KISS: Keep It Simple, Soccer!

Tahukah Anda sebuah kota bernama Port Villa? Rasanya butuh bantuan kaca pembesar bila Anda ingin mencari kota tersebut di sebuah model globe...



Tahukah Anda sebuah kota bernama Port Villa? Rasanya butuh bantuan kaca pembesar bila Anda ingin mencari kota tersebut di sebuah model globe. Atau perlu memeriksa indeks dari sebuah atlas geografis untuk mencarinya.

Itu adalah ibukota dari sebuah negara bernama Vanuatu, yang terletak di sebelah timur Nusantara. Tepatnya di gugus pulau kecil setelah Papua Nugini. Saya tak akan bohong, bahwa untuk menuliskan ini saya perlu membuka Wikipedia. Termasuk mengetahui keberadaan satu stadion sepakbola, bernama Dean Clark Stadium, yang menurut Wikipedia, merupakan kandang resmi tim nasional sepakbola Vanuatu. Cobalah googling Dean Clark Staidum, maka Anda akan bangga mempunyai stadion Gelora Bung Karno.

Vanuatu adalah satu dari 200-an lebih negara anggota FIFA. Organisasi sepakbola dunia dengan keanggotaan yang bahkan lebih banyak daripada PBB (yang hanya "hampir" mencapai 200). Negara dengan kode FIFA, VAN, ini bergabung dengan konfederasi sepakbola Oceania, yang wakilnya, Selandia Baru, membuat kejutan di Piala Dunia 2010 kemarin. 3 kali bertanding, 3 kali seri. Tak kalah, walau melawan peringkat tiga zona Amerika Latin, bahkan sang juara bertahan.

Untuk mencapai prestasi itu, Selandia Baru antaranya harus bertanding melawan Vanuatu, disamping negara lain seperti Kiribati, Kepulauan Solomon, Tonga, dan sebagainya. Karena ketiadaan sarana yang memadai, maka pertandingan di zona Oceania ini biasanya dilakukan di satu tempat. Selain Selandia Baru yang infrastrukturnya maju, Kepulauan Solomon relatif sering menjamu para negara tetangganya yang menyebar di Pasifik ini. Dean Clark Stadium sendiri, menurut FIFA, tidak digunakan karena tidak representatif sebagai penyelenggara pertandingan sepakbola untuk kualifikasi Piala Dunia (standar organisasi tersebut).

Lantas, mengapa sejak semula FIFA mengakomodasi VAN untuk menjadi anggotanya?

FIFA berpendapat bahwa semua negara yang memiliki organisasi sepakbola, klub sepakbola, pemain sepakbola dan ada yang bermain sepakbola sesuai dengan "Laws of the Game" FIFA bisa menjadi anggota federasi sepakbola ini.

Apakah Vanuatu memenuhi kuota tersebut?

Tentu saja. Mereka punya federasi, klub (dalam anggapan ada sekumpulan orang yang memainkan) dan tentu saja pemain. Permainan mereka juga dimainkan dalam bahasa yang sama dengan kita, atau orang Inggris kala bermain sepakbola. Yakni memenuhi 17 butir "Laws of the Game" yang digariskan FIFA.

Sepakbola adalah permainan sederhana. 17 butir peraturan yang dirunut FIFA hanyalah seputar permainan ini, mulai dari bola yang digunakan, ketentuan wasit, kaidah gol, dan sebagainya. Ini adalah peraturan yang kita kenal semejak Sekolah Dasar, sehingga dari era Porseni SD dulu, sebetulnya kita sudah bermain sepakbola dalam standar FIFA.

Rakyat Vanuatu juga bermain dalam kode yang sama. Demikian juga masyarakat Guinea Bissau di Afrika, Cayman Island di Karibia dan juga Kepulauan Faroe di Skandinavia. Simplisitas sepakbola terlah membawa olahraga ini menjangkau dan mencengkeram dunia dimanapun tempat yang dikenal bumi tua ini.

Lalu muncullah ide-ide untuk memasukkan aspek teknologi dalam permainan. Seperti usulan kamera di garis gawang, video call, dan bola dengan teknologi chip.

