Red Hot Chili Peppers di Singapura: Antara Ekspektasi dan Improvisasi


Red Hot Chili Peppers tampil perdana di Singapura dalam karier 36 tahun mereka. Apakah mereka mampu memenuhi ekspektasi yang dipendam lama?

Jam 22:15 waktu Singapura, layar besar tempat menonton Formula 1 sudah dipadamkan. Masih terdengar suara siaran yang mewartakan wawancara pembalap yang masuk podium. Dua pembalap Ferrari dan satu dari Red Bull. Tanpa gambar, bahkan podium dan lagu kebangsaan Jerman serta Italia juga masih diperdengarkan.

15 menit kemudian, lighting di panggung menyala dan tiga orang mulai membunyikan perangkat masing-masing. Flea, Josh Klinghoffer, dan Chad Smith. Flea dan Josh mengenakan bandana. Chad seperti biasa dengan reversed baseball cap-nya. Membuka dengan tradisi jamming instrumen (Intro Jam) yang kemudian menuju lagu pembuka, “Can’t Stop”.

Lagu tersebut adalah staple di konser-konser Red Hot Chili Peppers (RHCP). Paling tidak sejak mereka jalani tur untuk promosikan album The Getaway yang dirilis 3 tahun lalu.

Band asal Los Angeles, Amerika Serikat tersebut tampil sebagai penutup gelaran tiga hari Grand Pric Formula 1 Singapura. Mereka tampil di arena konser Zone 4, yang menjadi semacam race village-nya penggemar F1. Namun, dengan kehadiran RHCP, massa yang datang tidak hanya mengenakan merchandise tim F1. Banyak pula yang menggunakan kaos RHCP, Guns N' Roses, Metallica, dan Nirvana.

Karakteristik Penggemar


Arena konser Zone 4 menampung 30.000-an orang. Sebagian besar, tentu saja, penggemar F1. Mungkin sebagian juga pernah punya irisan budaya dengan musik RHCP. Terutama bagi yang pernah hidup di tahun ‘90an. Musik alternatif ‘90an dulu seperti punya blockbuster sendiri. Mereka adalah Metallca, Guns N' Roses, Nirvana, Pearl Jam, dan Red Hot Chili Peppers.

Pada 1991, kelimanya merilis album pada periode Agustus-September yang meledak di pasar. Metallica merilis album yang dikenal dengan Black Album. Guns N' Roses merilis Use Your Illusion. Pearl Jam dengan debut album Ten. Nirvana merilis Nevermind. Lalu RHCP meluncurkan Blood Sugar Sex Magik (BSSM). Videoklip mereka mendominasi MTV.

Usai masa tersebut, RHCP sempat timbul dan tenggelam. Sebagian karena masalah adiksi narkoba yang membuat mereka sempat berganti personil. Gitaris John Frusciante digantikan Dave Navarro ketika RHCP merilis album lanjutan dari BSSM, One Hot Minute pada 1995. Dave tidak bertahan lama, memberi jalan bagi kembalinya Frusciante di 1999.

Pada tahun 1999 itulah RHCP mengalami second coming. Album yang rilis mereka, Californication, diserap dengan baik oleh pasar. Pencapaian ini disusul dengan keberhasilan rilis berikutnya, album By the Way (2002) yang juga mendapatkan apresiasi baik. Mereka membuka wave penggemar baru yang tidak terlalu mengikuti katalog-katalog sebelum album tersebut. Let alone era-era funky sebelum album BSSM. So, menjelaskan “penggemar RHCP” yang mana, ada tiga klasifikasi.

Yang pertama adalah longtime fan, golongan yang sudah mendalami RHCP, karena sebetulnya band ini telah beredar sejak 1983. Memburu Mothers Milk dan Uplift Mofo Party Plan. Mengakrabi gibbersih-rant dari Anthony Kiedis dan meniru slap bass-nya Flea. Mereka yang mengerti bahwa band ini pernah punya personil bernama Jack Irons dan Hillel Slovak.

