Hammersonic, Duabelas Jam Berselang


Siang, sebelas jam setelah Hammersonic 2017 berakhir, saya sudah di kantor mendengarkan lagu "Winterbane" dari band Abbath. Abbath?

Sama. Seperti sampeyan semua, saya juga tidak kenal siapa itu Abbath. Bahkan hingga helatan Hammersonic (Ahad, 7/5), di dalam ruangan kala menunggu break Magrib saya browsing mengenai Abbath. Pemicunya adalah tenda yang menyediakan corpse painting di dekat gedung Ecovention.

"Wah, ini ada black metal, siapa kah?"

Corpse painting adalah atribut khas genre musik tergelap dari metal ini. Dipopulerkan band Mayhem, dari Norwegia, sehingga menjadi salah satu ciri khas skena Norwegian Black Metal. Mungkin peyan melihatnya seperti Kiss, tidak apa-apa. Personil Mayhem, Dead, yang memopulerkan dandanan ini bilang cat muka ini supaya mirip orang mati. Omong-omong, Dead ini bunuh diri di tahun 1991. Cukup sinting ya?

Bagaimana? Apakah saya sudah tampak seperti Sam Dunn, sosiolog metal yang bisa membeberkan detail per-genre dan skena?

Datang ke festival musik, berkahnya adalah cakrawala yang terbuka. Sebelum Hammersonic, saya membuat playlist di Spotify yang isinya spektrum band-band yang akan coba saya dengarkan. Dari Revenge the Fate, Earth Crisis, Black Dahlia Murder, sampai band apaan tuh yang semuanya baru saya dengar. Saya menghadiri Hammersonic karena Megadeth, dan belakangan Tarja (eks vokalis band Nightwish). Keduanya sudah akrab di telinga.

Playlist ini saya dengarkan sekali saja. Tidak cukup impresif, karena memang saya bisa mendeklarasikan diri sebagai awam metal. Masih terpana dengan hook renyah ala James Hetfield, atau harmoni melodi dari KK Downing dan Glenn Tipton. Batas ekstrim vokal yang bisa saya cerna adalah Phil Anselmo, yang kian hari kian susah didengarkan. Bahkan ketika ia tidak sedang menyanyi.

Ketika datang sore hari, niat saya hanya untuk melihat mas Roy Jeconiah yang akan tampil bersama Suckerhead. Sisanya, ya menunggu Tarja dan Megadeth saja. Karena festival, untuk menunggu, saya dan kamerad-kamerad mainstream metal "terpaksa" mengamankan posisi di depan Sonic Stage, panggung yang akan digunakan Megadeth. Terhitung sejak jam 8 malam, dari rencana Dave Mustaine manggung jam setengah sebelas. Di panggung sebelah (Hammer Stage) masih ada Black Dahlia Murder, band death metal asal Amerika.

Saya tahu mereka (BDM) band death metal (lho, insialnya cocok) karena vokalisnya menyebut ia senang dengan skena death metal di Indonesia. Sebelumnya, kala menonton Putrid Pile, saya dan kamerad Eko berdiskusi genre apa gerangan yang dibawakan oleh musisi penampil di Soul of Steel Stage ini. Putrid Pile ini satu orang, menggunakan sampling dan rekaman, sambil ia mengisi part gitar dan menyanyi. Menyanyi? Tunggu.

Saya berpendapat ia grindcore, karena ketukan dan ritme yang sangat cepat seperti gilingan tebu diiringi samar-samar suara kumur. Bingung juga mesti merespon apa mendengar musik semacam itu. Untuk headbang saja groove-nya kurang eksis. So, daripada disangka orang manggut-manggut, mendingan mengamati saja.

Oke, ketika googling, Putrid Pile dibilang sebagai brutal death metal. Saya nyerah saja mendefinisikan musik metal.

