Menara Sydney dan Petualangan Kuliner - Sydney Travelogue Pt. 07

Petualangan ke Bondi sejatinya (diharapkan) merupakan pinnacle dari kunjungan hari pertama ke Sydney. Tapi bagi saya dan Gina, yang kini ...



Petualangan ke Bondi sejatinya (diharapkan) merupakan pinnacle dari kunjungan hari pertama ke Sydney. Tapi bagi saya dan Gina, yang kini hidup sebagai kaum pesisir di kota pelabuhan, Surabaya, karakter dan tekstur urban Sydney jauh lebih menarik rasanya dibanding melihat potensi alam Australia. Oleh karena itu, selain faktor kami sudah risih dengan kondisi badan, kami sangat upbeat bahwa itinerari hendak berakhir, dan kita akan ke downtown Sydney untuk makan malam sebelum pulang ke hotel.

Bicara soal makan, satu hal yang belum terungkap dalam separuh lusin catatan lampau adalah mengenai kuliner. Terus terang, ekspektasi kami tentang kuliner Australia nol besar. Australia, bagi kami, bukan negara yang tenar karena khasanah kulinernya, layaknya Jepang, Jerman atau Italia. Sejauh yang saya mengerti hanyalah fakta bahwa lamb chop yang dijual swalayan impor di kota kami berasal dari Australia, dan dagingnya luar biasa juicy. Lebih dari itu? Saya mendengar tentang seafood khas Sydney dan kegilaan menyantap daging Kanguru. Untuk menu pertama, relatif considerable. Namun menu kedua orang Perancis bilang: jamais! Saya sangat cinta mamalia liar, dan rasanya cukup gila membayangkan menyantap marsupial yang lucu itu dalam piring.

Minimnya ekspektasi itu mungkin yang membuat kami tak begitu mengeluh ketika acara kuliner perdana (pada saat makan siang) mengambil tempat sebuah restoran Thailand di Harbourside, pusat perbelanjaan di kompleks Darling Harbour. Belum ada adaptasi kompleks soal kultur makanan, karena yang kami santap tak lebih dari tom yam, olahan sayur dan tahu serta daging ayam. Persis dengan gaya masakan Thai Food ala Indonesia.

Kemudian, jadwal makan malam akan mengambil tempat di 360 Degrees Restaurant, yang terletak di puncak Sydney Tower. Dari brosur yang kami baca, restoran ini menyajikan menu fusion, paduan kuliner Asia, Eropa dan otentik Australia. "Wah, ini menarik!" pikir saya. Pretty safe bet karena kami masih bisa beralih ke Asia bila ternyata tak cocok dengan makanan lainnya. Belum sistem buffet-nya yang makin memantapkan niat tersebut.

Nama 360 Degrees sendiri diambil karena restoran ini berotasi! Ya, dengan mengoptimalkan tinggi Sydney Tower (sekitar 260 meter sans antenna) yang notabene merupakan struktur tertinggi di Sydney, restoran ini menawarkan view 360 derajat, dengan lantainya berputar. Perlahan pastinya, karena bakal banyak sup tumpah bila sekencang komidi putar. Ini tentu godaan yang meruntuhkan iman bagi semua photographer-wannabe dengan kesempatan untuk mengambil foto lansekap Sydney secara 360 derajat! Restorannya sendiri terletak di lantai 3 dari puncak menara yang berbentuk seperti ember. Artinya kami harus melalui tinggi kurang lebih 250 meter lebih untuk ke sana. Bila lift kantor saya untuk ke lantai empat saja kadang terasa membosankan, maka berapa lama kami harus ke ketinggian yang kira-kira setara dengan 60 lantai tersebut? Bersyukurlah pada teknologi, karena dengan lift ekspress jarak itu ditempuh hanya dalam waktu sekitar 10 detik saja. Sesampainya di puncak, saya sedikit menahan kecewa karena area pinggir yang berbatasan dengan view ke kota Sydney sudah terisi penuh. Terpaksa dikubur dalam-dalam ambisi untuk mempunyai foto lansekap, dan konsentrasi lagi ke petualangan kuliner.

Sebagai appetizer, menu andalan Sydney yang pertama langsung dicoba. Bertajuk "Fresh Seafood", bentuknya sedikit membawa selera, karena tersaji udang, kerang scallop dan greek salad yang sepertinya enak. Begitu dicicip, hueeek...ternyata semuanya mentah! Saya tidak bisa menelan makanan mentah, apalagi yang merupakan makhluk hidup. Selidik punya selidik, ternyata memang fresh seafood ala Sydney ini disajikan "fresh" alias mentah, dan hanya disiram dengan air panas untuk sterilisasi. "Ini sih makanan paus," pikir saya. Walah, terpaksalah seporsi dipinggirkan.

Hidangan lain yang cukup diminati, sesuai dugaan, adalah daging kanguru. Pengunjung restoran ini memang rata-rata wisatawan asing. Mungkin mereka penasaran dengan rasa daging kanguru yang konon bertekstur seperti daging sapi (sedikit lebih lembut) namun berbau seperti daging kambing. Yang jelas saya tidak ikut mencicip dan kembali ke selera asal berupa makanan Asia. Kuliner Australia, sejauh pengamatan di hari pertama, rasanya tidak cocok di lidah saya. Dan makanan-makanan Asia (yang kebanyakan Chinese Food, Thai Food atau Vietnam) cukup menyelamatkan asupan energi arungi hari-hari wisata di Sydney.

Sayang memang, tidak banyak bereksplorasi ke kuliner lokal. Saya kurang sukses beradaptasi dengan gap budaya kedua (lihat notes kedua, untuk gegar yang pertama). Tapi dibanding resiko berurusan dengan perut yang akan mengganggu kenyamanan? Lagipula, masih ada hari-hari berikut untuk mencoba variasi lain dari kuliner lokal selain fresh seafood dan daging kanguru.

Untuk kali ini, pengalaman adalah santapan kita. Puas rasanya menyaksikan vista kota Sydney dari atas menara - memperlihatkan susunan kota yang mempunyai banyak kanal, sungai, pelabuhan dan laut - yang mencakup sampai area-area sub urban. Belum lagi fakta bahwa Sydney Tower terletak di simpangan Pitt St Mall dan Market St yang notabene dihuni oleh pusat-pusat perbelanjaan, termasuk dua retailer terkenal di Australia, David Jones dan Myer.

Bagi kami, khususnya Gina, petualangan belanja dimulai!

Related

travelogue 210996006937245246

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item