Kemistri dan Reaksi

Belum lama, Spotify merilis kaleidoskop statistik lagi yang kerap diputar penggunanya. Sayapun. Mendapati Ramin Djawadi ada di pucuk musi...


Belum lama, Spotify merilis kaleidoskop statistik lagi yang kerap diputar penggunanya. Sayapun. Mendapati Ramin Djawadi ada di pucuk musisi yang paling sering saya putar di 2019. Di bawahnya, sederet komposisinya di Game of Thrones, menjadi lagu-lagu yang kerap didengarkan.

Di slide berikut, Spotify memberitahu musisi yang paling banyak saya dengarkan di dekade 2010-2019. Tidak kaget, karena termuat gambar Pearl Jam di sana. Sebagian orang yang mengenal saya, fakta ini tidak akan mengagetkan. Yang mengagetkan bagi saya adalah fakta bahwa di 2019 saya jarang sekali mendengarkan Pearl Jam!

Eddie Vedder cs tidak ada di 10, bahkan 20 besar, lagu yang sering saya putar. Kalah jauh dibandingkan dengan Blue Oyster Cult. Apakah saya berhenti jadi penggemar Pearl Jam?

Sabtu (7/12) kemarin, saya berangkat ke acara 40+ Tribute to Pearl Jam yang diadakan di kedai kopi Mantapdjiwa, BSD, Tangerang Selatan. Jujur, yang mendorong saya ke sana adalah keinginan untuk bersua dengan kawan-kawan. Minimal kawan yang ada di salah satu grup WA. Bukan karena ingin mendengar Pearl Jam.

Ketika di lokasi, dan bersua (dengan kawan-kawan), energi yang muncul tidak bohong juga. Bahwa kami yang di sana sebetulnya punya “hutang jasa” juga terhadap Pearl Jam. Kami bisa berkawan karena punya mutual interes yang sama. Dan awalnya, ya karena Pearl Jam.

So, ketika 40+ membuka dengan Release, naluri tidak bohong. Sontak halaman belakang kedai kopi tersebut menjadi lahan karaoke masal. Masal di sini 20-an orang saja, yang boleh dibilang close knit. Entah kenapa yang mau datang hanya “lu lagi lu lagi”. Mungkin motif awal mereka sama semua. Gonna see my friends.

Namun, ketika diingatkan dengan tautan kenapa mereka ada di sana, yang dibawakan oleh 40+ dengan sangat apik, energipun disambut. Ya, menyanyilah kami semua. Semua katalog dilahap, mengeluarkan “inner fanboy” dalam diri kami. Menyitir ucapan Jessy, vokalis 40+, percuma melihat lirik. Kalau salahpun akan ada yang benerin dari penonton.

Maka dimulailah “ujian” menyanyi lagu Wishlist yang hanya terdiri dari berbagai verse (tanpa bridge atau refrain). Baik Jessy maupun kami saling berpandangan mengingat urutan verse. Apakah “neutron bomb” dulu atau “verb to trust”.

Dari pembuktian geekiness, hingga common fanboy, seperti singalong ketika Better Man. Acara tersebut memang seperti momen rilis sesuatu yang tertahan saja. Ketika Hasley misalnya, yang mengaku sudah 5 tahunan tidak menyanyikan Pearl Jam, membawa mik, maka jiwa Eddie Vedder-nya muncul lagi. Ia “liar” ketika Porch dibawakan.

Tidak ada kata klise dalam energi kolektif. Tidak ada snobisme ketika menyangkut komunal. Malam itu kami berbagi semuanya kok. Salah start, koor cheesy "Wind of Change" (iya, Scorpion, bukan Pearl Jam), atau sekadar catch up dan berbasa-basi tentang bola. Kami sudah lama tidak bersua, baik dengan kawan komuni maupun dengan si biang suara: Pearl Jam.

Saya terngiang masih bisa menyanyikan Faithfull dengan baik malam itu. Masih hafal. Dan juga kembali ke memori bahwa saya menyimpan 130-an lagu Pearl Jam di otak. Tahu 98% lagu mereka. Pernah juga buang uang, menangkap mereka menyeberang kolam besar.

Memori juga yang memberikan lintasan gambar kapan saya melihat Jessy pertama kali menyanyi. Itu tahun 2005, ketika Pearl Jam Nite I. Menonton mas Nito memainkan lick Mad Season. Mengerti mas Alex Kuple sebagai pemain bas untuk ALV. Keduanya tahun 2006. Memori yang kemudian merangkai ke deretan pengunjung yang ada di situ dalam sebuah keterikatan seperti model molekul pelajaran kimia.

Oh iya, kimia.

Kemistri.

Sepertinya itu yang membuat show malam itu menjadi demikian dekat dan berkesan. Karena kohesi, konsernya menjadi sangat intim. Semua bereaksi. Semua bersenang-senang. Karena reaksi, semua jadi berbagi. Berbagi cerita dan ekspresi. Dalam sebuah konser di kedai kopi, apa lagi memang yang dicari?

Dan iya. Kimia.

Karena setelahnya, entah bagaimana kami menghabiskan waktu mengomentari event kecil tersebut seperti halnya reuni yang menyenangkan. Membahas kabar-kabar dan afirmasi yang didapatkan selintas lalu. Tapi semua bahagia bisa catch up. Rekoleksi.

Kimia ini yang kemudian mengirimkan serotonin dalam memori positif. Bahwa tadi kami terhubung lagi dengan kawan dan Pearl Jam. Yang dibahas hingga oper hari.

Ahad pagi, jam 4.30 subuh saya menata musik untuk mengantar olahraga. Secara sadar, pengaruh serotonin dan keinginan mengenang, membawa saya memilih lagu Pearl Jam.

Tidak lagi diseleksi lagu-lagu obscure yang mewakili strata saya dalam jagad fandom. Kali ini saya terlalu kangen mereka untuk bahkan mendengar Last Kiss-pun saya selebrasikan bernyanyi sambil berlari.

The Loord took her away from meeeee.

Padahal Last Kiss tidak ada dalam repertoir 40+ malam sebelumnya.

Related

STICKY 5085248318153464543

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item