Lupakan Palermo

Romansa datar, dengan bumbu kota yang eksotis. Terdengar seperti "Eiffel I'm in Love" dan pasukan teenlit buat Anda? Kali...



Romansa datar, dengan bumbu kota yang eksotis. Terdengar seperti "Eiffel I'm in Love" dan pasukan teenlit buat Anda? Kalimat deskriptif, narasi perjalanan, eksposisi historis. Tampak seperti catatan perjalanan. Gabungkan keduanya maka Anda menemukan "Lupakan Palermo", episode lain yang mengulang predesesor kisah fiksi berbasis travelog.


Dua tahun lalu, Gama Harjono menerbitkan buku travelog (atau buku pengalaman tinggal, lebih tepatnya) berjudul "Ciao Italia! Catatan Petualangan Empat Musim". Seperti judulnya menyugesti, itu adalah kisah hidup Gama selama setahun di Italia, tepatnya di Perugia untuk belajar parla italiano.

Tak hanya berhenti di kota tua Perugia, petualangan Gama merambat ke banyak tempat Italia, dituturkan dengan menarik gaya bahasa travelog yang deskriptif. Pemaparannya membuat kita bisa sedikit membayangkan bagaimana Italia yang dituturkannya lewat medium aksara.

Ekspektasi itulah yang kemudian terbawa kala Gama menulis karya sophomore-nya, dengan judul "Lupakan Palermo". Sebuah novel fiksi dengan latar Palermo, yang ditulisnya bersama Adhitya Pattisahusiwa, yang dalam biografi kilas dituliskan juga pernah berada di negeri spaghetti. Maka, tagline "sebuah novel perjalanan" bisa sedikit muncul dalam pengharapan pembelinya.

Setidaknya, bayangan saya, ini adalah episode dua Ciao Italia!, kali ini tentang pulau Sisilia yang belum tersentuh Gama di buku tersebut. Kali ini dibungkus dalam kisah fiksi yang mengikuti il protagonista, Reno, seorang siswa SMA asal Indonesia yang mengikuti program short course di Kalsa, Palermo.

Kisah berkembang menjadi sebuah romansa, mengikuti "komplikasi" (sebagaimana di-suggest pengantar di belakang buku, dan premis awal cerita) pilihan Reno atas dua orang yang dianggapnya penting. Maya di Indonesia, pacarnya, dan Francesca di Palermo, pujaan barunya. Di tengah-tengah mereka ada Alessio, Mirella dan Monica yang membumbui. Kisahnya linier (twist di akhir cerita tak berpengaruh banyak), dan saya pikir bisa cukup diduga.

Penuturan gaya travelog diharapkan menjadi kekuatan cerita menjadi latar, dengan Palermo dan objek disekitarnya sebagai playground cerita. Di sini sepertinya kombinasi dua penulis itu mengalir. Adhitya menjadi narator cerita (dugaan saya, protagonis buku ini merupakan alter ego-nya). Sementara, Gama menjadi penutur latarnya, gayanya bercerita mengenai tempat dan sekuens perjalanan masih sama khas seperti yang ditulisnya di Ciao Italia!.

Usai melahap buku dengan ketebalan medium ini saya mempunyai dua penilaian. Sayang, dua-duanya tidak memuaskan hasrat saya yang notabene penggemar travelog. Saya mencoba membaca travelog fiksi sebelumnya, "Belok Kanan: Barcelona" oleh kuartet penulis hasilnya mengambang. Aspek cerita cenderung datar dan kemistri antar karakter kurang terbangun lantaran fokus memang di setting.

Hal itu pula rupanya yang terjadi dengan "Lupakan Palermo". Detail cerita, pendalaman karakter dan alur tidak begitu menonjol dan banyak hal yang mengganjal. Paling nyata adalah sosok Reno, yang siswa SMA namun secara kedewasaan, pemikiran, gaya hidup dan elemen pembangun karakter lainnya tampak jauh melebihi usianya. Asumsi saya, ada sedikit bentrok pengalaman nyata kedua penulis yang sudah berada di usia dewasa (kala berada di Italia), dengan karakter yang jauh lebih muda. Mengapa harus anak SMA? Apakah memang target atau segmen buku travel itu anak SMA? Wah, mungkin saya yang telat.

Tapi setidaknya memang ada elemen yang "SMA". Dari sisi pengembangan alur dan core cerita, kisah "Lupakan Palermo" ini justru tampak seperti novel teenlit. Saya membayangkan seperti membaca "Eiffel I'm in Love" dengan alur yang relatif klise, kemistri yang tak bisa dimengerti pembaca dewasa, dan klimaks yang sebegitu remeh untuk dipertaruhkan dengan banyak hal.

Secara travelog sendiri, penuturan mengenai Palermo - yang mendorong saya membeli - sekaligus penahbisan tagline "sebuah novel perjalanan", cenderung tidak bisa mendetail. Ada bagian-bagian yang menarik, misalnya seperti deskripsi dan latar objek interes di Palermo, perjalanan ke kota dan pulau sekitar dan sketsa-sketsa. Sayang hal itu sering terpotong ketika harus kembali ke alur cerita.

Inilah yang membawa saya ke kesimpulan kedua setelah dulu mengalaminya kala membaca Belok Kanan: Barcelona. Travelog yang dipadu dengan kisah fiksi ternyata tidak berhasil banyak. Saya terlalu banyak menulis kata "sayang" (dalam artian "too bad") di tulisan ini. Mengingat pencapaian Gama di Ciao Italia!, kontribusinya di buku Lupakan Palermo ini memang cukup disayangkan.

Entah kebetulan atau tidak, buku ini - menurut saya - bernasib seperti film yang berjudul "To Forget Palermo" (1990), yang dibintangi James Belushi dan Mimi Rogers. Romansa klise dibangun dengan setting Palermo, lengkap dengan mafia sebagai ikon Sisilia. Setting kuat tak cukup menghidupi garis cerita yang tak didukung dengan plot menarik dan kemistri kuat karakternya.

Related

travelogue 8360173839705155331

Posting Komentar Default Comments

4 komentar

CIAO ITALIA! mengatakan...

Hey hey si Abang

Thank you untuk reviewnya.

Kalau saya harus mereview Lupakan Palermo, penilaian saya nggak akan jauh beda nuansanya dari hasil observasi si abang.

:D

Travel stories memang menarik tapi kalah komersil dengan fiksi.

Helman Taofani mengatakan...

Ditunggu segera travel stories selanjutnya bung Gama.

Ipul dg. Gassing mengatakan...

ciee pembaca dewasa..emang udah gak cocok ama yg teenlit2 dah..hahaha..

Helman Taofani mengatakan...

Karena ekspektasi gua adalah travelog karya mas Gama di buku sebelumnya.

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item