MAJAPAHIT HERITAGE TRAIL (Pt. 01)

Sekitar separuh milenium silam, Jawa Timur menjadi pusat konstelasi perkembangan peradaban yang memukau dunia. Tak kurang dari salah satu ...


Sekitar separuh milenium silam, Jawa Timur menjadi pusat konstelasi perkembangan peradaban yang memukau dunia. Tak kurang dari salah satu  peradaban agung Cina yang kala itu di bawah pengaruh orang Mongol turut getar menyambut munculnya salah satu kekuatan adidaya di tenggara Asia.  Sebuah hamparan kekuasaan yang kemudian digunakan sebagai salah satu alibi para pendiri bangsa untuk menegaskan yurisdiksi kesatuan wilayah yang  kemudian dikenal dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Entah apa yang ada di dalam benak mahapatih Gajahmada ketika dia berucap akan  menyatukan nusantara. Apakah yang termaktub itu meliputi bentang pulau dari ujung Sabang sampai garis batas yang memisahkan kontinen besar Papua?

Yang jelas, segalanya dimulai dari tancapan bendera seorang bangsawan Mataram Kuno bernama mPu Sindok yang terpikir untuk beringsut dari satu wilayah subur ke wilayah lain. Meneruskan tradisi dari jaman Tarumanegara, di tataran Sunda. Kemudian berpindah ke dataran Kedu, Klaten, sampai terus ke timur. Masih dengan pola berapit gunung, daerah tersubur untuk menyokong era agraris yang juga menjadi ciri khas peradaban-peradaban sungai di dunia. Pergerakan itu menuai kulminasi di apitan gunung-gunung yang kini lebih dikenal karena aktivitas vulkanisnya, seperti Semeru dan Kelud. Dari era kerajaan yang dikenal dengan nama Medang, sampai dengan era kejayaan Kertanegara, raja sebuah kerajaan yang bernama Singasari yang mempunyai rival kerajaan tetangga, Kediri.

Perseteruan dua kerajaan tersebut berimbas kepada munculnya sosok Raden Wijaya yang terpaksa mengungsi dari Singasari karena Kertanegara, kerabat sekaligus pelindungnya digusur tahtanya untuk unifikasi wilayah Kediri. Mental sebagai birokrat istana mendorong Raden Wijaya untuk membuka sebuah kerajaan baru di daerah yang merupakan hutan dengan banyak tanaman Maja. Dan babak baru sebuah kerajaan mula bernama Majapahit dimulai, dengan Raden Wijaya menahbiskan dirinya sebagai Kertarajasa, titisan Wisnu, sang pemelihara.

Kerajaan tersebut lantas berkembang menjadi salah satu kekuatan besar di tenggara, meneruskan tradisi pendahulunya di wilayah yang kini menjadi Sumatera, yakni Sriwijaya untuk menancapkan hegemoni kaum keturunan Mataram di atas tanah yang kini kita klaim sebagai tanah air. Sebagai pusat sebuah wilayah yang membentang hampir empat kali wilayah Babilonia, Majapahit justru tidak banyak meninggalkan peninggalan monumental. Bahkan dibandung pendahulunya, Mataram Kuno, Raden Wijaya dan keturunannya tampak enggan membangun sesuatu yang monumental seperti halnya Borobudur atau Prambanan. Hal itu mungkin dipengaruhi oleh mentalitas yang ditularkan mPu Sindok tatkala dirinya berpindah ke timur, salah satunya untuk menghindari serangan dari pihak-pihak yang terus merongrong kekuasaan Mataram di masa sebelumnya. Mentalitas bersahaja mungkin terus ditanamkan, apalagi mengingat beberapa pembesar di era Mataram Jawa Timur adalah dari kalangan biasa, seperti besarnya legenda Ken Arok.

Mentalitas itu pulalah yang mungkin menjadikan sisa-sisa kerajaan Majapahit tak sebesar namanya. Hanya beberapa peninggalan dan mitos legenda yang masih bisa menceritakan agungnya kerajaan yang banyak memunculkan kisah-kisah pemberontakan ini. Hanya dari salah satu sudut di luar kota Mojokerto, sebuah daerah bernama Trowulan, rekam jejak sebuah kerajaan besar ini bisa ditelusuri. Bukan sebuah istana megah seperti halnya Kota Terlarang di Beijing memang. Bukan juga sebuah sisa peninggalan akbar seperti Taj Mahal. Tidak semonumental Borobudur pula. Hanya sebuah sisa kompleks yang kini terpecah-pecah oleh pertanian dan permukiman penduduk, sehingga masing-masing peninggalan bercerita dengan bahasa mereka sendiri. Tercerabut dari konteks yang menyatukan mereka, selain petunjuk arkeologis berupa penggunaan bata merah sebagai bahan bangunan. Tren kala itu.

Namun, bagaimanapun juga, sejarah negeri kita banyak ditulis dari selebar kompleks yang sudah runtuh ini. Mpu Prapanca, pujangga kitab Negarakertagama menyebutnya dengan nama "Negara". Sir Thomas Raffles menggalinya pada abad ke-19. Dan Henri Maclain Pont merestorasi kompleks arkeologi ini. Tak satupun di antara mereka inlander, keturunan langsung Majapahit yang perkasa. Penting bagi kita, sebagai bangsa Indonesia, terutama masyarakat Jawa Timur untuk sekedar menapaktilasi lintas sejarah besar yang sempat mampir di region ini. Lantas, kita bisa mengembangkan dan merenungkannya sebagai salah satu pijakan untuk menyusun kembali kepingan harga diri yang akan menyatukan kita dengan kebesaran para moyang kita dalam merajut sebuah negara yang gemah ripah loh jinawi. Kebesaran yang dirintis mahapatih Gajahmada melalui sumpah palapa. Kebesaran yang sayangnya hanya bisa kita resapi melalui reruntuhan-reruntuhan...

Related

Trowulan 8459875726004027716

Posting Komentar Default Comments

1 komentar

Anonim mengatakan...

lha... baru nulis tentang ini sekarang? jalan2nya kapan, postingnya kapan :p

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item