Solo in 32 Hours (Pt. 02)

Solo adalah kota yang luar biasa dinamis di sepanjang 24 jam-nya. Bukan dengan aktivitas-aktivitas modern-nya, tetapi warisan kultural yang...


Solo adalah kota yang luar biasa dinamis di sepanjang 24 jam-nya. Bukan dengan aktivitas-aktivitas modern-nya, tetapi warisan kultural yang membuat selalu ada saja "klangenan" untuk selalu berotasi 24 jam.

Salah satu saksinya adalah (mantan) Taman Sriwedari. Dulu, taman tersebut menjadi salah satu highlight besar dalam atraksi budaya di kota Solo di malam hari. Selain ragam wahana yang tak kunjung diperbarui (kalah canggih dengan organiser Pasar Malam dari Klaten), juga terdapat pendopo dan teater yang menampilkan Wayang Orang. Di daerah tersebut juga berderet macam pub dan warung malam yang dulu juga identik dengan "aktivitas malam"-nya.

SOLO MALAM HARI
Sekarang? Setelah Solo Theatre kolaps beberapa tahun yang lalu, kegiatan di Sriwedari juga turut stop. Ketika saya dan Gina ke sana, yang tersisa tinggal pendopo (foto) dan beberapa arcade jualan yang "hidup segan mati tak mau". Satu-satunya hal positif yang tersisa adalah mungkin kini Sriwedari bakal makin lekat dengan citra kesenian. Itu tampak dengan beberapa orang yang tengah jamming perkusi di bawah teduhnya atap joglo pendopo. Sementara di dekat Gapura Seni, ada provider telekomunikasi yang tengah mempersiapkan sebuah acara. Sinergi yang menarik dinanti di kemudian hari. Yang jelas, matinya Stadion R. Maladi yang berdampingan dengan Sriwedari juga memperparah lesunya kawasan ini.

Bukti lain tentang fleksibilitas Solo di bermacam tengara waktu bisa diamati ketika senja. Saya dan Gina, setelah ber-citywalk dan rehat sejenak di hotel, menyambung ke daerah Pasar Kembang untuk mencicipi Bestik Harjo. Kita browse dengan becak dari hotel menyusuri sepanjang Jalan Gajah Mada yang tengah memulai geliat aktivitas malamnya. Kios-kios kuliner mulai menyebarkan aroma masakan yang khas dan menjadi daya pikat bagi siapa saja yang menelusuri jalan tersebut. Di antaranya kita melewati "hik" terkenal di monumen pers yang sering menjadi tujuan wisatawan dengan kopi jos-nya (they invented first, tapi sekarang di-branding habis-habisan oleh rivalnya, sebuah angkringan di Jogja). Dari monumen pers lurus melewati seafood pak Petruk di depan Novotel, menyeberangi Jalan Slamet Riyadi, melewati harum semerbak bunga di Pasar Kembang dan akhirnya sampai di situs salah satu kuliner khas Solo ini, Bestik Harjo.

BESTIK HARJO
Satu yang harus diacungi jempol adalah, dulu Bestik Harjo ini harus bersaing dengan Kafe Solo yang ada tepat di depannya (Jalan Dr. Rajiman). Tetapi kemarin, ternyata Kafe Solo, yang dimiliki budayawan Sardono W Kusumo, juga sudah diakuisisi oleh "Waroeng Steak/WS", dan Bestik Harjo masih bertahan dengan gagah, bahkan membuka beberapa cabang. Hahaha.

Bestik Harjo sejatinya dikembangkan dari chinese food kaki lima. Menu-nya tidak jauh berbeda dengan chinese food yang kita kenal, macam capcay, koloke, kamarbola, fuyunghay, dan sebagainya. Hanya saja, jika chinese food banyak memakai saus (tomat/cabe), maka Bestik Harjo lebih banyak menggunakan kecap (satu lagi bukti premis saya di posting sebelumnya). Rasanya jadi berbeda dari masakan chinese biasa, dan justru bumbunya itulah yang menonjol. Saya memesan kombinasi menu jagoan dari warung ini, yakni bestik lidah, ati ampela dan daging (atau ayam). Gina sendiri memesan "risoles kuah" yang lebih mirip dadar gulung disiram kuah kecap yang khas. Bloody gewd!

