"Run Like a Lightning Bolt"

Lupakan saja paranoia konspirasis di posting -an saya sebelumnya. Faktanya, seisi dunia saat ini tengah menyambut dua rekor prestisius dari ...


Lupakan saja paranoia konspirasis di posting-an saya sebelumnya. Faktanya, seisi dunia saat ini tengah menyambut dua rekor prestisius dari lintasan atletik. Sama seperti di kolam, pencipta kegilaan ini berasal dari hanya satu individu.

Tanpa mengesampingkan pemecahan rekor di ajang lain, tapi di setiap Olimpiade yang paling ditunggu publik adalah gelar "citius", alias gelar manusia tercepat di muka bumi. Publik dulu berdebat, parameter mana yang harus digunakan, apakah lari 100 meter atau 200 meter. Lari 100 meter adalah standar sprint, sementara lipat duanya dianggap sebagai track yang lebih prestise, lantaran memiliki tikungan dan trek lurus. Pada 1997, "kompromi" sederhana pernah dipentaskan, dengan mempertandingkan nomor 150 meter - yang terdiri dari 75 meter tikungan dan 75 meter trek lurus - namun tidak diakui IOC. Strategi sprinter menghadapi trek lurus dan tikung memang berbeda. Yang pertama memanfaatkan gaya lenting dari blok start (power, kecepatan, pengambilan start dan hal fisik lain berperan), sementara yang kedua adalah masalah aerodinamika (teknik berbicara). Oleh karena itu, bagi mereka yang bisa menguasai keduanya, layak dinobatkan sebagai insane. Seperti Michael Phelps di lintasan renang.

Rekor 100 meter putra, saat ini, memang lebih hip. Terjadi kejar-kejaran rekor dalam setahun belakangan. Situasi ini mirip dengan persaingan sengit antara Carl Lewis dan Ben Johnson di masa lampau. Rekor dunia oleh pelari Jamaika, Asafa Powell pada kejuaraan Atletik, September 2007 menghapus nama Maurice Greene yang sudah bertahan selama delapan tahun! Langgengnya rekor Greene sempat memicu nada minor tentang gengsi 100 m putra di dua Olimpiade lampau (Sydney 2000 dan Athena 2004). Medali emas Greene sendiri di Sydney, dan Justin Gatlin 4 tahun kemudian terasa hambar. Seolah mereka bukanlah sang citius, inferior di bawah rekor sembilan koma tujuh puluh sembilan detik.

Mungkin saking sakralnya, rekor itu jadi seperti mental-block. Buktinya, ketika Asafa menajamkan rekor Greene di 2007 -dengan raihan 9.74 detik- itu seperti membuka keran pemecahan rekor. Tyson Gay (AS) lantas juga melampaui raihan Greene, meski tidak mampu menembus rekor Powell, tepat di kejuaraan pemanasan sebelum Olimpiade. Tak hanya itu, sebelum Greene, rekor dunia Powell malah sudah ditajamkan oleh sesama Jamaican Runner bernama Usain Bolt. Bolt kemudian menggenapinya di "real deal", alias final 100 m Olimpiade Beijing. Medali emas pertama bagi negeri Bob Marley tersebut di kancah Olimpiade. Tanah reggae, negeri rasta dan kini pemilik para pelari handal seperti Powell, Bolt dan trio penguasa medali di 100 meter putri, Shelly-Ann Fraser, Sherone Simpson dan Kerone Stewart.

Bolt yang baru berusia 22 tahun (kelahiran 1986) itu sudah melesat 0.02 detik lebih kencang daripada Powell untuk mengukir rekor di sebuah kejuaraan atletik, akhir Mei lalu. Dan seolah pentahbisan namanya, Bolt berlari dengan "kekuatan cahaya" untuk menembus rekornya sendiri di final 100 meter putra Olimpiade Beijing 2008. Dalam final yang digelar dalam kondisi sempurna tersebut (handicap angin: nol!), Bolt sebetulnya sempat memperlambat larinya setelah mengetahui dirinya unggul telak dari peraih medali perak, Richard Thompson. Tapi, meski memperlambat larinya, Bolt bisa mengukir waktu 9.69 detik, menembus mitos bahwa manusia tak ada yang mampu berlari di bawah 9.7 detik.

