dua tahun bermukim di kota para buaya (hahaha) yang konon juga merupakan kota terpanas di Indonesia. Untuk sematan gelar yang terakhir rasanya cukup membuat saya mengrenyitkan dahi, berhubung fakta bahwa di Indonesia, terutama Kalimantan dan Sulawesi, rasanya lebih banyak kota yang dilintasi langsung ekuator, sehingga di bulan-bulan ini matahari cuman seinci dari puncak monas...like there's monas in Borneo, yeah! Atau kala musim kering mahapanas melanda Nusa Tenggara yang mengakibatkan luasnya padang rumput gersang habitat para kuda yang susunya digemari pria-pria perkasa tersebut. Tapi pertanyaan soal panas-nya Surabaya hampir selalu menjadi topik basa-basi bagi semua orang yang ingin menanyakan kabar settling saya ke ibukota Jawa Timur ini.

Well, Surabaya sebetulnya jauh lebih rindang daripada Jakarta lho! Di jejalur utama yang lebar jalannya hampir mencapai 50 meter itu biasanya didominasi oleh peneduh di pembatas jalur. Bukan sekedar basa-basi semacam penampakan bibit pohon yang dibuat PemKot, tetapi betul-betul merupakan pohon yang besar dan tinggi. Jika berkesempatan, coba browse sepanjang Jalan A.Yani, Jalan Kertajaya, Jalan Darmo dan sebagainya.

Surabaya juga tidak lebih gersang daripada Solo, kota yang sudah saya anggap sebagai hometown disamping kota kelahiran. Sungai adalah jejalur sekunder yang dominan di Surabaya. Kota ini dibentuk dari delta sungai yang membentuk formasi kaki burung. So, bisa dibayangkan liku sungai di pelosok kota. Ditambah fakta bahwa sungai di Surabaya mungkin bersaing dengan pemandangan Danube di Hungaria, atau Missouri di Grand Rapids, Amerika Serikat. Dimensi sungai sangat besar dan airnya mengalir lancar, jauh dari kesan kali Ciliwung di Jakarta atau kali Code di Jogja. Jadi, sekali lagi, gambaran kondisi fisik Suarabuaya (hehe) itu mungkin tidak seburuk yang dibayangkan. At least saya merasa demikian.

Tapi satu hal "buruk" yang tepat dengan analisa saya adalah mengenai kultur dan perilaku orang Surabaya. Sejak awal, banyak cerita mengenai tabiat orang Surabaya, either itu orang Jawa Timuran, atau native Madura yang memang banyak mendiami sudut kota pahlawan ini. Orang Surabaya digambarkan bertempramen "panasan" atau mudah tersulut emosi, sekaligus tidak sabaran. Oprah Winfrey pernah berkata, bahwa cara untuk menguji kesabaran orang adalah ketika ada di dalam traffic circumstances (kira-kira terjemahan tepatnya apa ya...situasi lalu lintas-kah? - pen). Dan dalam skala besar, ketika kita ingin mengetahui kultur perilaku sekelompok orang di sebuah wilayah, lihatlah keadaan lalu lintasnya - masih menurut presenter beken tersebut. Somehow, petuah Oprah itu selalu teringat di kepala saya sepanjang saya menyusuri jejalur lalu lintas di Surabaya selama dua tahun ini. Ciri utama dari watak legendaris orang Surabaya yang "panasan" itu memang tercermin dari perilaku lalu lintas mereka.

Dare to take challenge?


Cobalah, di tengah situasi traffic padat, katakanlah jam 9 pagi, kita tiba-tiba memberhentikan mobil ditengah jalan - Err...kalo itu terlalu iseng, mungkin ketika mobil Anda tiba-tiba mogok di jalan? Hmm...nauzubillah juga sih ya - Begini saja, jika kita tidak kunjung bergegas begitu lampu hijau menyala, bisa dipastikan tingkat desibel polusi suara di jalan tersebut akan meningkat drastis! Sahutan bunyi klakson akan segera menghujani kita. Jadi jangan sekali-sekali santai ketika tanda boleh jalan menyala. Atau cegah situasi yang potensial membuat Anda mogok di tengah-tengah kepadatan lalu lintas. Alih-alih membantu, hal seperti itu justru akan memberi beban mental yang luar biasa besar.

Tetapi bagi orang Surabaya, teror klakson semacam itu rasanya sudah menjadi kultur. Ingin bermesraan berdua dengan berjalan lambat? Surabaya bukan tempat Anda bung! Bisa-bisa puluhan kendaraan di belakang Anda akan meneror dengan bunyi klakson mereka, untuk lantas melenggang santai mendahului kita yang masih "shock". Ingin berpindah jalur? Sebaiknya lakukan itu sejak 400 meter sebelumnya, sebab selain berpotensi menambah polusi suara, Anda juga berpeluang untuk bersabar menghadapi caci maki dari orang-orang. Mungkin itu sebabnya putar balik di kota ini bisa sampai 5 kilometer panjangnya, atau bahkan tidak ada putar balik!

Kadang bagi pendatang baru seperti saya dulunya, hal-hal seperti sangat membuat kesal. Hanya untuk kemudian mengelus dada, sambil membenarkan teori Oprah mengenai karakter penduduk setempat. Rasanya, saya tidak bisa mengelak ketika ditanya tentang tempramen "panasan" orang-orang Surabaya. Saya bukan humas anyway, jadi sisi itu terus terang memang melelahkan di kala hari yang kita lalui sudah cukup buruk. Saya terbiasa dibuai dengan habit pengendara yang "lembut" di Solo dan Jogja (meski tetap saja ada bajingan yang mencoba mengacau statement itu). Dan hidup bersama lalu lintas Surabaya adalah stressful.