FUTSALISSIMO
Selepas icip Bestik, saya sudah dinanti beberapa teman kuliah untuk bernostalgia di Coppa Futsal, penyedia lapangan futsal dengan bahan sintetis. Dulu, waktu kuliah saya lumayan aktif menginisiasi aktivitas sepakbola di kampus Arsitek yang dulunya terkenal sepi kegiatan, bernama Arch et Futbol (AeF) . Mulai dari bermain bola di lapangan, futsal di depan kampus, sampai diskusi mengenai bola yang saya tempel di mading kampus. Hasilnya masih terasa sampai sekarang, dengan rata-rata "alumni" AeF masih solid dan berkomunikasi dengan baik. Acara futsal di Coppa tersebut juga tak lebih dari sekedar trip down to memory lane. Bergembira dengan bermain bola, seperti dulu kala. Tapi kondisi fisik karyawan yang telah saya sandang membuat durasi permainan yang saya jalani hanya sebentar. Haha. Plus, Gina memutuskan balik lebih cepat ke hotel karena pengen menonton grand final Indonesian Idol. Jadi, baru bermain sekitar 15 menit, saya stop dan mengantar Gina ke hotel, sebelum saya meneruskan rendezvous dengan teman-teman AeF.

Selepas futsal, reuni sepertinya tanggung untuk diakhiri, sehingga kita memutuskan pindah tempat. Mulanya, saya sebetulnya pengen mencoba "pusat kuliner" yang baru dibuka di daerah Gladak. But it was Saturday Nite and packed with zillion people. So, nevermind...kita bergeser sedikit ke hik di jembatan Pasar Gede. Ke Solo tanpa nongkrong di hik ibarat haji tanpa umrah.

FENOMENA HIK
Hik
adalah "kafe" original Solo, kembaran angkringan di Jogja. Konon keduanya sama-sama berasal dari daerah Ceper, Klaten. Yang satu menuju Jogja, dan berganti nama dengan angkring. Satunya lagi ke Solo dan diberi nama hik. Dua-duanya adalah fenomena budaya kuliner unik, karena seolah seragam memberi harga. Jadi, jika di Solo atau Jogja, makan di hik manapun akan menjumpai harga es teh, gorengan, krupuk rambak, dan nasi bungkus (sego kucing) yang relatif sama (kalau beda paling selisih beberapa ratus perak).

Di Solo ada beberapa hik yang beken. Hik pak Kumis di Manahan, pak Gerok di Jajar, hik Kodim di depan Sriwedari, hik STSI (bagi mahasiswa UNS dan STSI), dan saya malah baru tahu jika hik di jembatan Pasar Gede juga bisa dikategorikan hik yang beken.

Hik yang ramai biasanya diidentifikasi dengan jumlah pengunjung yang sudah jelas tidak akan mampu tertampung oleh kuota gerobak dorong yang menjadi pusat tatasurya warung. Biasanya, pedagang hik menyediakan tikar untuk di swa-gelar oleh pengunjung yang membutuhkan. Karena hik ini biasanya epifit di lahan kota (baca: pedestrian), jadi jangan heran kalo menjumpai gelaran tikar hik ini bisa mencapai 200 meter di kanan dan kiri.

Demikian yang terjadi di hik jembatan Pasar Gede (depan Balai Kota). waktu kita datang (jam 9), ekspansi hik ini sudah mencapai di depan bank BNI (sebelah barat) dan hampir ke Mie Gajah Mada di sebelah timur (melewati jembatan). Tapi jangan kuatir, karena asisten penjual (saya kok kurang tega mengatakan "pelayan") hik pasti selalu bisa mengantar pesanan kita, meski resikonya jika mau nambah dan sebagainya harus bergerak bak komet ke pusat tata surya. Hehehehe...

