Seminggu di Thailand: Konteks Chiang Mai di Hari Keenam


Ilusi kota besar di negara berkembang kerap menjebak. Saya pernah menulis mengenai ekspektasi orang tentang Surabaya yang menyandang kota terbesar kedua setelah Jakarta (di Indonesia). Biasanya, kesenjangan antara ibukota dan kota lainnya demikian besar di negara berkembang. Apakah Thailand termasuk?

  • Konteks Chiang Mai

Bangkok, tentu saja, adalah kota terbesar sekaligus kapital dari Thailand. Selama lima hari kami menyaksikan peragaan metropolitan dari kota yang juga dikenal dengan nama Krung Thep ini. Sebanyak 5 juta jiwa diperkirakan tinggal di Bangkok, dengan julangan gedung pencakar langit, sistem transportasi modern, serta heterogenitas dan keterbukaan masyarakatnya. Secara total, apabila mencakup wilayah suburban (seperti Nonthaburi) dan juga populasi turis, Bangkok kurang lebih menampung 7 hingga 10 juta jiwa.

Kota kedua setelah Bangkok, dalam hal populasi (yang kerap dijadikan tolok ukur kebesaran kota) adalah Nakhon Ratchasima yang ada di wilayah tengah Thailand. Berjarak 4 jam dari Bangkok, populasi di kota ini terpaut jauh dari Bangkok dengan hanya memuat sekitar 175.000 jiwa. Jumlah ini kurang lebih sama dengan Chiang Mai, destinasi pelesir kami, yang terletak di utara Thailand yang menjadikan tuan rumah Sea Games pada 1995 tersebut sering disebut sebagai kota kedua setelah Bangkok.

Sebagai perbandingan, Jakarta Raya dihuni oleh 30 juta jiwa. Kota besar lain di Indonesia, Surabaya dan Bandung mempunyai populasi yang bersaing dengan ibukota Thailand. Bahkan populasi Depok, kota satelit di Jakarta, menyentuh angka 1.700.000 lebih alias 10 kali lipat Chiang Mai!

Dari segi luasan wilayah, Chiang Mai adalah area 45 kilometer persegi. Sama seperti populasi, perimbangan dengan ibukota juga jomplang. Bangkok memiliki luas 175 kilometer persegi. Chiang Mai berarti hanya 25% dari luas Bangkok. Area Chiang Mai ini setara dengan luas kota Solo di Indonesia.

Kontekstual Chiang Mai


Fakta tersebut cukup penting untuk mendudukkan konteks sebelum kami berkunjung ke Chiang Mai. Sudah tentu, kami tidak bisa mengharapkan mendapatkan pengalaman yang sama dengan Bangkok. Chiang Mai menawarkan hal lain, yaitu dari sisi sejarah dan iklim kreatif.

Analogi yang menjelaskan Chiang Mai barangkali adalah membandingkan dengan Bandung, Yogyakarta, atau Malang dalam hal karakter. Chiang Mai adalah kota pelajar. Institusi terkenal di dalamnya adalah Universitas Chiang Mai dan Institut Teknologi Rajamangala. Keduanya adalah institusi pendidikan yang favorit bagi masyarakat di wilayah Thailand utara. Daerah sekitar kampus menjadi distrik yang cukup berkembang secara kreativitas. Yang terkenal adalah Nimmanhaemin (atau Nimman Road) yang dekat dengan kedua kampus universitas tersebut.

Chiang Mai juga merupakan ibukota kerajaan kuno, Lanna, yang di dalamnya masih menyisakan peninggalan-peninggalan penting. Atraksi wisata kota utama di Chiang Mai adalah citadel atau kota dalam benteng yang menjadi wilayah kota tua. Bentengnya masih ada, dan bisa diakses di empat penjuru kota. Batas alamiah berupa sungai dan parit juga masih bertahan. Sebagian besar atraksi wisata kota Chiang Mai ada di dalam citadel, demikian juga dengan distrik turismenya.