Kedua, adalah golongan anak '90-an yang besar bersama BSSM. Mengenal "Under the Bridge" dan "Give It Away" sebagai anthem masa muda. Masih terkenang dengan beberapa lagu setelahnya, antara lain "Soul to Squeeze" dan "Aeroplane". Barangkali beberapa masih berlanjut juga dengan second coming mereka di Californication, tetapi tidak mengikuti lagi rilisan berikut lantaran (konon) selera musik berhenti di usia 24 tahun. Orang yang berpikir gitarisnya masih John Frusciante.

Yang terakhir adalah penggemar hardcore RHCP. Yang masih menanti dan menyukai Kiedis dkk sampai rilisan paling mutakhir mereka, The Getaway. Setidaknya mengikuti fase-fase usai second coming, minimal masih mengerti beberapa lagu dari Stadium Arcadium (2006). Orang-orang yang lulus dalam spelling bee menuliskan Klinghoffer. Album Californication menjadi pemisah dengan golongan di atasnya.

Setlist

Di konser Zone 4, dalam skala proporsi, golongan terbanyak adalah golongan kedua. Mereka yang berdiri berharap katalog "klasik" (dalam pemahaman mereka) dipanggungkan. Sebagian datang karena RHCP (atau musik rock umumnya). Sebagian lagi tahu dan familiar, tetapi ada di sana karena Formula 1. Dalam terminologi ini, bisa jadi mereka sedikit bingung dengan pilihan setlist yang diambil RHCP malam itu.

RHCP adalah band dengan skema setlist acak. Artinya, antara satu konser dan yang lainnya tidak pernah sama. Strukturnya, sekitar 50% merupakan staple, sisanya adalah rotasi atau bergantian. "Can't Stop" adalah staple sebagai pembuka. Repertoir set utamanya juga dipastikan akan memuat "Californication" dan "Dark Necessities", sebelum kemudian diakhiri dengan "By the Way".

Sesi encore juga menggunakan struktur tetap 3 lagu. Yang pertama adalah jam session-nya Josh Klinghoffer, disusul dengan "Goodbye Angel" dan "Give It Away". Sisanya merupakan rotasi, yang dipasang bergantian antara "Zephyr Song" atau "Scar Tissue", lalu "Under the Bridge" atau "Soul to Squeeze". Katalog funky juga masih kadang dibawa, dari periode pra-BSSM, kadang muncul "Suck My Kiss". Mereka juga akan menyisipkan banyak jam session dan lagu kover.

Di Singapura, RHCP membawakan setlist yang cukup di luar pattern. Antara lain menyisipkan "Fortune Faded" yang cukup jarang dibawakan, tidak memasukkan "Otherside", dan membawakan "Higher Ground" yang berasal dari era pra-BSSM.

Tidak ada "Under the Bridge" dan ada 4 lagu kover yang mungkin memakan jatah untuk katalog hits mereka. Salah satunya sesi jamming lagu The Cars yang berjudul "Just What I Needed". Lagu ini baru pertama kali dibawakan.

Total dalam durasi 90 menit, RHCP membawakan 18 lagu dari 6 album. Ini artinya kurang dari separuh katalog, dan porsi terbesarnya adalah dari album By the Way dan The Getaway. Hanya satu dari Blood Sugar Sex Magik. Dua dari Californication yang sangat ditunggu, tetapi salah satunya adalah "Right On Time" yang sebetulnya bukan track yang dinanti saat konser.

Improvisasi dan Jamming


Apakah pilihan non populer ini mengurangi nilai performance mereka? Bisa jadi, untuk kategori penggemar yang jadi mayoritas di konser tersebut. Usai konser, beberapa kelompok penonton menyanyikan "Otherside" yang menurut mereka harusnya dibawakan. Beberapa menggerutu lantaran "Under the Bridge" atau "Around the World" tidak ada.