Kita ngobrol di hik sampai tengah malam (sekitar 3 jam). Itu masih tergolong waktu yang singkat, dulu saya sering menghabiskan waktu dari jam 8 sampai jam 3 pagi! Hik adalah magnet yang bisa menggali ide dan pikiran untuk tertuang dalam diskusi-diskusi informal. Jika Paris mempunya cafe-nya yang melahirkan Sartre dan Picasso, maka di Solo hik telah memberi nafas kritis ke orang macam WS Rendra. Saking berhutang budi ke hik, jika mentas di Taman Budaya Surakarta, Rendra hampir pasti memborong satu gerobak hik untuk menggelar dagangannya di tempatnya pentas. Usai pentas dia akan lesehan menikmati "wedangan" di hik sambil berdiskusi dengan apresiatornya.

Jika mau melanjutkan usai santap hik, di Solo ada banyak gravitasi kuliner yang buka mulai dinihari. Dari Gudeg Ceker yang sohor, atau Nasi Liwet di stasiun Balapan. Tapi karena Gina sudah menunggu di hotel, saya harus segera balik ke hotel, untuk melanjutkan agenda esoknya, yakni kembali menjelajah bakso - makanan favorit Gina. Jadilah hari pertama di Solo berakhir. Episode 8 jam terakhir mungkin saya sambung di postingan selanjutnya. Masih TBC ya...

Related

travelogue 4819928499467124689

Posting Komentar Default Comments

8 komentar

Bazoekie mengatakan...

Pertamaxxx nih...
Sriwedari, Kira2 tahu rencana pengembangan terbaru kawasan ini ga Man? I miss it...
Kabar "Gedung Wayang Orang" piye?Tambah ngenes ga?
Ngehik...?paling kangen karo "Pisang Owol"dan "Ceker"-nya.
Hasil Futsal-nya piro2?
Ngegolke ra kau?
Banyak tanya neh...

Helman Taofani mengatakan...

Rencana pengembangan Sriwedari ngga tau Bas. Mungkin emang bakal jadi "art and cultural center"-nya Oslo.

Gedung Wayang Orang, surprisingly masih ada pertunjukan lho, kemarin judulnya "Indrajid Polah".

Kemarin cuman kebagian 5 pisang owol Bas...kuwi wis dipangan Maul, Danang, Imam, CL karo Fuad.

Hasil Futsale ra dietung Bas. Okeh-okeh pokoke. Aku ngegolne siji thok. Hehehe...

donlenon mengatakan...

terakhir ke solo pas ada Jupiter MX costume contest di lapangan panahan, itu pun dua tahun yang lalu..
meski terbentang cuma '2 jam', kesempatan untuk bertandang ke solo amat lah jarang T_T

Anonim mengatakan...

Eehh.. lo lupa bilang bahwa yang TOB markotob itu Bestiknya.. Cuit cuiiit... edang ngilerably pisan euy!

Helman Taofani mengatakan...

@Don Lenon:
Manahan kali, bukan Panahan...hehehe.

@Gina:
Ah lu mah bakso doank maunya...hahaha.

Andri Journal mengatakan...

Seingatku,aku pernah ke sriwedari cuma dua kali..Pertama,nonton dandung konser bersama mesiahnya..Dan yg kedua,nonton goyang ngebornya mbak inul.. ^_^

Helman Taofani mengatakan...

Mbuh ki Ndri, wingi Dandung ra iso dihubungi. Padahal neng Solo Square lagi ono festival band.

donlenon mengatakan...

oh, iya mas... sori saya emang sering kali lupa adanya awalan dan akhiran terutama me-... ^_^

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item