Letaknya di wilayah geografis pegunungan juga menjadi tawaran lain mengenai wisata Chiang Mai. Kota ini dikelilingi taman-taman nasional, yang terkenal adalah Doi Inthanon yang ada di utara kota. Iklim di kota ini relatif lebih sejuk daripada Bangkok, meski masih panas menyengat (sampai 29 derajat) tetapi bisa turun hingga 21 derajat di pagi hari. Di November hingga Februari, temperatur bahkan bisa turun hingga 11-14 derajat.

So, paparan data ini yang saya siapkan sebelum kami memutuskan ke Chiang Mai. Jauh sebelum kereta yang kami tumpangi menyatakan perhentian akhirnya di stasiun Chiang Mai di hari keenam kami di Thailand. Jam tujuh pagi kami sudah keluar dari gerbong dan sarapan di sebuah kedai depan stasiun. Ini waktu yang terlalu dini untuk check in, tetapi karena waktu menjelajah hanya satu hari dan satu malam, sayang juga untuk dilewatkan.

Itinerari saya bagi jadi dua. Sebelum check in adalah wisata kota tua (citadel), dengan mengunjungi beberapa objek sejarah dan melihat kampung wisata di dalamnya. Melihat antusiasme Magi terhadap kuil, saya memasukkan beberapa objek kuil di dalamnya. Di antaranya adalah Wat Phra Singh (kuil terbesar di Chiang Mai), Wat Sri Suphan (kuil perak), dan Wat Chiang Man (kuil tertua). Selain itu, itinerari pertama juga akan menyambangi pusat kota tua berupa alun-alun dan museum Chiang Mai.

Itinerari kedua, setelah check in, adalah menyusuri distrik kreatif di Nimman. Agendanya adalah berjalan kaki kurang lebih sejauh 1,5 kilometer dari mal Maya hingga ujung Nimman lokasi hotel kami. Agenda yang disasar antara lain One Nimman, sebuah mal kreatif terkurasi yang ada di ujung awal jalan. Selain itu melihat beberapa retail posmo, toko buku, dan kedai kopi yang ada di sepanjang jalan. Jadi, itinerari ini adalah kombinan dari konsep itinerari di Bangkok sebelumnya. Semuanya dalam satu hari full saja.

Apabila mempunyai waktu lebih, bisa dipertimbangkan untuk keliling greater Chiang Mai, termasuk kampung muslim yang letaknya tidak jauh dari stasiun. Sama seperti Bangkok, terdapat beberapa pasar malam juga di Chiang Mai yang bisa jadi sasaran tujuan penggemar wisata belanja. Bagi pelancong keluarga, Chiang Mai juga mempunyai atraksi menarik seperti night safari, kebun binatang, dan obyek wisata alam di Doi Inthanon. Bila sempat ke daerah tinggi, bisa juga menyimak Wat Phra That Doi Suthep yang ada di lereng gunung dan bisa melihat Chiang Mai dari ketinggian.

Itinerari Pagi


Tapi waktu kami tidak banyak, disamping aklimatisasi serta penyesuaian terhadap mobilitas di Chiang Mai. Grab masih bisa digunakan di sini, meski tidak banyak. Jalur bis kota baru yang disediakan mulai 2016 juga beroperasi dengan durasi setengah jam sekali. Tantangan pertama kami adalah bagaimana menuju pusat kota dari stasiun. Beberapa tanda larangan driver Grab banyak dipasang, sehingga opsi terbaik kami rasanya songthaew, angkot ala Thailand yang berupa convertible pickup. Macam angkot jaman baheula di Indonesia.

