Pilgrimage to the West - Sydney Travelogue Pt. 13

Kala saya menulis bagian ketigabelas dari catatan bersambung ini, bulan kalender telah berganti ke angka empat, yang artinya dalam dua har...



Kala saya menulis bagian ketigabelas dari catatan bersambung ini, bulan kalender telah berganti ke angka empat, yang artinya dalam dua hari lagi genap saya dikejar penanda waktu dari masa kunjung ke Sydney tempo hari. Tapi biarlah, saya juga tidak menyangka ini akan berkembang menjadi panjang. Dan menulis travelog selalu menyenangkan, karena memaksa kita membuka memori, menyerap hal baru yang tak tertangkap dengan indera kala kunjungan fisik, dan bisa berbagi cerita dengan lebih banyak orang. Ini telah memasuki hari ketiga, atau fullday akhir sebelum esoknya bertolak ke Indonesia.

Hari ketiga adalah hari melihat luaran Sydney (lagi). Jujur, saya dan Gina belum puas menjelajah Sydney-nya sendiri, tapi setidaknya di hari pertama dan hari kedua malam sedikit bertambah fondasi mengenai apa dan bagaimana kota terbesar di Australia itu. Bila di hari kedua agendanya adalah melihat jalan raya (dengan fakta enam jam kami habiskan di jalan), serta menyimak pantai di selain Bondi, maka hari ketiga adalah kunjungan ke salah satu tetenger geologis Australia.

Secara geologis, apa yang Anda bayangkan dari Australia? Maksud saya, ini seperti ketika Anda membayangkan gurun pasir adalah Arab, hutan tropis adalah Kosta Rika, dan savana adalah Afrika. Bagi saya, bayangan Uluru, atau bebatuan Ayer yang terkenal adalah ciri Australia. Coklat, gersang, dan ada bebatuan yang menonjol. Sedikit lebih soft dari versi pahatan alam di Colorado.

Well, tidak begitu salah, karena gambaran itu memang mewakili sebagian besar benua terkecil di dunia ini. Apa yang disebut outback oleh orang Australia adalah hamparan semak gersang tak bertuan, dengan tanah coklatnya, hasil kikisan dari batuan padas. Area gembur di Australia terletak di pesisir, terutama pesisir timur yang membentang dari Melbourne sampai ke Cairns di utara. Ini terkait dengan kisah penemuan dulunya, yang bila terra australis tersebut identik dengan James Cook, faktor terbesarnya adalah karena Cook membuka jalan bagi kolonisasi down under. Sebetulnya orang-orang Belanda terlebih dahulu "terdampar" di Australia. Hanya saja mereka mendarat di sisi yang salah sehingga jauh mata memandang hanya nampak outback, yang bila dibandingkan dengan Jawa...Wah!

Demikianlah sejarah akhirnya mencatat, orang-orang Inggris Raya yang beruntung menemukan satu demi satu di wilayah subur Australia, dan langsung membuat deret mukim di sepanjang bibir pantai timur Australia. Mereka beruntung, bahwa bagian besar sungai-sungai berkah yang mengaliri Australia memancar tak lebih dari seperempat bagian timur benua, dan meninggalkan sisanya dalam keadaan gersang. Ada batas natural kejam yang mencegah pemerataan itu. Disebut dengan "Great Dividing Range", atau secara harafiah bermakna "jajaran pemisah yang amat besar". Bukan pegunungan vulkanis seperti lazimnya gunung-gunung di negara kita, sehingga memungkinkan untuk menyuburkan di kedua sisi. Namun lebih tepat sebagai "gunung mati" alias dataran cadas meninggi, sehingga lebih mirip tembok besar yang menghukum bagian besar Australia.

Masa awal kolonisasi adalah episode pencarian. Para pemukim awal tengah mencari bentuk pengolahan alam yang tepat. Dan dari data mengenai ekspor daging ternak dan bulu domba merino yang dihasilkan negeri Kevin Rudd ini akan sedikit kontras dengan metode-metode pertanian konvensional yang dulu dikembangkan pemukim awal. Mereka berpikir bahwa daratan Australia sempit, dengan Great Dividing Range nampak sebagai tembok batas rumah mereka. Sampai kemudian ekspedisi demi ekspedisi membuka celah bahwa dataran mahaluas terbuka dibalik gunung-gunung itu. Babak baru dalam pemanfaatan lahan.

Salah satu celah yang pertama ditemukan adalah melalui daerah yang kini disebut dengan Blue Mountains. Penggila internet dari jaman batu pasti familiar dengan nama ini, kala sedang in berkirim pesan melalui media bernama e-cards, salah satu provider yang "megang" bernama Blue Mountains. Tak dinyana, ternyata itu juga yang menjadi nama sebuah area taman nasional pegunungan yang terletak sekitar 80 kilometer di barat Sydney.

Blue Mountains sebetulnya merujuk pada celah yang ditemukan trio petualang Gregory Blaxland, William Lawson dan William Wentworth yang di masa awal kolonisasi berusaha keras menembus Great Dividing Range untuk melihat sejauh mana lahan "rumah" mereka sebenarnya. Maka, ditemukanlah jalan melalui celah-celah sempit di antara batuan padas, yang disebut orang Inggris sebagai "gorge", akibat terkikis sungai. Maka jangan heran bila yang menjadi batas dari area yang disebut Blue Mountains sekarang juga ditentukan oleh dua sungai, Napean dan Cox. Kini, area ini menyandang status sebagai taman nasional, yang digunakan untuk konservasi alam, terutama ekosistem padas-nya, dengan julangan tembok-tembok raksasa. Seperti halnya di Colorado, itu tentu menjadi pemandangan yang ajaib, dan mendatangkan wisata.

Jadi, itulah inti dari destinasi di hari ketiga kami di Sydney. Sedikit keluar kota, menyusuri jalanan Parramatta yang penuh dengan penjual mobil, untuk masuk ke jalan raya menuju Blue Mountains. Ekspektasi saya kosong, karena memang tidak banyak browse mengenai daerah ini. Namun kami akan mampir sejenak ke Featherdale Wildlife Park untuk menengok hewan-hewan ikonik Australia. Jadwal itulah yang membuat saya mantap menatap hari ketiga, meski harus dimulai di pagi-pagi.

Jam 8 berangkat dari Sydney menuju ke barat, "pilgrimage to the west".

Related

travelogue 7100642172006275757

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item