Stoned in a Temple with Luncatic Pilots

Another priceless experience , menyaksikan band yang mengiringi saya tumbuh. Semacam soundtrack of your life - sekitar 12 tahun silam saya ...



Another priceless experience, menyaksikan band yang mengiringi saya tumbuh. Semacam soundtrack of your life - sekitar 12 tahun silam saya jatuh cinta ke kaset bergambar lukisan bernuansa China. Sampai sekarang saya sedikit kesulitan menemukan korelasi nama "Purple" dengan tipografi kaligrafis yang ada di sana.

Setelah on/off karena bubar, maka edisi reuni kali ini cukup beruntung, Stone Temple Pilots sudi mampir (pfft, kaya nama warung) ke Indonesia. Dengan status sebagai penduduk Jakarta (kini), maka tiket setengah juta rasanya sepadan karena sekarang cost transportasi bisa direduksi. Maka hadirlah Scott Weiland cs dalam jarak sekitar 10 meter saja dari hadapan saya.

Setlist yang dibawakan tak menyisakan kejutan, karena sama dengan apa yang mereka susun di Manila (Filipina) dan Singapura. Hal baiknya, 17 lagu yang disajikan bisa saya lahap karena telah dipelajari. Sebagian (13 lagu), thanks to Live at Chicago, malah telah dirasakan pengalaman live-nya secara audial.

Crackerman membuka set, menampilkan Weiland berbusana rapih, dengan topi fedora dan toa yang menjadi trademark lagu tersebut. Dengan rambut cepak dan perut yang membuncit, Scott tampak sama sekali berbeda dengan imejnya yang terpatri di videoklip Big Bang Baby. Gayanya -however- adalah signature utamanya, dengan meliuk-liukkan badan - seuatu yang abadi meski acap berganti band.

Dean, Rob De Leo dan Eric Kretz tampaknya seperti sosok abadi dengan nyaris tak berubah penampakannya semenjak STP mengemuka.

Rata-rata lagu tampil dengan tempo yang sama dengan albumnya - ini cukup mengagumkan. Beberapa bahkan lebih lambat, menyesuaikan dengan gaya vokal Weiland yang memang lebih santai. Ruang improvisasi dibuka di beberapa lagu, terutama yang memiliki tempo sedang ke pelan.

Back to back Still Remains dan Big Empty adalah ruang dimana banyak sekali sisipan-sisipan menarik, mulai dari solo gitar Dean De Leo, improvisasi vokal Weiland, dan kombo snippet dengan gaya vokal komedi yang memperlihatkan kemampuan vokal Scott.

Plush dan Interstate Love Song memicu koor massal, tentunya. Namun bagi saya pribadi, lagu-lagu dari album baru adalah highlight. Between the Lines diperkenalkan Weiland dengan menggumamkan bait pertama ("Lovely disguised, read between the lines...").

Lalu menyebut aroma southern dan jambalaya untuk mengantar ke tangy guitar yang menjadi intro Hickory Dichotomy. Huckleberry Crumble juga menjadi sesi menarik di kala reff, meski crowd rata-rata tak merespon begitu oke di lagu-lagu baru.

Sex Type Thing menutup set utama. Ada aksi yang menurut saya "coolest moment", yakni jeda sekitar dua detik di sela-sela Sex Type, Scott saling memandang ke Rob De Leo sebelum kicking lagi bersama-sama. Ooh ahh moment!

Kuota dua lagu pada encore meninggalkan klimaks pada penonton. Tak terlalu singkat dan tak terlalu lama. Untuk kelas festival ini cukup penting, mempertimbangkan kemampuan fisik penonton untuk mengapresiasi musik STP.

And well, setelah Iron Maiden Februari lalu, Maret dengan Stone Temple Pilots jelas memberi catatan positif pada portfolio konser saya.

Stone Temple Pilots
Arena PRJ Kemayoran, Jakarta
13 Maret 2011

01. Crackerman
02. Wicked Garden
03. Vasoline
04. Heaven and Hot Rods
05. Between the Lines
06. Hickory Dichotomy
07. Still Remains
08. Big Empty
09. Dancing Days (cover Led Zeppelin)
10. Silvergun Superman
11. Plush
12. Interstate Love Song
13. Huckleberry Crumble
14. Down
15. Sex Type Thing

Encore:
16. Dead and Bloated
17. Trippin' on a Hole in a Paper Heart

*Photo courtesy of Febbie Bittertone

Related

stone temple pilots 1284034475945740198

Posting Komentar Default Comments

2 komentar

Ipul dg. Gassing mengatakan...

ebusett..
inilah enaknya tinggal di ibukota.

Helman Taofani mengatakan...

Yess...blessing in disguise at first. :)

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item