"Mustahil mengejar Usain. Dia berlari sangat cepat, dan saya rasa medali perak melawannya adalah hal terbaik yang bisa saya raih," ujar Thompson di konferensi pers. "Saya melihat Usain melesat, meski dia mengalami start yang buruk. Ketika lajunya melambat sebelum finish, dia tetap tak terkejar." Konon, ketika pengumuman pecahnya rekor seratus meter putra diumumkan, seisi Bird Nest Stadium bergemuruh. Tanpa memandang asal negara dan ras, semuanya bersorak karena menjadi saksi sejarah yang luar biasa.

Bolt tidak berhenti. Ambisinya untuk meraih titel manusia tercepat memang tidak tanggung-tanggung. Dua nomor diincarnya, sebagai pembuktian sang citius. 200 m putra menanti di depan mata, untuk menyamai perolehan Carl Lewis sebagai legenda lintasan lari.

***

200 meter putra juga merupakan ajang penuh skeptisme. Penyebabnya juga individu luar biasa bernama Michael Johnson, asal Amerika Serikat. Sudah 12 tahun lamanya nomor ini sepi pemecahan rekor. Peraih emas, Konstantinos Kenteris (Yunani) dan Shawn Crawford (AS) di dua Olimpiade sebelum Beijing hanyalah pelengkap penderita lantaran catatan waktunya amat jauh dari rekor Johnson, 19.32 detik. Sebelum Olimpiade, catatan terbaik yang mendekati rekor Johnson adalah torehan Tyson Gay dengan waktu 19.62 detik. Selisih yang masih sangat jauh dari rekor Johnson.

Michael Johnson adalah seorang atlet luar biasa. Dia adalah antiteori fisika-olahraga dengan menjungkirbalikkan paradoks bahwa pelari jarak dekat harus berbekal jarak langkah yang panjang, mampu mengangkat lutut tinggi dan badan sorong ke depan. Michael berlari dengan posisi badan tegap dan langkah pendek. Posisinya seperti melawan angin. Michael berlari dengan anggun. Tak ada satupun pelari lain yang mampu berlari sepertinya. Tapi dirinya melaju bak pony express.

Di Olimpiade Atlanta dia mampu menjadi yang tercepat di nomor 200 m dan 400 m. Lantaran di nomor 100 m ada pemecahan rekor, maka Johnson belum dianggap sang citius. Dia harus "berbagi gelar" dengan Donovan Bailey asal Kanada sebagai yang tercepat pada masa itu. Hanya saja, rekor Bailey pecah oleh Greene tiga tahun berselang, sementara rekor Johnson langgeng selama lebih dari satu dekade.

***

Usain Bolt sadar, bahwa untuk menjadi sang citius, dirinya harus mampu merajai dua trek prestisius 100 m dan 200 m. Mental block di 100 m sudah terhapus oleh Asafa. Sementara di 200 m masih sakral terpajang rekor Michael Johnson dari Atlanta 1996. Awalnya, Bolt juga pesimis dirinya mampu mengalahkan catatan Johnson. Tapi torehan rekor di 100 m membuatnya percaya diri. Bolt bertanding serius di final, dan sama sekali tak memperlambat laju larinya (plus handicap angin yang jauh lebih menguntungkan dibanding ketika Johnson berlari). Ketika keluar angka 19.30 detik, seisi stadion kembali gempar! Rekor baru di 200 meter putra yang telah bertahan duabelas tahun akhirnya muncul. Kembali dari seorang individu yang dua hari sebelumnya membuat euforia di lintasan atletik Beijing 2008.

Kini "sang citius" dari Olimpiade Beijing telah sempurna direngkuh oleh Bolt. Tak hanya dengan dua medali emas di nomor 100 m dan 200 m, tapi juga melengkapi keduanya dengan raihan rekor baru. Esok, ungkapan "run like a lightning bolt" bukanlah sebuah eufemisme belaka. Namun frasa berita. Superlatif untuk seorang atlit bernama Bolt yang memang mampu berlari dengan cepat layaknya sambaran kilat!

Photo: Daily Telegraph

Related

recent issues 3079566823585489188

Posting Komentar Default Comments

3 komentar

Anonim mengatakan...

Bolt...Bolt...
kemaren sempat pesimis sama gay...

akhirnya jadi manusia tercepat di dunia...

Helman Taofani mengatakan...

Tyson Gay bapuk abis...hehehe. Dia ngga lolos malah ke final (cedera sih). Udah gitu di nomor estafet dia juga screw up tim Amrik.

Bazoekie mengatakan...

Kabar terbaru. Bolt juga menangin estafet 400 m.Kapan Indonesaia ngasilin manusia kaya Bolt ya? Macem Mardi Lestari aja udah susah ngasilin lagi.Harapan besar kepada Suryo Agung kayae belum terbukti.

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item