Namun, seharusnya mereka melihat juga betapa band tampil dengan mood yang luar biasa positif. Permainan mereka juga berlandaskan pada modus yang membuat mereka besar, yaitu improvisasi dan jamming. Mereka besar dengan elemen inkonsistensi (musikal - bukan dalam term negatif) yang jadi daya tarik. Tak ada solo gitar yang sama dari Klinghoffer, meneruskan tradisi pendahulunya John Frusciante. Tak ada bar yang sama panjang dari jamming sesi ritem antara Flea, Chad, dan Josh.

Justu di situlah daya tarik menonton konser RHCP. Melihat improvisasi dan energi yang dipancarkan veteran peraih Rock N' Roll Hall of Fame ini. Flea tidak terlihat seperti musisi berusia 56 tahun. Masih melompat, bergoyang, dan menyiksa Fender Jazz-nya. Mengimbangi Klinghoffer yang baru 39 tahun. Mereka membuktikan musical prowess. Bermain dengan improvisasi dalam kondisi harus atraktif, atau kendala teknis seperti ear-monitor lepas atau senar putus.

Kiedis juga tidak tampak menua. Penampilannya masih sama dengan memamerkan kumis yang ditumbuhkannya sejak dekade '10-an. Konsisten masih bisa menghajar notes dengan sempurna. Sekonsisten ia yang masih tidak hafal lirik lagu yang ditulisnya sendiri. Menyanyi sambil melihat contekan menjadi bukti bahwa repetan prosa yang dikeluarkannya memang nyaris tanpa konsep.

Ayolah, siapa yang paham maksud lirik "Joan of Arc reincarnated, maybe we could be related"? Ini bukti bahwa musik RHCP yang terpenting adalah sesi bersenang-senang dengan jam sessionnya. Dan mestinya penonton juga menyadari bahwa band ini ingin dikenal funky-nya, penerus legacy James Brown yang memaksa orang bergoyang bersama groove dan rhythm section.

Tepat jam 00:00, ketika berganti hari Senin (23/9), RHCP menyudahi dengan "gibrewei gibrewei". Mengakhiri pesta untuk ribuan orang. Sebagian mungkin masih bingung berharap konser lebih lama lagi, karena mereka datang bukan untuk Formula 1. Sebagian lagi mungkin lega karena dipaksa bertahan melihat jam session dari sekumpulan uncle-uncle dengan musik dan atraksi akrobatik. Divisif reaksi ini barangkali kesimpulan paling pas untuk menceritakan impresi atas konser RHCP di Singapura.

Terlalu banyak ekspektasi untuk dipenuhi, tetapi Red Hot ya just being Red Hot.

Minus:
- Durasi waktu yang singkat (90 menit)
- Memasukkan beberapa lagu "funk-oriented" di tengah massa yang heterogen, yang sebetulnya bisa "dibakar" dengan pilihan lagu yang familiar
- Minim partisipasi dan komunikasi dengan massa (interaktivitas)

Plus:
- Sound maksimal (every notes heard)
- Atraksi panggung liar, being Red Hot
- Performa musikal prima dari seluruh personil
- Profesional on timing
- Flea being frontrunner
- Josh Klinghoffer deserved his place

Foto: Wisnu HY

Red Hot Chili Peppers
Zone 4, Singapura
Minggu, 22 September 2019

1. Intro Jam
2. Can't Stop
3. Fortune Faded
4. The Zephyr Song
5. Dark Necessities
6. Strip My Mind
7. I Wanna Be Your Dog (kover The Stooges)
8. Right on Time
9. Snow ((Hey Oh)) 
10. Californication
11. Go Robot
12. Higher Ground (kover Stevie Wonder/Mothers Milk)
13. Just What I Needed (kover The Cars)
14. Soul to Squeeze
15. By the Way 

Encore:
16. Purple Rain (kover Prince)
17. Goodbye Angle
18. Give It Away

Related

STICKY 2517998471639774049

Posting Komentar Default Comments

2 komentar

Farry Aprianto mengatakan...

FYI ini bukan RHCP pertama di Asia Tenggara. 2014 pernah di Manila dalam rangka 7107 International Music Festival.

Helman Taofani mengatakan...

Thank you koreksinya :)

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item