Anyway, setelah Black Dahlia Murder, kami bertahan di depan Sonic Stage untuk menonton Abbath. Mereka berempat. Vokalisnya, namanya Abbath Doom Occulta. Bassisnya bernama King Ov Hell.

Modyar kowe!

Drummernya, pake topeng, di Wikipedia disebut Creature Kevin Foley. Gitaris satu lagi anteng-anteng saja di kiri panggung (kanan dari arah penonton), jadi tidak usah disebut namanya. Ia belum bisa di-wiki soalnya.

Penampilan Abbath agak berantakan. Sound-nya mendelep. Drum yang terdengar cuma dobel pedal yang menggemuruh. Gitar si anonim nggak terdengar. Suara Abbath, meminjam istilah kamerad Eko, mirip kucing kawin. Bassisnya pecicilan sendiri. It's almost like a joke.

Tapi musik itu pinter dan objektif lho. Ditaruh sebagai headliner, pastilah Abbath ini punya sesuatu. Ia mestinya dibayar nomer tiga paling mahal setelah Dave Mustaine cs dan Tarja. Belum lagi sampai Hammersonic mengadakan tenda jasa corpse painting, yang lumayan laris meski ketika digunakan untuk antri sate padang jadi luntur dan kembali sebagai Paijo Ov Hell. Belum lagi kaos sang pentolan, Abbath, yang banyak dipakai orang. Awalnya saya kira gambar anjing buldog.

Personil black metal biasanya identik dengan satanis. Dan ini sebetulnya mental block yang saya buat sendiri. Serem lihat mereka, dan males lihat Abbath. Takut dosa mungkin Tapi waktu mendengar dan melihat polahnya yang cukup kocak, mungkin batasan antara stage persona, ideologi, dan gimmick marketing itu menerawang seperti baju Kiki Fatmala ketika mimpin senam. Kalau lihat yang terakhir nggak takut dosa?

Buktinya, usai Hammersonic ini, yang saya lakukan ketika berada di kantor sekitar enam jam selesai Dave Mustaine membungkuk ke audiens adalah mencari tahu tentang Abbath. Lalu mengingat satu lagi yang nempel banget. Ternyata judulnya "Winterbane", dari album Abbath yang rilis tahun lalu.

Di awali dengan scene yang chaotic (gitar, drum, bass numpuk bertalu-talu). Ra nggenah blas! Tapi tiba-tiba berubah menjadi structured riff yang gagah, sebelum kemudian menjadi chaotic tapi tidak se-kaos awalnya

Modyar kowe!

Di tengah ada interlude. Ini saya lihat di panggung sambil ngowoh. Kok epik gini. Jangan-jangan itu bukan dandanan setan, tapi warpaint. Atau reenactment dari pasukan Orc-nya Saruman? Norway, gitu lho.

Sejak ngowoh ini, musik Abbath tiba-tiba lebih make sense buat saya. Oh, begini toh konsepnya. Bener banget apa yang dibilang para motivator, ketidaktahuan itu gerbang kemalasan. Coba kalau dari awal saya coba meresapi, tanpa terganggu imaji satanis, mungkin malam itu saya sudah nempel railing depan dengan corpse painting.

Tapi tak mengapa. Itu gunanya pergi ke festival yang berisi multi band. Sama seperti perjuangan mendengarkan kaset dulu. Untuk sampai ke Nothing Else Matters, kita kudu betah dengarkan Through the Never. Sebelum nonton Megadeth, harus betah nongkrongin Abbath. Ini sejatinya pelajaran mengenai keberagaman yang sahih, ketimbang umpluk-umpluk para selebtitit di medsos itu.

Setelah Abbath selesai, giliran Tarja di panggung sebelah. Saya menonton tidak beranjak dari pos meski konsekuensi menonton di tengah orang yang jelas menunggu Megadeth dan memandang mbak Tarja sebagai pedangdut Pantura. Tapi jujur, kostumnya memang agak salah imej. Sama dengan intro dan outronya yang agak-agak EDM. Mungkin ia membaca mengenai proyek gudang Jakarta.

