Gap Formalitas Sehelai Kaos

Hari ini adik kelas saya membuat sebuah "newsletter" (walau isinya bukan news , lebih ke statement) gado-gado. Isinya, secara ...


Hari ini adik kelas saya membuat sebuah "newsletter" (walau isinya bukan news, lebih ke statement) gado-gado. Isinya, secara garis besar, tentang kehidupan perkuliahan dan dinamikanya. Wa bil khusus di lingkup Jurusan Arsitektur, Universitas Sebelas Maret.

Salah satu yang menarik perhatian saya adalah statement penolakan terhadap aturan yang meng-ilegal-kan pemakian kaus oblong (kaus tanpa kerah) dan sandal jepit untuk mendapatkan pelayanan Jurusan. Well, kasus ini sebenarnya sudah menjadi retorika sejak lama. Banyak ekspresi, 90 persen mahasiswa, menyatakan tidak setuju jika kaos dan sandal "didiskriminasi" oleh Jurusan.

Pernah ada ilustrasi menggelitik, apakah Jurusan akan melayani mahasiswa yang bercelana pendek dan berkemeja tanpa lengan, tetapi memakai sepatu?

Bagi saya pribadi, kasus ini merupakan contoh buruk bagaimana sistem kita memaknai format dan formalitas. Maksud dari konvensi tersebut adalah baik, bahwa jika kita menuntut pelayanan maka kita mesti meminta dengan sopan. Dalam hal ini kaos tanpa kerah dan sandal jepit dianggap sebagai outfit yang kurang layak bagi etika kesopanan.

Sayangnya, baik si pemakai kaos dan sandal serta pihak Jurusan sama-sama tidak mengetahui esensi di balik itu. Hari gini gitu loh!

Kalau harga sebagai patokan, kemaren saya ke outlet fashion branded dan mendapati sebuah kaos "luntur" seharga 180 ribu! Katanya sih, representasi jiwa para skateboarder ABG yang jadi sasaran konsumen. Jika kita membeli kaos semahal itu, bukankah sebuah privilege ketika kita memakainya di suatu occassion?

Misalnya saya memakainya di kampus, berarti occassion di kampus itu spesial, hingga saya mengeluarkan "jurus keren" tersebut. Dan ketika hal itu menjadi nggak nyambung dengan petugas pelayanan Jurusan (yang melihat betapa belelnya kaos tersebut), maka siapa yang bisa disalahkan?

Petugas berasumsi bahwa anak ini: "Udah make kaos, belel pula!"

Yang jadi masalah sebetulnya format dan formalitas itu yang tidak bisa menoleransi perubahan budaya. Hal itu yang terjadi juga dengan Tugas Akhir saya.

Ketika saya mengajukan ide (atau ramalan) bahwa "...our heritage culture has lost its power to determine architecture...", di lingkungan pendidikan arsitektur konservatif, hampir semua audiens Sidang Tugas Akhir keberatan. Ini rasanya seperti memakai kaos itu tadi.

Anyway, dalam opini saya, pakailah yang kamu merasa nyaman (namun tetap pantas). Kaos memang relatif paling "pas" untuk iklim sepanas Solo. Kaos tidak membuat iritasi di kerah. Dan hakikatnya, kita semua pasti ingin nyaman. Buktinya, coba saja memakai baju beskap, jarit, selop, dan blangkon ke kampus. Dijamin jadi pusat perhatian, dan belum tentu juga dilayani oleh pihak Jurusan. Anda bisa dianggap sedang parade. Padahal kita sedang "melestarikan budaya".

See, our heritage culture could not even determine our lifestyle now.

Related

urban living 9217910450471331957

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item