Menaikkan Kualitas Parlemen via Pemilu


Indikator pemilu berhasil itu salah satunya adalah kualitas parlemen yang dihasilkan. DPR kita bagus ngga sih, sekarang?

Tahun lalu, koran Kompas sempat menurunkan berita tentang jajak pendapat citra DPR di masyarakat. Seperti diduga, citranya jelek. Entah dapat kesimpulan dari mana masyarakat yang di-sampling Kompas. Apakah sampling-nya tahu ukuran penilaian kualitas parlemen?

Indikator sahihnya juga belum diukur. Menjadikan yang kualitatif itu jadi kuantitatif. Masyarakat umum juga tampak kurang paham mengenai fungsi dan tanggung jawab DPR. Sekarang mereka seperti cameo di film kolosal saja. Kehadirannya tertutup oleh eksekutif (Pemerintah). Padahal kedudukannya setara, dan saling kontrol dalam segitiga politik bersama yudikatif.

Penilaian Parlemen

Sederhananya, menilai parlemen itu bisa dari tiga sisi saja. Keterwakilan, produktivitas, dan transparansi.

Keterwakilan bisa dipetakan apakah DPR ini sudah menjadi Indonesia mini? Dengan komposisi yang mencerminkan Indonesia dalam skala statistik yang diperkecil? Suku, agama, ras, gender, kelas, dan sebagainya. Sudah pasti belum. Indikatornya mudah saja, kalau Anda melihat ada seleb anu yang mewakili dapil entah, ya mimpi keterwakilan ini masih jauh.

Produktivitas bisa dilihat dari fungsi legislasi mereka. Ada berapa RUU yang bisa disahkan jadi UU. Mumpung lagi hangat soal RUU Permusikan, perlu diketahui bahwa RUU itu bisa muncul dari Pemerintah atau DPR. Tapi mengesahkan UU ini salah satu fungsi utama DPR.

Apakah parlemen kita produktif?

Ironisnya, produktivitas parlemen kita memburuk dari 2009. Tahun lalu saja, hanya 5 UU yang disahkan dari target 50 RUU yang nangkring di prioritas pembahasan. Total DPR kita hanya melegislasi 21% dari target.

Terakhir adalah transparansi. Kasarnya, kejujuran. Indikator mudahnya, seberapa sering kita melihat anggota DPR dicokok polisi atau KPK? Nah, kalau bosnya DPR (Setya Novanto) saja kena semprit, ini sudah jadi indikator paling mengkhawatirkan toh? Belum lagi berbagai warning mengenai anggota parlemen yang berkasus, dan masih ikut pemilu esok.

Gambaran Kualitas Parlemen

Kesimpulannya, parlemen kita masih payah. Dan belum ada tanda-tanda akan membaik juga di pemilu besok. Mengapa? Karena awareness mengenai pentingnya memilih anggota dewan yang baik masih minim. Masyarakat masih terjebak pada tail coat effect, atau menentukan pilihan karena efek pemilihan Presiden. Mungkin parameter awal yang di-set adalah mereka akan memilih anggota dewan yang memilih Presiden sama. Coba tengok berbagai spanduk caleg yang memajang gambar capres.

Indikasi lainnya, calon pemilih legislator ini juga tidak terakses dengan visi dan misi. Mereka mungkin tidak tahu juga di mana dapilnya, dan siapa saja yang menjadi caleg. Maka tidak heran bila parpol juga berlomba menaikkan screen time calegnya guna mendapatkan awareness masyarakat. Mereka ditaruh di berbagai diskusi dan debat di televisi.

Baca juga: Jangan Golput!

Perilaku lain, parpol juga kian gencar menggunakan vote getter, alias caleg yang berpotensi mendulang suara tanpa harus susah payah berjualan misi. Taktik ini kerap diisi dengan memajang barisan selebritis, atau mereka yang rupawan sehingga mudah diingat dan dalam bawah sadar memasukkan awareness ke masyarakat.

Strategi macam itu tidak hanya membahayakan asas keterwakilan yang kian timpang. Dalam jangka panjang, hal itu juga akan mempengaruhi kinerja DPR, termasuk produktivitas mereka melakukan legislasi UU. Aspek ini juga akan dipengaruhi oleh peta koalisi yang terjadi usai pemilu nanti.

Menaikkan Produktivitas

Salah satu kunci produktivitas DPR itu adalah kesepakatan. Semakin sering mereka sepakat, semakin produktif juga mereka. Ini terkait dengan peta koalisi di parlemen. Bila tidak ada koalisi dominan, seperti saat ini di mana oposisi cukup kuat, maka kemungkinan deadlock akan terjadi.

Jangan salah, tanpa ada oposisi juga bisa berakibat kurang bagus. Bisa jadi banyak muncul produk-produk legislasi yang kontroversial, digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Kasus mudah itu ya UU ITE yang makan banyak korban sampai sekarang.

Eits, ada lagi yang lebih bahaya. Itu adalah ketika seluruh anggota dewan tiba-tiba sepakat. Apabila yang dibahas itu maslahat, tentu baik. Tapi kalau seperti tempo hari ketika mereka bersepakat mengenai UU imunitas anggota parlemen terhadap hukum, maka alarm harus dibunyikan.

Produktivitas harus diimbangi kualitas tentunya. Kasus seperti draft RUU yang mengambil blog siswa SMK adalah gambaran nyata bagaimana para legislator ini bekerja. Memang ada tim teknis yang biasanya berisi pakar. Tetapi, sebagai pihak yang pegang ketok palu terakhir, para legislator ini juga harus punya modal pengetahuan yang lumayan.

Inilah mengapa, semakin banyak teknokrat yang masuk ke parlemen, mestinya makin baik. Atau semakin banyak diversifikasi profesi dan penguasaan ilmu, semakin baik pula. Dalam konteks keterwakilan, bagus juga bila orang yang di parlemen juga mewakili disiplin ilmu yang dibutuhkan bangsa ini. Ahli pertanian, perdagangan, kelautan, bidang pangan, dan sebagainya.

Kiat Naikkan Kualitas Parlemen

Poinnya adalah, rasanya sahih indikasi parlemen kita payah, sebagaimana yang dicuatkan sampling survey Kompas. Dari tiga indikasi itu, ada hal yang harus diperbaiki melalui Pemilu 2019 ini. Berikut kiat yang bisa digunakan.

Pertama, keterwakilan. Ini akan tampak primordial atau kedaerahan, tetapi memang penting memastikan keterwakilan dapil kita dengan orang yang memang dari dapil kita. Gampangnya, pilih saja yang sama dengan kita. Misalnya saya perempuan Papua, ya akan milih wakil perempuan Papua. Di sisi ini kita harus SARA, bukan diskriminasi, tetapi memastikan proporsi saja.

Kedua, mengenai produktivitas. Pilih calon yang agendanya jelas. Ingin bawa aspirasi apa, kalau perlu akan diangkat ke RUU apa. Kalau tidak ada data atau statement dari calon, cari tahu via visi atau statement partai. Biasanya mereka (partai) punya incaran isu tertentu untuk diangkat sebagai program.

Ketiga, tentang transparansi ini mudah. Jangan pilih calon yang pernah terlibat korupsi. Kalau perlu, hindari juga partainya. Sebab, tidak sedikit anggota parlemen yang tertangkap korupsi karena “instruksi partai” juga.

Tiga aspek tersebut bisa membantu Anda untuk memilih siapa yang akan diberi amanat untuk mewakili nanti di DPR. Untuk membahas kiat tersebut, bisa membaca di posting terpisah mengenai kiat memilih.

Related

STICKY 8350881228131602764

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item