Saya jelas menggugat keputusan Tarja untuk tidak mempelajari dulu ekspektasi penonton Indonesia. Kita mengenalnya sebagai mbak-mbak kalem tapi suaranya horoh di band Nightwish. Dulu, kalau tampil kostumnya kaya penyihir. Jubah panjang. Elegan, sesuai suara operatiknya.

Nah ini, Tarja memakai pakaian ala disko Pantura. Ditambah dengan hanya membawakan satu lagu Nightwish, di antara belasan lagu lainnya.

Promo ya promo, ning ojo promo. Modyar kowe!

Kami ingin mendengar The Kinslayer, Elven Path, She's My Sin, atau Nemo yang pop banget itu juga boleh. Pokoknya Nightwish.

Diskoneksi ini yang membuat gelora penontonnya tak sebahaya Black Dahlia Murder. Apalagi di sekitaran pos saya berdiri, semuanya sudah ah-uh, mengeluh tiap Tarja nambah lagu. Mereka pengen segera Megadeth saja. Sebagai band yang dibayar mahal kedua, tentu saja jatah Tarja banyak. Saking banyaknya mungkin sebagian penunggu Megadeth di sekitar saya sudah mengumpat.

"Jo, Tarjo, ndang rampung!"

Jam sebelas lebih baru Megadeth tampil. Menonton band ini adalah oh-gitu-moment, karena yang disajikan ya apa yang ada di rekaman. Meluncur presisi, pasti, tanpa basa-basi. Bedanya, ada banyak orang di sekitar jadi nggak rikuh kalau mau headbang, loncat, nyanyi, atau bikin circle pit. Membuat summary konser Megadeth itu susah, karena tiap ditanya ke orang yang nonton pasti kesannya disimpen buat diri sendiri. Menurut saya (siap ditimpuk oleh penggemar metal), kurang atmosfer kolektifnya.

Tapi saya, ya bertahan limabelas lagu kemudian. Ikut angguk-angguk, kadang nyanyi walau tidak hafal. Bagi balung tuwek seperti saya, berdiri lima jam sambil kadang loncat, lumayan menyiksa. Mungkin karena crowd Megadeth banyak yang balung tuwek juga, maka rata-rata sudah pada lelah untuk bisa antusias seperti anak-anak muda yang bikin circle pit ketika Tornado of Soul mengumandang.

Lagu itu diawali dengan sindirian Mustaine: "Kelean bakal bangun nggak kalau denger lagu dari Rust in Peace?"

Entah mengapa saya agak lupa tujuan saya ke Hammersonic adalah untuk menonton Megadeth. Pulang dari venue, baru bisa mencapai mobil sekitar jam setengah dua dinihari, saya tidak lagi pengen mendengar lagu Megadeth yang banyak saya putar sebelum hari-hari konser. Menemani sejam jalan ke rumah malah lebih banyak mendengar lagu Pearl Jam. Konser ini belum meresap sepertinya.

Paginya, ketika diskusi dengan kamerad-kamerad di grup WA baru gairah semalam muncul lagi. Mungkin ini efek kolektif menonton juga, ada pengingat-pengingat gratis yang membuat kita sering menostalgia sesuatu. Obrolan mengenai susahnya membedakan genre berujung kepada bahasan tentang Abbath. Dan kitapun looping ke mula catatan ini, menemani saya menyelesaikan tulisan sambil mendengarkan repertoir Abbath dari konser semalam.

Sebenarnya saya ingin mengakhiri catatan ini dengan kutipan dari lagu. Biar manis, dan kaya penulis-penulis beken. Tapi sampai sekitar tiga kali loop playlist Abbath, tak satupun lirik yang nyantol. Sembilanpuluh persen karena saya susah mencerna apa yang dibilang Abbath.

Persetan lah.

Related

tarja 1381775410233791831

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item