Pemicunya? Jelas komersialisasi sepakbola. Di belahan bumi yang berbeda dengan Vanuatu, sepakbola tengah digembala menuju lembah eksploitasi. Skalanya bukan lagi dalam konteks olahraga, namun industri hiburan yang melibatkan perputaran uang dengan nilai yang lebih besar dibanding GDP seluruh negara Oseania bersatu. Itu memerlukan akurasi dan absolusitas. Hal yang dulunya bisa dipecahkan dengan semangat sportif, yang menjiwai olahraga. Namun kini menjadi syarat rumit, karena absurditas bisa membuat milyaran dollar berpindah tangan. Inakurasi - yang sangat manusiawi - bisa berpotensi mengguncang finansial sebuah lembaga. Itulah yang mendasari wacana bahwa sepakbola memerlukan teknologi yang masuk ke hukum mainnya.

Bila hal itu masuk, yang artinya sepakbola mengkooptasi kepentingan non-olahragawi-nya, maka itu adalah penciptaan sekat yang luar biasa besar yang akan memisahkan sepakbola dan budaya massal. Apa yang akan terjadi bila standar permainan ini membutuhkan keberadaan kamera video, sensor gawang dan bola dengan chip khusus?

Orang-orang di negara Vanuatu tak akan pernah bisa merasa bahwa mereka bermain olahraga yang sama dengan Cristiano Ronaldo. Bahkan di sudut negara kita, mungkin pertandingan berkelas FIFA hanya bisa dilaksanakan di Pulau Jawa, karena infrastruktur di Papua misalnya, tak memungkinkan untuk dilakukan video call.

Saya bersyukur, bahwa FIFA sampai hari ini masih menolak usulan-usulan untuk memasukkan aspek non humanisme dalam sepakbola. Sepakbola sekarang masih dimainkan dengan cara yang sama, dari Greenland sampai Falkland, sehingga menciptakan semacam solidaritas global yang luar biasa. Posisi itu yang memungkinkan Piala Dunia menjadi isu penting di belahan bumi manapun. Sepakbola yang masih dipertahankan dalam tataran humanisme adalah bahasa pengikat bagi 208 negara yang tergabung dalam anggota FIFA.

Ketika Amerika Serikat bertemu dengan Ghana, di lapangan ada berbagai bahasa yang terucap antara negara dengan indeks pembangunan timpang ini. Namun mereka paham bagaimana bermain sepakbola, karena aturannya sama saja. Tak memandang strata inferior negara, karena ketika di lapangan, mereka bermain dalam benua FIFA. Maka, tak heran bila Ghana bisa memupus ambisi negara adidaya Amerika. Sebuah negara dengan inkam perkapita 1500 dollar ungguli adidaya dengan GPI 48000 dollar? Hal yang hanya bisa terjadi di lapangan hijau.

Namun bila desakan komersialisasi dengan memisahkan sepakbola sebagai spectacle dengan sepakbola sebagai olahraga diakomodasi, maka yang akan terjadi adalah negara kuat semakin kuat, yang lemah akan mencari liga mereka sendiri. Karena sepakbola nantinya hanya berkutat di negara-negara "the have". Inggris, Italia, Jerman, Amerika Serikat, Spanyol, Belanda dan negara lain. Berapa besar biaya untuk memakai bola dengan chip di dalamnya? Berapa besar biaya instalasi kamera garis gawang dan layar video untuk membantu wasit? Lupakanlah Vanuatu, atau bahkan hapus mimpi Indonesia. Karena sepakbola (mungkin) tengah mengkristal menjadi tontonan.

Sepakbola saat ini sudah cukup padat dengan 17 pasal aturan di "Laws of the Game" FIFA. Di dalamnya masih membawa semangat manusiawi, yang konflik dan sebagainya seyogianya diselesaikan dengan koridor sportivitas. Pasal yang simpel ini telah memunculkan drama, kontroversi, dan juga kebahagiaan yang memberi warna dalam sepakbola. Namun bukankah itu sebuah pelangi sehari-hari dalam hidup manusia?

Sebuah palet warna yang bisa dimengerti oleh orang-orang di Port Villa sana.

Related

world cup 5691453245672405488

Posting Komentar Default Comments

1 komentar

Ipul dg. Gassing mengatakan...

mantap boss ulasannya..
emang jadi sebuah dilema sih antara menggunakan teknologi untuk mereduksi kesalahan dengan tetap mempertahankan cara2 tradisional..

tapi klo aq pribadi sama kayak kamu..tetap berpegang pada tradisi, karena bagaimanapun terkadang unsur "drama" itu sangat menyenangkan...

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item