Another Saga for Pearl Jam

Tahun 1994, saya masih terlalu lugu untuk menyimak sepak terjang Pearl Jam meluncurkan antitrust ke raksasa EO, Ticketmaster atas dugaan mon...


Tahun 1994, saya masih terlalu lugu untuk menyimak sepak terjang Pearl Jam meluncurkan antitrust ke raksasa EO, Ticketmaster atas dugaan monopoli penyelenggaraan dan pengadaan tiket pertunjukan (semacam laporan ke Komisi Persaingan Usaha kalo di Indonesia). Saya hanya mendapatkan legacy berupa saga epik yang juga diulas Rolling Stone sebagai salah satu landmark perjuangan Rock N Roll sepanjang sejarah.

Kemudian saya juga belum cukup faham ketika aksi band Rage Against the Machine menentang sensor oleh politisi Tipper Gore di panggung dengan telanjang bulat memiliki makna lebih bagi isu yang dibawa. Saya tidak begitu paham bahwa Amerika Serikat memiliki beberapa amandemen yang di antaranya menjamin kebebasan berbicara sebagai elemen fundamental dari demokrasi yang mereka agungkan.

Dua hal itu mengaitkan kepada isu sentral saat ini di kancah industri hiburan Amerika menyusul insiden penyensoran lirik Pearl Jam via siaran web (webcast) AT&T yang menayangkan konser mereka di event Lollapalooza pekan lalu. Dalam siaran yang "seharusnya langsung" tersebut, AT&T menghilangkan bagian improvisasi lirik di lagu "Daughter" plus tag lagu Pink Floyd "Another Brick in the Wall" yang dinyanyikan Eddie Vedder, vokalis Pearl Jam, sebagai berikut:

"George Bush leave this world alone.
George Bush find yourself another home."


Beberapa saat, bagian itu tiba-tiba menjadi muted.

Sudah bukan rahasia jika Pearl Jam adalah frontliner di jajaran musisi anti-Bush. Tetapi aksi AT&T yang menyensor bagian kritik terhadap presiden AS itu memunculkan gelombang protes terhadap netralitas media saat ini. Sejumlah situs memberi dukungan kepada Pearl Jam, seraya mengecam habis kebijakan AT&T yang menujukkan koalisi korporasi dengan pemerintahan korup. Hal ini menjadikan preseden buruk bagi Amerika yang konon sangat menjamin penghargaan terhadap "free speech" dan demokrasi.

Gitaris Mike McCready menuliskan di website band, dengan mengutip George Orwell yang mengatakan bahwa jika kebebasan menjamin segalanya, maka adalah hak kita untuk mengatakan sesuatu yang mungkin bertentangan dengan orang lain. Dalam hal mengkritisi pemerintah, itu bukan berarti sikap apatriotis. Patriotisme, dijelaskan McCrady, adalah sikap mendukung negara dan juga pemerintah ketika mereka memang layak untuk didukung. Hal itu ditegaskan Mike jika landasan AT&T menyensor tag yang dinyanyikan Eddie Vedder adalah atas dasar landasan sikap patriotisme.

AT&T telah membuat kesalahan fatal dengan menyensor yang notabene merampas kebebasan bicara. Dan yang lebih besar lagi, apa yang disensor AT&T mungkin menunjukkan kecondongan korporasi media tersebut ke sisi pemerintahan Bush.

Dan rasanya, inilah saga kedua terbesar Pearl Jam setelah peristiwa Ticketmaster. Tetapi, karena berupa webcast, dan dengan bantuan streaming internet, rasanya saga ini tidak akan hanya menjadi konsumsi regional, tetapi kita yang di Indonesia sekalipun bisa menilai dengan bantuan dokumentasi seperti yang bisa disimak di link ini.

On days like this I'm hugely proud to call myself a Pearl Jam fan.

Related

recent issues 7130397871801884775

Posting Komentar Default Comments

3 komentar

Daeng Ipul mengatakan...

satu bukti bahwa negara yang katanya adalah polisi dunia, tempat di mana demokrasi dijunjung tinggi ternyata tidak lebih baik dari negeri kita di masa pemerintahan orde baru....

maybe someday, we will be proud as a Pearl Jam fans...yes we will...

Helman Taofani mengatakan...

maybe someday, we will be proud as a Pearl Jam fans...yes we will...

Gw sih udah, ngga nunggu someday lagi. Hehehehe.

Anonim mengatakan...

SALAM KENAL

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item