Kisah Fiksi tentang Sejarah Alternatif

Siapa tak kenal Robin Hood? Namanya sudah melegenda, karena karakternya sebagai "maling budiman" memang cenderung ada di semua bel...



Siapa tak kenal Robin Hood?

Namanya sudah melegenda, karena karakternya sebagai "maling budiman" memang cenderung ada di semua belahan dunia. Berterimakasihlah kepada imperialisme dan kolonialisme Inggris yang turut bawa hikayatnya ke penjuru bumi. Hingga kini, bila kita mendengar kata hutan Sherwood dan Nottingham, pastilah bayangannya ke tokoh yang jago memanah tersebut.

Parade budaya populer juga turut membentuk legenda ini menjadi makin berwarna. Pendahulu kita tentu akan selalu terngiang dengan peran immortal bintang Hollywood jaman baheula, Errol Flynn, yang sangat sukses memberi imej tentang Robin Hood. Ganteng, jago panah, memakai celana ketat dan topi dengan bulu. Disney kemudian sedikit memperbaharui dengan mirror film tersebut ke dalam fabel, di mana karakternya licik seperti rubah. Lalu Cary Elwess memarodikannya dalam versi Robin Hood terbaik sepanjang masa menurut saya, dalam film "Men in Tights".

Untuk versi yang lumayan serius, ada Kevin Costner berperang dengan Alan Rickman dalam film Robin Hood: Prince of Thieves. Masih menggunakan formulasi Robin Hood dan love interest-nya, Marion. Tak lupa, nemesis Robin, sang sherrif Nottingham. Barisan di belakangnya juga masih sama, Friar Tuck, John Little dan sedikit melodrama Will Scarlett yang tiba-tiba beralih peran jadi adik haram Robin. Film ini standar dan berhutang besar kepada sosok Bryan Adams, penyanyi Kanada yang berhasil melambungkan kasta sinema garapan Kevin Reynolds ini lewat soundtracknya.

Bagi orang Indonesia, versi Robin Hood di atas adalah cerita yang familiar. Intinya adalah saga seperti yang saya tulis via paragraf sebelumnya. Ini kemudian diperkuat dengan serial televisi yang masih mengangkat angle serupa. Yang jelas, kisah Robin Hood terpatri betul di benak masyarakat Indonesia. Mungkin juga karena sesungguhnya kita memang merindukan sosok maling budiman?

Anyway, mindset di atas rasanya hampir pasti membelenggu para penikmat film yang hendak mengapresiasi karya terbaru Ridley Scott, Robin Hood. Film yang diproduksi melalui PH-nya bersama sang adik Tony ini membawa casting yang tak main-main. Russell Crowe dibawa, mungkin untuk menostalgia Gladiator yang sukses besar di masa lampau. Cate Blanchett, Mark Strong dan William Hurt turut mendukung film ini. Lalu, angle apa yang akan diambil oleh Scott?

Di luar dugaan saya, film Robin Hood karya Scott ini adalah sebuah twist historis yang menarik di paruh awal film. Bila Anda tak terlalu malas dulu di masa sekolah menengah untuk menyalin bab sejarah hak asasi manusia, maka tentu istilah "Magna Carta" masih menjadi satu memoar yang statis di alam pikir. Piagam yang mengenyahkan absolusitas kuasa, ditandatangani di bawah tahta King John. Bicara tentang King John, tak akan lepas dari abangnya yang abadi bersama kenangan perang salib, di mana keberangkatan dan kepulangannya menjadi polemik tak berkesudahan antara patriotik atau bodoh. Lalu tentang sejarah love-hate relationship Inggris-Prancis. Setidaknya, itulah arsip yang perlu Anda ingat ketika menonton film Robin Hood paling mutakhir ini.

Dan sungguh, bagi penggila arsip lampau seperti saya, menonton tiga perempat film ini justru melihat satu dunia alternatif yang sejarahnya dijalin dengan paksa dengan sebuah jarum bernama Robin Hood. Karakter historis muncul dan memberi tekstur yang bagus, yang bagi saya sangat menarik diikuti sampai menggiring ke penandatanganan Magna Carta. Meski tambal sulam di sana-sini, dan sangat menabrak timeline sejarah, tapi setidaknya plotnya masih terjaga dalam kaidah hubungan kausalitas. Mirip dengan sejarah betulan!

Sementara tentang Robin Hood, tambal sulam dalam merangkai karakter ini dikembangkan dari dua teori yang paling kuat beredar. Satu mengatakan bahwa Robin Hood itu adalah Robert Loxley. Dan satu lagi mengatakan Robin Longstride. Bagi Ridley Scott, bila ia bisa membuat Raja Richard tak sampai tanah Britania sepulangnya dari perang salib, maka mengkombinasikan dua persona itu adalah urusan mudah. Dan sedikit menyepelekan sebetulnya.

Namun, sayang, potensi film ini untuk setidaknya menjadi lebih oke dari versi sebelumnya sedikit rusak oleh endingnya. Memang masih tidak keluar dari alur, tapi sepertinya untuk ukuran klimaks, film ini tidak dipucuki dengan bagus. Kemegahan yang di bangun dari awal, sedikit demi sedikit berkurang dan beralih ke gaya sinema tentang medieval pada umumnya. Sulaman sejarah alternatif yang dibangun oleh Robin Hood lama-lama menjadi sulaman fiksi alternatif. Bagusnya, Ridley Scott masih mengijinkan untuk satu fragmen induktif dalam chapter akhir sebagai pucuk hubungan kausalitasnya. Akhir film yang menjadi landasan bagi legenda Robin Hood, penguasa Sherwood, musuh Sherrif Nottingham, dan pemimpin Merry Men.

Well, ini adalah Robin Hood dalam angle yang berbeda. Ini adalah origin dari Robin Hood. Tiga perempat film awal bagi penggemar klasik Robin Hood akan menyiksa dengan paparan sejarah alternatif, sebagai setting. Bukan tentang si maling budiman. Bagi saya itu adalah kekuatan.

Seperempat akhir adalah surga Anda penggila film epik klise, namun mengecewakan bagi saya yang berharap lebih setelah dipuaskan separuh lebih jalan cerita sebelumnya.

Foto: IGN

Related

russel crowe 613536553475747786

Posting Komentar Default Comments

3 komentar

indobrad mengatakan...

Wah, ini jadi spoiler krn saya belum nonton filmnya. tapi bolehlah. thanks for the review ya :)

Helman Taofani mengatakan...

Emang di mana spoilernya mas?

Ipul dg. Gassing mengatakan...

hahaha..iyya nih, gak ada spoiler koq..

saya belum sempat nonton. soal penampilan Russel, gimana..? oke gak..? ni orang termasuk hebat juga..bisa main di berbagai genre dan hampir semuanya sukses..

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item