Beruntung, pohon-pohon peneduh di tengah jalan betul-betul memberi efek terapi hijau bagi saya dan mungkin pengendara lainnya. Atau berjalan beriring dengan alur sungai yang besar dan masif seperti di jalan Ngagel. Tidak terbayang rasanya jika tekanan mental di lalulintas kota tersebut harus dilalui dengan pemandangan gersang. Jika demikian, mungkin justru saya yang akan turut berubah "panasan". Tapi alhamdulillah, selama dua tahun berselang ini rasanya saya masih cukup sabar untuk tidak turut serta menghadirkan teror mental bagi pengendara yang mendapat musibah mogok di jalan. Atau tidak agresif mengambil sikap ketika lampu hijau menyala seperti halnya balapan MotoGP.

Terlebih lagi, panjangnya jarak putar balik justru membuat lalu lintas Surabaya jarang terkena kemacetan parah. Untunglah, sebab saya tidak bisa membayangkan tingkat kebisingan yang akan terjadi jika terjadi kemacetan parah. Barangkali suara klakson dari Surabaya akan sampai ke kota Anda?

After all, itulah bagian dinamika dari hidup di kota yang kini berusia 714 tahun.

* Rencananya, saya ingin membuat rangkaian tulisan berseri mengenai kota yang tengah saya perjuangkan untuk bisa menjadi hometown ini. So, doakan dan dukung (melalui feedback) agar bisa konsisten ya!

Image source: dementad.com

Related

urban living 1224563294118665773

Posting Komentar Default Comments

5 komentar

Daeng Ipul mengatakan...

hmm..surabaya yak..ini satu2nya ibukota di pulo Jawa yg gak terlalu gw kenal. klo ke Seamrang sering lewat SBY sih, tp lebih banyak cm sekedar lewat. turun di bandara, ke terminal, udah..baliknya jg gitu, dr terminal ke bandara doang.pernah nginap, tp dulu banget, taon 92, itupun cm sehari krna transit pas mo ke JKT.

kota terpanas di Indonesia..?, ah, masak sih..mgkn blum dibandingkan dng Makasar kali, kayakx sih gak lebih panas dr Makassar deh. walopun minggu2 belakangan ini Makassar lagi adem2nya, mendung terus ampir tiap hari..

trus klo soal trafficnya, koq sama kayak Makassar ya..?, di sini juga kayak gitu Man. kesadaran lalu lintas org Makassar masih memprihatinkan, bahkan klo gw bilang, masih sedikit di bawah Jakarta. khususnya lagi klo bicara sopir angkot (di sini namanya pete2). kadang2 mereka bisa seenaknya main salip ato nyebrang, ato brenti demi penumpang tanpa peduli pengguna jalan yg lain.

mgkn klo gw tinggal di SBY, perasaan kayak tinggal di kampung sendiri kali ya..?.

wah, gw kangen ama suasana Jogja en Semarang nih...suasana tenang dan sangat bersahabat dengan orang2nya yg sederhana dan nrimo...

Helman Taofani mengatakan...

Kalo sopir angkot mah dimana-mana seenak jidat...hhehehehe. Kan makin ngawur, makin banyak anak ABG yang ngefans ke mereka (pengalaman pribadi jadi ABG yang demen nae angkot ngebut).

Tantri Nugraha mengatakan...

bener nih, mo menjadikan hometown?but selama 2,5 thn di "kota para buaya" banyak sudah pengalaman yg indah dan ternyata setelah balik Jkt ngangenin juga tuh makanannya......sampe2 minta dikirimin petis sana tuk bikin entah tahu tek or lainnya, termasuk masak rawon jadi kekangenan tersendiri....SurabYA oh Surabaya

Helman Taofani mengatakan...

Ya usaha settling in lah mBa. Tapi siapa tau dari pusat sono pengen saya ke Jakarta atau gimana kan, at least udah nambah hometown lagi (saya ini nomaden lho...). Hehehehe.

Kalo rawon teh, at least Rawon Syaithon yang legendaris itu udah dicicip jadi bisa bawa cerita. Tapi emang enak siy...

Anonim mengatakan...

Man.. surabaya kota tercintaku ini, penduduknya patuh aturan*. Trus, sifat panasan mereka wajar dong, kota bisnis gituloh.. harus gerak cepat, gesit.
* kalo ada hadiahnya

Kepatuhannya dibanding jakarta maah... jakarta cuma seupilnya.. liat tu motor di jkt, yg pake helm brapa sih? mobil di jkt, pake sabuk pengaman aja masih gagu.. Kalo macet pun di sby ga bakalan sampe ber jam-jam spt jakarta, krn orgnya mau diatur, juga ada komunitas radio jalan yg solid juga yg ikut menjaga kondisi lalin pd khususnya dan kota pada umumnya.
Kondisi jalur2 jalanan juga lebih teratur sby.

Dibanding makassar sih, mungkin tindak tanduknya mirip, tapi makassar ga serame sby deh prasaan.. panasnya nylekitan sby, makassar panasnya cuma panas kering aja gt..

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item