Underrated, Beyond Expectation

Ini adalah trivia sepanjang masa di dunia film. Diberi naskah mudah, tugas (minimum) seorang sutradara adalah jangan sampai merusaknya (...



Ini adalah trivia sepanjang masa di dunia film.

Diberi naskah mudah, tugas (minimum) seorang sutradara adalah jangan sampai merusaknya (terjawab sudah mengapa banyak adaptasi buku oke yang gagal). Lalu di sisi seberang, diberi naskah yang susah, tugas sutradara adalah mewujudkannya. Disinilah nilai seorang sineas diuji.

Dengan lag sekitar sebulan (dan ditambah berminggu-minggu lagi di daerah) dari waktu rilis internasional, penggemar film sudah pasti disuguhi dengan banyak review dan sinopsis mengenai film "The Social Network", karya David Fincher. Dirilis 1 Oktober, film ini baru masuk Jakarta pada awal November, dan sampai sekarang belum ada tanda-tanda masuk ke bioskop daerah.

Saya tidak tahu pasti mengapa distributor di sini tidak membeli banyak reel yang memungkinkan pemutaran serentak seperti halnya film Red. Apakah mungkin karena mereka skeptis, "Apa yang akan diharapkan dari sebuah film tentang Facebook?".

Membaca sinopsisnya, memang jalan ceritanya sungguh sederhana. Berkisah tentang bagaimana Facebook dikembangkan oleh Mark Zuckerberg, tanpa banyak drama dan konflik, selain tuntutan-tunutan hukum yang diterimanya. Saya sendiri (awalnya), juga sangsi, apa yang hendak ditawarkan David Fincher kala menerima skrip dari Aaron Sorkin?

Sorkin mengadaptasi cerita "The Social Network" dari buku Ben Mezrich berjudul The Accidental Billionaire, yang lebih mirip kompilasi fituret majalah tentang awal mula Facebook. Sepertinya lebih cocok bila menjadi sebuah film dokumenter, karena subjek dan objeknya adalah orang-orang nyata.

Mark Zuckerberg adalah figur populer yang bisa dengan mudah Anda browse. Eduardo Saverin (diperankan Andrew Garfield dalam film), Divya Narendra (Max Minghela) dan bahkan Erica Albright (Rooney Mara) bisa Anda jumpai di Facebook. Tentu ini adalah bagian paling riskan dari departemen casting dan talents yang memerankan orang-orang tersebut.

Di sini kita kembali ke trivia abadi dunia film. David Fincher yang berpengalaman membesut Fight Club dari sebuah novel posmo kompleks menjadi sebuah film cult yang menarik mengambil skrip Sorkin sebagai sebuah project menantang. Yang pertama tentu meyakinkan timnya bahwa ini akan menjadi film yang menarik, dan tampaknya - meminjam istilah The Social Network, tak ada "angel investor" yang langsung mantap menginvestasikan uangnya untuk mewujudkan project Fincher ini.

Premis itu saya ambil bukan hanya dari casting yang ensemble, namun produksi juga dikerjakan keroyokan. Kevin Spacey mungkin menjadi salah satu pihak yang yakin dengan talenta Fincher, sehingga ia bergabung dengan lima produser lain untuk mewujudkan film ini.

Filmnya sendiri, sesuai standar Fincher dan ekspektasi para investornya, merupakan sebuah narasi kompak tentang proses munculnya situs jejaring sosial terbesar di dunia ini. Dan Fincher adalah pihak yang bisa merangkai semuanya itu ke dalam reel yang berputar 121 menit. Melalui permainan visualisasi, pace, dan timeline, The Social Network menjelma menjadi film menarik yang dihasilkan dari sebuah skenario sederhana.

Aktor dan aktris yang mendukung film ini bermain sangat prima. Jesse Eisenberg mantap memerankan Zuckerberg. Andrew Garfield bermain brilian sebelum menapaki layar popcorn movie sebagai Peter Parker. Dan Justin Timberlake, diluar dugaan, tidak tampil canggung di role terbesar sepanjang karir filmnya sebagai Sean Parker, pendiri Napster (tak ada hubungan dengan Peter).

Aaron Sorkin juga layak mendapatkan kredit besar dengan tidak terlalu membuat angle dokumentaris dalam skenarionya, namun masih merangkum inti dari buku Mezrich. Kepiawaian utamanya adalah mengubah bentuk naskah fituret buku Mezrich ke dialog-dialog yang muncul dari karakter di dalam film. Banyak line yang memorabel dari film ini.

Sean: "You think you know me, don't you?"
Eduardo: "I've read enough."
Sean: "You know how much I read about you? Nothing!"

Trent Reznor dan Atticus Ross juga mampu memberi ambience yang menarik via scoring bernuansa elektrik (sebagian besar scoring film Hollywood menggunakan scoring klasik). Coba simak scene Henley Royal Regatta (kompetisi dayung) yang merupakan salah satu scene paling oke - menggabungkan visualisasi dengan scoring duet Reznor dan Ross yang me-remix komposisi klasik Edvard Grieg "In the Hall of the Mountain King".

Menonton film ini untuk pertama kali (sesuai dengan rilis global) pastilah akan menjadi pengalaman menarik. Karena dengan ekspektasi skeptis dan minimal, kita bisa mendapati film yang berkualitas.

Tapi saya sudah (terlanjur) mendapati skor 97% freshness dari Rotten Tomatoes untuk film ini sebelum menonton (thanks to our distributor). Plus banyak sekali review positif dari rekan-rekan penggemar film ibukota (thanks to our central-minded). Saya terkejut usai menyaksikan sendiri bagaimana David Fincher mewujudkan The Social Network tetap diatas ekspektasi.

Rasanya The Social Network mungkin akan running di Academy Awards dengan minimnya film-film berkualitas tahun ini (belum mengantisipasi film "Oscar" di akhir tahun).

Bila memang masuk kandidat Academy, seperti halnya "Curious Case of Benjamin Button", penggemar film daerah boleh berharap film ini (baru) akan naik ke bioskop setelah gelaran Oscar. Saat itulah para distributor film kita baru melihat bahwa film ini memang berbicara melebihi ekspektasi mereka.

Related

the social network 6228126216011395743

Posting Komentar Default Comments

2 komentar

Ipul dg. Gassing mengatakan...

yeah..jari tengah buat distributor film kita..

awalnya sy gak gitu tertarik sama film ini, tapi baca kicauan teman saya yg ngasih review pendek dengan bilang : mind orgasm udah bikin sy penasaran...

tapi sampe sekarang jg belum nonton nih..km nonton via apa..?

Helman Taofani mengatakan...

Nonton video hasil unduh bang. Ini calon film yang bakal mendominasi Oscar.

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item