Jejak Senyap Manajemen Ancelotti

Sebagai milanista , saya menganggap tenur sewindu Carlo Ancelotti sebagai pelatih Milan merupakan momen yang sangat mengesankan. Betul, d...


Sebagai milanista, saya menganggap tenur sewindu Carlo Ancelotti sebagai pelatih Milan merupakan momen yang sangat mengesankan. Betul, delapan tahun ketika menjalani, banyak juga nestapa yang berujung caci maki terhadap Don Carletto. Utamanya, mengenai keengganannya memberi kesegaran terhadap Milan, yang bermain dengan skuat nyaris sama selama masa itu.

Tapi, seperti halnya yang dibilang Joni Mitchell, "you don't know what you got until it's gone", masa tersebut menjadi nostalgia yang terkenang untuk milanisti. Stabilitas, iklim kondusif, dan kompetitif di Eropa menjadi romantisme yang kini merayap. Seperti bayang-bayang orang Indonesia yang merindukan orde baru. Isih enak jamanku to?

Kepemimpinan Ancelotti yang subtil memang baru akan terasa ketika dibandingkan dengan rezim lain. Di klub lain yang menjadi karier Carletto berikut, perbandingan tersebut selalu melekat. Khususnya dengan sosok Jose Mourinho, di Chelsea dan Real Madrid. Gambar di atas adalah ilustrasi paling menjelaskan. Beda Ancelotti dan Zinedine Zidane, yang saat itu menjadi asistennya di Madrid.

Dibanding Jose dan rerata manajer sepakbola yang control-freak, Carletto tampak seperti manajer kuadran empat yang lebih bersifat sebagai fasilitator. Ia bekerja dikelilingi pemain dan staff yang tahu harus ngapain. Tetapi apa yang ia bangun di PSG menunjukkan agilitasnya sebagai manajer di kuadran lain, harus membangun mental dan kondisi yang kurang ideal.

Gaya kepemimpinan Ancelotti ini yang menjadi pokok bahasan buku Quiet Leadership: Winning Hearts, Minds, and Matches. Buku ini ditulis Ancelotti dalam masa sabbatical-nya sebagai manajer, usai dipecat Real Madrid. Berbeda dengan buku biografinya yang terbit semasa ia melatih Chelsea, di Quiet Leadership tidak dijabarkan detil profil dari pria asal Reggio-Emilia, Italia ini.

Buku ini mengupas intisati atau teladan manajerial dari karier Ancelotti. Paling nyata dan banyak dikupas adalah pengalaman posmilan-nya, dari Chelsea, PSG, dan Real Madrid. Bagaimana ia mendelegasikan tugas, membina hubungan dengan skuad, teknik komunikasi terhadap atasan, dan berbagai tips lainnya yang biasanya kita temui di buku Harvard Business Review.

Bagi penggemar sepakbola, buku ini masih menarik karena segala teori manajerial tersebut disarikan dari kisah lapangan hijau. Contohnya mengenai bagaimana Carletto membekukan Jose Bosingwa dari skuat Chelsea ketika bek Portugal tersebut melecehkan asisten pelatih, Paul Clement.

Dilengkapi dengan testimonial dari pemain, staff, rival, dan bos, kita bisa melihat apa kelebihan Ancelotti yang menjadikannya salah satu manajer sepakbola termahal di Eropa. Barangkali, bila Anda kebetulan milanista seperti saya, sekaligus melihat apa yang dibuang Rossoneri pada tahun 2009. Ada sebab mengapa pada periode buku ini ditulis, Adriano Galliani sempat berencana balikan dengan Ancelotti.

Sebagai pelatih, mantan asuhannya berbicara mengenai bagaimana Carletto menjadi fasilitator yang baik bagi sebuah skuad. Kelebihannya adalah ia bisa menjaga harmonisasi di ruang ganti. Meyakinkan bintang tanpa harus melecutnya. Serta mengunggulkan inisiatif profesional yang muncul dari pemain. Cristiano Ronaldo, Zlatan Ibrahimovic, dan John Terry bersaksi serupa.

Sebagai kolega, rivalnya bercerita mengenai ketenangannya sebagai pelatih. Carletto jarang menunjukkan emosi, seperti halnya Antonio Conte. Tapi ketegasan dan intelegensianya berbicara. Sikap ini menuai respek dari Roberto Martinez dan Sir Alex Ferguson. Apaagi Ancelotti berada di klub dengan tekanan tinggi dari para presiden maniak. Silvio Berlusconi, Roman Abramovich, Nasir Al Khelaifi, dan Florentino Perez. Butuh mental baja untuk bisa tetap tenang dan menghasilkan.

Hubungan menarik dengan "perusahaan" ini juga diungkapkan oleh Adriano Galliani. Beberapa kali disebut juga Ancelotti merindukan sosok seperti Galliani yang menjembatani komunikasi dengan big boss. Hanya di PSG ia mendapati Leonardo. Di Chelsea dan Real Madrid, ia kerap berhadapan langsung dengan Abramovich atau Perez. Bukan pekerjaan gampang tentunya.

Tak banyak yang diceritakan atau saripati diambil dari masanya di Milanello. Tetapi tak bisa dimungkiri bahwa delapan tahun ia menukangi Milan merupakan fondasi yang kuat untuk membangun CV-nya di Eropa. Berkali-kali Carletto menerapkan standar manajerial yang diadopsi dari masa kerjanya di Milan. Dari menerapkan kebijakan "kantin latihan" hingga memilih pemimpin di lapangan dan ruang ganti yang bisa berbeda.

Milanisti bisa mendapatkan jawaban dari enigma yang terjadi sepanjang rezim Carletto. Mengapa ia sangat suka dengan Clarence Seedorf? Mengapa pula ia dipertahankan Berlusconi selama sewindu meski kadang-kadang Milan zero tituli dalam semusim?

Penggemar sepakbola umumnya juga akan mendapatkan banyak cerita melalui buku ini. Bagaimana kisah di balik PHK yang dialaminya di Chelsea, PSG, dan Real? Apa cerita di balik rotasi Iker Casillas dan Diego Lopez? Mengapa Leonardo dianggap meninggalkan Carletto pada akhir jabatannya di PSG?

Sementara, pembaca umum masih bisa menemukan silver linings dari kiat Ancelotti menjawab pertanyaan di atas. Bagaimana ia membangun komunikasi, menerapkan standar profesionalitas, mengatur para superstar, dan memberikan kepercayaan.

Buku ini membantu mengungkap apa yang tersirat. Karena Carlo Ancelotti bukan sosok "open-book" seperti Mourinho, kita membutuhkan kesimpulan-kesimpulan yang ada di dalam buku ini. Interpetasi seperti ini dibutuhkan untuk memahami kekuatan dari kepemimpinan senyap ala Carletto. Mungkin subtil, tapi percayalah, rezimnya akan selalu dirindukan oleh penggemar sepakbola.

Related

STICKY 3055411104024127289

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item