"Lost World" di Indonesia

Indonesia adalah surga bagi penelitian biologi dan geografi. Setelah Galapagos, sebetulnya landasan revolusioner untuk teori evolusi banyak ...


Indonesia adalah surga bagi penelitian biologi dan geografi. Setelah Galapagos, sebetulnya landasan revolusioner untuk teori evolusi banyak terjadi di bumi pertiwi kita ini. Sebut saja penemuan-penemuan di sepanjang alur sungai yang tengah menjadi headline saat ini, Bengawan Solo, yang mempertemukan argumen-argumen Eugene Dubois dan Von Koeningswald untuk menyingkap hidup spesies hominid. Atau ketika karib pena Charles Darwin, Alfred Russel Wallace, menyingkap pembagian biodiversitas fauna Asia dan Australia dengan garis Wallacea-nya. Kemudian Weber kembali membuat cengang dunia biologi dengan menemukan area transisi fauna di antara garis Wallacea di daerah Sulawesi dan Nusa Tenggara. Semua itu adalah elemen penting dalam pembelajaran mengenai teori evolusi, setara dengan "hotspot" lainnya seperti lembah retakan besar di Afrika Timur, dataran Patagonia, dan sebagainya.

Terakhir, pada 2007 lalu, sebuah penemuan baru di Nusantara dipublikasikan dalam jurnal-jurnal geografi dan biologi menyusul tersingkapnya "dunia yang hilang" di pegunungan Foja, yang masuk dalam teritori Papua Barat, yurisdiksi negara kita Indonesia. Di area tersebut, ada sekitar 300 ribu hektar hutan tropis yang diduga belum terjamah sama sekali oleh manusia. Beberapa spesies baru ditemukan di area tersebut, dan sebagai penguat asumsi zonder kehadiran manusia adalah mereka (fauna di "dunia yang hilang") tidak merasa takut dengan kehadiran manusia. Beberapa herbivora dan marsupialia yang ditemukan, tidak berontak ketika berhadapan langsung dengan spesies kita, yang notabene merupakan perusak nomer satu di jagad raya. Desember lalu, foto mencengangkan tentang sosok tikus raksasa yang digendong salah satu peneliti menjadi salah satu bukti eksotis dari ragam spesies-spesies baru yang ditemukan (foto). Termasuk katak kecil berukuran 14 mili, kanguru berbulu emas dan ragam spesies burung yang menambah khasanah biologi kita.

Fauna yang ditemukan di area tersebut adalah spesies-spesies baru yang berbeda dengan para sepupu mereka di wilayah lain. Nenek moyang dari satwa di sana mungkin sama, tetapi mereka mengalami evolusi akibat isolasi area tersebut dari daerah lain. Kasusnya adalah skala kecil dari teori retakan besar di Afrika, atau perubahan yang ditemukan Darwin di Galapagos. Daerah "dunia yang hilang" tersebut dulunya adalah sebuah danau, yang secara geografis lebih rendah dari kawasan-kawasan lain di sekelilingnya. Ketika danau mengering, kawasan tersebut berubah menjadi ekosistem hutan yang mendatangkan satwa-satwa di sekitarnya. Selama ribuan tahun, satwa yang berada di bekas danau tersebut tidak pernah keluar dari area tersebut dan berveolusi mengikuti habitat mereka. Seperti halnya fauna australia yang digariskan Wallace, spesies didominasi oleh burung dan marsupialia. Rata-rata masih memiliki ikatan genus dengan sepupu mereka. Misalnya kanguru pohon, possum, tikus, burung-burung tropis dan sebagainya. Hanya saja, bentuk morfologis mereka relatif berbeda dengan kerabat terdekat. Hal itu menunjukkan satu bab penguat dari teori evolusi yang berkembang sebagai akibat isolasi ekosistem dengan dunia luar.

Penemuan itu sontak menjadi perhatian internasional, dengan ekspedisi demi ekspedisi dikirim untuk menjelajahi area yang sejak 20 tahun lalu memang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Suku terdekat dari area tersebut, orang-orang Kwerba, mengaku tidak pernah lebih jauh menjelajahi hutan sampai ke area "dunia yang hilang" karena mereka meyakini kesakralan hutan perawan tersebut. Attitude tersebut setidaknya telah membantu melestarikan ekosistem langka tersebut untuk mempertahankan ragam biologi yang ada. Kini, kawasan Foja menjadi salah satu "hotspot" konservasi biodiversitas di seluruh dunia. Sebelumnya, Indonesia mempunyai beberapa "hotspot" yang sayangnya kini makin merana. Sebut saja kawasan Ujungkulon yang menjadi evidens evolusionis satwa Asiatis dengan ikon-nya badak bercula satu. Kawasan ini terus menyusut terdesak pemukiman manusia pulau Jawa yang memang rapid sekali pertumbuhannya.

Ancaman terbesar saat ini untuk kawasan Foja bukan perkembangan manusia. Tetapi, seperti halnya di Sumatera dan Kalimantan, kasus-kasus logging yang membabat satu demi satu kanopi tropis menjadi penyumbang susutnya populasi satwa di ekosistem heterogen tersebut. Degradasi alam liar di Indonesia adalah salah satu yang paling ekstrim di dunia. Saat ini, satwa-satwa di Foja tengah beradaptasi dengan kemunculan satu demi satu manusia yang rata-rata berprofesi sebagai peneliti yang mulai merambah hutan tersebut. Saya harap, mereka tidak akan bertemu dengan senapan atau gergaji mesin yang akan membantai ekosistem eksotik tersebut.

Indonesia adalah sebuah surga bagi banyak makhluk Tuhan. Rentang waktu dari era Koeningswald sampai penemuan di Foja adalah sumbangsih besar negara kita terhadap perkembangan teori evolusi, lingkungan dan kehidupan fauna. Saatnya dunia "mengakui" bahwa Indonesia adalah sebuah surga. Tetapi bola juga di kaki kita untuk mencegah sebuah episode "Paradise Lost" kembali terjadi di bumi pertiwi menyusul kabar kepastian punahnya harimau Jawa dan satwa-satwa yang musnah sebelumnya.

Photo source: National Geographic

Related

wildlife 3200661606904940550

Posting Komentar Default Comments

3 komentar

Daeng Ipul mengatakan...

dan Indonesia juga adalah surga bagi para perampok semacam Adelin Lis..

hikss...hikss..

donlenon mengatakan...

setuju bagi mas ipul. Indonesia merupakan ranah kebebasan. bebas ngorupsi, bebas nebang hutan, bebas nyabu, bebas mbajak, en bebas lain-lainnya.
Kalopun tertangkap tangan dan terbukti bersalah di depan buku KUHP, kita pun masih bebas menyogok pihak terkait...

Helman Taofani mengatakan...

Concern-nya juga di situ bung Ip dan DonLen. Denger-denger di Papua sono mafia-nya langsung dibeking (atau bahkan dilakukan langsung) oleh militer.

Oh my God...

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item