Mengenang Malcolm


“If you don’t stand for something, you will fall for anything.”

Sekitar awal tahun 2000, saya membaca buku biografi Malcolm X dan jatuh hati pada perjuangannya. Untuk ukuran mahasiswa baru, menamatkan buku biografi nan tebal dan berbahasa Inggris adalah perjuangan cukup merepotkan. Tetapi buku otobiografi tersebut lengket di tangan dan bisa tamat, sembari didampingi musik latar album “Renegade” dari grup Rage Against the Machine.

Saya meneladani kemarahan aktivis HAM yang lahir dengan nama Malcolm Little ini. Suaranya untuk menaikkan kebanggaan ras kulit hitam di Amerika paska-perang sungguh lantang, dan perjuangan berat, di mana efek perbudakan masih belum sirna sepenuhnya. Mudah melihat ada kasta di negara demokrasi teladan tersebut.

Kutipan di atas kemudian saya maknai sebagai kredo untuk untuk yakin terhadap satu prinsip. Agar berkehendak dan sedia menyampaikan pendapat. Kredo berat bagi seorang introvert kelas berat seperti saya. Tetapi saya belajar.

Bertahun-tahun saya tidak lagi mengikuti Malcolm X. Kemarahan mereda. Pembelajaran berlanjut ke hal-hal lainnya, dan baru meresital kembali catatan Malcolm via kompilasi travelog haji. Catatan tersebut saya baca agar mendapatkan sudut pandang “mengapa saya mesti berangkat haji” jelang keberangkatan pertama tahun 2013.

Ketika akhirnya mengalami apa yang dicatat Malcolm, di tempat yang sama yaitu di Arafah, saya teringat apa yang ia tulis. Malcolm melihat agama sebagai solusi atas kasus rasial. Mudahnya, konsep persamaan itu hakiki dan sudah sewajarnya dilakukan. Yang saya serap dari sudut lain, ia bisa menggunakan agama untuk menyelesaikan masalah duniawi.

Perspektif Malcolm sangat terbawa, bahkan menjiwai hari-hari saya berikut setelah Arafah. Apa yang saya tulis di buku Labbaik banyak dipengaruhi cara pandang Haji Malik As Shabas (nama Malcolm usai haji). Umumnya mengenai dimensi agama yang sangat membumi.

Pandangan tersebut mendudukkan kembali metode perjuangannya dalam menaikkan harkat kaum kulit hitam di Amerika. Tak lagi memandang ras kaukasia sebagai sesuatu yang perlu di-superior-i, tetapi lebih memperjuangkan kesetaraan. Ia juga mengkritik penggunaan dogma keliru tentang agama untuk kepentingan politis, terutama dari organisasi Nation of Islam (NoI) yang pernah ia bela.

Kelantangannya tak surut, sehingga banyak pihak merasa ia mesti dibungkam. Siapapun, mudah mencari motif untuk kontra dengan Malcolm, sehingga ketika hari ini, 53 tahun lalu, ia ditembak dari jarak dekat, semua orang mafhum. Malcolm meninggal dunia setelah mendapatkan 12 luka tembak dari jarak dekat.

Tahun ia dibunuh, 1965, adalah masa “uprising” pergerakan kesetaraan. Pada era yang sama, Martin Luther King yang juga berjuang untuk isu serupa juga dibunuh. Tak sulit mencari pola, dan orang juga mengerti alasan mereka meninggal kenapa. Malcolm dan Dr King kemudian masuk ke dalam lagu “Renegade” dari grup Afrika Bambaata. Lagu tersebut dibawakan ulang oleh grup Rage Against the Machine. Dan dari sanalah saya pertama mendengar nama Malcolm X untuk kemudian memungut buku biografi dari sebuah rak untuk mengadopsi kisah hidupnya.

Haji Malik As-Shabas mewariskan “legacy” yang besar bagi saya. Dan memperingati momen ia meraih kemenangan terbesar, dengan meninggal dalam memegang prinsipnya, saya menggambar poster ini.



Karena ia yang tidak berjuang, akan mudah terjengkang.

Related

STICKY 8861905335977124144

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item