Songthaew ini kombinasi taksi dan angkot. Ia tidak memiliki rute tetap, tetapi inklusif untuk penumpang berbagai destinasi. Setting rutenya akan bergantung pada orang yang menumpang di awal. Sehingga, ketika kita menyetop songthaew di pinggir jalan biasanya akan bertanya dulu apakah rutenya sejalan atau tidak. Tarif songthaew ini 30 Baht per-orang, jauh-dekat. Saya memborong songthaew seharga 100 Baht untuk mengantar kami berempat menuju hotel untuk menaruh ransel dan bawaan. Hotel kami ada di distrik Nimman, berjarak sekitar 6 kilometer dari stasiun dan sempat melewati kota tua.

Dari hotel, sampai jam check in, kami melanjutkan trip menuju kota tua dengan kendaraan rental yang kami pesan untuk 4 jam di Klook. Supaya fleksibel dan bisa berhenti di mana saja, mengingat waktu terbatas dan banyak yang ingin dilihat. Opsi ini paling baik karena relatif hemat waktu dibanding naik turun songthaew atau mencari Grab yang waktu tunggunya lama.

Dengan kendaraan sewa, kami mencoba memenuhi semua itinerari yang dijadwalkan. Mulai dari Wat Phra Singh yang ada di dalam kota tua. Wat dalam bahasa Thailand berarti kuil. Phra adalah agung. Jadi, di tiap wilayah pasti ada Wat Phra, sebagaimana katedral dalam gereja Katolik. Di Bangkok, Wat Phra-nya ada di dalam Grand Palace (Wat Phra Kaew). Yang kami kunjungi kali ini adalah kuil agungnya Chiang Mai.

Wat Phra Singh adalah kuil terbesar di Chiang Mai, sebagian didukung oleh adanya tempat pendidikan biksu yang masuk dalam kompleks. Atraksi utamanya adalah stupa emas yang disangga oleh empat gajah. Arsitektur beberapa kuil di sini juga masih menggunakan arsitektur tradisional Lanna (kerajaan tua di wilayah utara Thailand). Untuk masuk ke sini, tidak dikenakan biaya. Kita bisa menyumbang dan menyampaikan doa baik atau harapan untuk nanti disebutkan dan didoakan oleh pada biksu di dalam kuil utama.

Selepas dari Wat Phra Singh, selanjutnya adalah menuju Wat Sri Suphan yang sedikit keluar dari citadel. Kompleks kuil yang ini tidak terlalu luas, dan untuk masuk harus membayar 50 Baht. Atraksi utamanya adalah kuil dari perak yang menyelubungi kuil utama, hingga ke interiornya. Proses selubung ini dimulai pada 2008 dan masih berjalan hingga sekarang. Workshop perajin perak masih terus berjalan dan bisa dilihat sebagai atraksi lainnya.


Dari Wat Sri Suphan, kami menuju destinasi berikut, yaitu pusat kota tua. Landmark berupa patung tiga raja (Three Kings Monuments) menjadi penanda kompleks administrasi pusat kota tua. Kawasan ini seperti kawasan museum Fatahillah di Jakarta, dengan bangunan tua di sekitarnya sekarang menjadi museum atau kafe. Kita bisa membeli tiket terusan untuk ke seluruh museum (ada empat museum) seharga 200 Baht per-orang atau bisa per-museum. Kami akhirnya hanya mengambil satu museum saja, yaitu museum seni dan budaya Chiang Mai yang letaknya persis di belakang Three Kings Monuments.

Selepas dari museum, agenda berikutnya harus dijalani dengan cepat lantaran jatah sewa kendaraan mulai habis. Kami menggunakan kendaraan untuk mencari makanan halal (yap, pertama kali setelah seminggu baru coba consciously mencari makanan halal) di kedai sekitar kota tua. Selepas makan, kami menyambangi Graph, kedai kopi unik di dalam kota tua untuk kemudian mengakhiri ekskursi dengan melewati Wat Chiang Man, kuil tertua di Chiang Mai.

Itinerari pagi diakhiri di hotel, tepat pada waktu check in (jam 2 siang) dan diakhiri dengan istirahat (tidur siang) sebelum lanjut ke itinerari babak kedua.

Related

wat sri suphan 8271950420997324730

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item