Kita Menua, Pearl Jam Menua
"Memainkan "Satisfaction" atau "Honky Tonk Women" hingga usia 65 tak akan jadi masalah. Memainkan "Figh...
https://www.helmantaofani.com/2013/10/kita-menua-pearl-jam-menua.html
"Memainkan "Satisfaction" atau "Honky Tonk Women" hingga usia 65 tak akan jadi masalah. Memainkan "Fight Fire with Fire" atau "Dyer's Eve" di usia 65? Orang-orang akan tertawa."
Kutipan di atas adalah penggalan wawancara dengan Lars Ulrich, drummer Metallica, tentang apakah Metallica masih akan memainkan musik yang sama sampai nantinya. "Sebelum itu jadi lelucon, kita akan mencari cara bagaimana bermain dengan baik sesuai dengan usia," tambah Lars. "Bila tidak bisa, kami akan berpikir untuk pamit secara anggun dari dunia musik."
Secara tidak langsung Lars menjawab kegundahan saya akhir-akhir ini. Terkait dengan rilis album baru Pearl Jam, Lightning Bolt, wacana lama yang selalu terapung adalah gerutu orang-orang yang tidak bisa beranjak dari tiga album pertama (Ten, Vs, dan Vitalogy). Bagi mereka, Pearl Jam senantiasa dinanti untuk membawa nuansa angst, rebel, dan makian senada dengan periode 1990-an awal yang mereka tuangkan melalui tiga album pertama. Menyanyikan "Drop the leash, we are young..." di hadapan penonton yang menyambut usia paruh baya?
Saya "menemukan" Pearl Jam dengan "Corduroy" adalah Jibril yang membawa pesan. Medio 20-an tahun, awal karir, segalanya belum settle, kegundahan tentu menggelayut. Euforia hura-hura remaja belum lama berlalu, diganti rutinitas kerja. Lalu di tengah lembur kerja pada malam buta, wahyu itu berbisik.
"The waiting drove me mad, you're finally here and I'm a mess..."
Saya merasa mendapat pencerahan. Bisikan itu lantas membuat saya mendapuk "Corduroy" sebagai ayat favorit dari agama Pearl Jam saya. Vitalogy jadi kitab sucinya.
Saat ini, di awal 30-an tahun, segalanya mulai mapan, dan ada kebahagiaan bernama keluarga, saya masih sering mendengar "Corduroy". Hanya saja, bait-baitnya tak lagi menjadi mantera, namun selintas lalu didendangkan saja. Kini saya lebih sering berkontemplasi dengan lagu macam "Unthought Known", dan yang terbaru "Sirens". Tentang bersyukur, menggenggam erat yang kita punya, dan sikap positif.
Bergelayut di kereta, sepulang kerja, lalu ada pembisik yang berkata: "Breathing hard making hey, yeah this is living."
Lain waktu, ketika menonton Steve Gleason (mantan atlit futbol yang mengidap ALS) menyiapkan video kisah hidupnya (bagi anaknya yang masih balita) sebagai persiapan bila umurnya pendek ada bait: "It's a fragile thing, this life we lead..."
Saya merasa berkomunikasi dengan lagu-lagu itu. Relatif dengan apa yang dirasakan saat ini. Bukan kebetulan bila bait-bait yang cukil di atas berasal dari dua album terakhir Pearl Jam yang dirilis pada empat tahun terakhir. Bahwa pertanyaan di masa lalu dan sekarang masih dijawab oleh band yang sama menegaskan bahwa selama ini tak salah saya menggemari Eddie Vedder cs. Mereka adalah band yang setia.
Pengalaman itu membuat saya sadar. Apresiasi seni dipengaruhi dengan bagaimana kita hidup. Itu yang membuat seni ada daurnya. Musik, sebagai cabang seni, tak bisa lepas dari hal itu. Bagaimana sebuah band, sebagai pembuat seni musik, bisa terus relevan adalah cara untuk mengakali daur itu? Bagi Pearl Jam, caranya sederhana. Jangan melawan hukum alam.
Usia akan terus bertambah, hidup akan senantiasa berubah. Tapi sejatinya manusia dikehendaki untuk mencari ketenangan, dan akhirnya mati. Pearl Jam secara sadar tidak mencari keabadian.
Secara sadar? Ya!
Melalui kalimat "some die just to live", Eddie mengkritik Kurt Cobain yang terlalu bersemangat mencari keabadian. Menurut saya itulah mengapa lagu "Immortality" ditaruh di akhir album Vitalogy, sebelum mereka memulai bab baru dengan merilis No Code (1996).
Secara sadar pula mereka menaruh "Sometimes" sebagai pembuka No Code. Sebuah lagu yang membuka dialektika eksistensi dan ketidakberdayaan terhadap kekuatan Yang Maha Agung. Keabadian tak bisa dicari, karena hal itu mengingkari hukum alam.
"You can spend your time alone redigesting past regrets, or you can come to terms and realize..."
No Code adalah awal periode Pearl Jam mengajak penggemarnya untuk tumbuh. Dalam album itu, dua kali tumbuhan disimbolkan sebagai teladan. Pohon adalah makhluk yang paling mengikuti kodrat dengan terus tumbuh, tak pernah menyesal, dan selalu menanti apa yang dibawa oleh alam. Dalam lagu "Present Tense", Vedder mengajak para pendengarnya untuk meneladani pohon.
"Do you see the way that tree bends? Does it inspire?"
Tak semua penggemar mau beranjak. Beberapa di antara mereka tak setuju dengan statement "make much more sense to live in the present". No Code menyaring penggemar yang mau bertumbuh bersama Pearl Jam, menerima perubahan dan pendewasaan. Mereka yang tersaring, bertahan jadi penggemar loyal yang terus menghidupi band sampai sekarang. Tentu jumlahnya tak sebanyak ketika masa-masa awal mereka merilis musik.
Pearl Jam adalah contoh band yang dari awal bersiap untuk bow out gracefully - meminjam istilah Lars Ulrich. Saya menyadari bahwa Pearl Jam beranjak menua, tapi mereka juga mengajak penggemarnya untuk ikut tumbuh usia bersama.
2 komentar
Arrgghhh, thanks mas helman taofani. Catatan ini menjadi jawaban atas keheranan saya, knp saya "kurang" mengikuti album pj stlh 3 album pertama. Saya pikir "in hiding" jg menjadi ajakan buat kita utk lbh memahami diri lewat perenungan "I surfaced when all of my being was enlightened".
thanks. Salam
Saya yang termasuk hampir berpisah dengan Pearl Jam saat mendengarkan album No Code.
Alhamdulillah pada saat merasa sendiri di perantauan, dengan segala macam depresi yang mengungkung, racikan No Code yang diresapi mampu membuat saya bangkit lagi.
Terima kasih Pearl Jam!
Posting Komentar