The Next Three Days: Ketegangan ala Haggis

Sedikit film yang saya tonton di bioskop tahun ini. Fakta bahwa 2010 adalah tahun lesu film berkualitas, beberapa film "kojo" yang...



Sedikit film yang saya tonton di bioskop tahun ini. Fakta bahwa 2010 adalah tahun lesu film berkualitas, beberapa film "kojo" yang layak tunggu memang baru muncul musim gugur ke akhir tahun.

Saya sedikit terlewat kala The Next Three Days rilis. Luput dari perhatian bahwa Paul Haggis ada di belakang sinema adaptasi film Perancis berjudul "Pour Elle" (karya Fred Cavaye) tersebut.

Paul Haggis adalah sutradara yang saya ikuti filmnya. Kali pertama mantan penulis naskah ini menyita perhatian adalah ketika membesut Crash, film yang memenangkan Oscar untuk kategori film terbaik beberapa tahun lalu. Lalu, In the Valley of Elah juga saya suka.

Kesamaan keduanya adalah mereka jatuh di verdict kritikus film. Tapi bagi saya film Haggis selalu layak tunggu, dengan ciri khasnya collage alur cerita seperti keping puzzle yang dipungkasi dengan ending menyentuh.

The Next 3 Days bukan film (paling) mutakhir. Film ini menyelip diantara dua raja box office, Harry Potter dan Narnia di pemutaran domestik. Itu sebabnya saya terlewat, karena ketika Harry Potter main, you simply have to avoid theater. Setelah sempat mencicipi lag beberapa saat semenjak tayang perdana, maka Natal ini saya berkesempatan menontonnya.

Well, saya tidak suka film horor, jadi sudah sedikit lupa kapan kali terakhir merasakan ketegangan kala menonton. The Next Three Days berdurasi sekitar 2,5 jam. Durasi yang lama untuk merasakan depresi - sepertinya mood yang berusaha disampaikan - melalui karakter protagonis, John Brennan, seorang dosen sekaligus ayah dan suami, yang diperankan Russel Crowe.

Seperti halnya film aslinya, Pour Elle (harafiah berarti "for her"), Haggis menerjemahkan totalitas karakter John untuk istrinya, Lara, yang mendekam dibalik jeruji melalui detail-detail (mungkin cenderung over-details). Ini menyebabkan durasi bisa membentang lama, namun juga penting untuk mengikat emosi penonton mengenai determinasi John untuk mencapai tujuannya.

Dengan ikatan tersebut, maka ketika eksekusi, kita seperti dibawa menjadi John. Berharap mengenai kelancaran strateginya, dan harus menahan nafas ketika ada sesuatu yang salah. Semua atas dasar perasaan yang besar, disampaikan John untuk keluarganya.

Beruntung, film ini masih memertahankan signature Haggis, yakni ending yang meneduhkan. Saya pikir, bila ending-nya bergerak ke arah yang "kontroversial", maka penonton bisa depresi betulan sekeluarnya dari bioskop.

Kritikus juga masih tak ramah pada Haggis. Rotten Tomatoes memberi 44%, dan Roger Ebert hanya menyematkan 2,5 bintang dari standar 4-nya. Untuk kali ini saya tak sepakat dengan mereka. The Next Three Days bagus sebagai film yang harus dialami. Bila film hanya fokus di masalah escape, maka esensi untuk merasakan urgensi mengapa protagonis mau melakukan itu semua malah menjadi hambar.

The Next Three Days, in many aspects, termasuk film yang sangat oke di tahun 2010. Fakta bahwa belum banyak film bagus di tahun ini (di Indonesia) malah bisa membuatnya standout.

Related

thriller 159325505805221841

Posting Komentar Default Comments

3 komentar

Ipul dg. Gassing mengatakan...

hmm..layak tonton nih kayaknya..
secara gw suka banget sm film horror dan thriller..
:D

Helman mengatakan...

Eh ini bukan horor lho. Thriller iya, tapi bukan ke pendekatan horor.

iPul dg.Gassing mengatakan...

dan tau tidak ?
saya menontonnya 8 bulan kemudian..
=))

hasyem !!

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item