Dinamika Analog

Saya mulai mengerti perasaan sakit hati para pekerja analog terhadap kecanggihan dunia digital. Ponsel saya tak berhenti berdering kema...


Saya mulai mengerti perasaan sakit hati para pekerja analog terhadap kecanggihan dunia digital.

Ponsel saya tak berhenti berdering kemarin sore. Hampir setiap 5 menit ada telepon masuk, dari rekan kantor, untuk berkoordinasi menyiapkan materi pengumuman SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri, d/h UMPTN) di koran yang akan terbit esok harinya. Saya kebetulan berada di luar kantor karena menghadiri acara buka bersama.

Di tengah intesitas memantau proses pengerjaan halaman pengumuman SBMPTN, di mana data baru dikirim panitia pukul 17.00 WIB alias sejam dari deadline, terdengar ungkapan sukacita dari hadirin sebelah saya.

"Hei, lihat nih! Anakku keterima di ITB," ujar bapak-bapak paruh baya memperlihatkan ponselnya kepada rekan sebelahnya. Ia rupanya mengakses situs SBMPTN. Kecepatan digital melawan analog. Saya yang masih heboh mengurusi penerbitan pengumuman SBMPTN esok hari merasa lumayan tertohok juga. Bahasa anak Path jaman sekarang, sakitnya tuh sampai di sini (sambil nunjuk hati).

Tiba-tiba saya teringat ucapan kepala Litbang di kantor kami. Ia berujar memang teknologi kadang kejam. Kasus yang ia ilustrasikan terjadi di depan mata saya, kebetulan, 9 Juli lalu.

Ketika proses perhitungan suara di TPS kami tinggal menyisakan beberapa kertas suara, Megawati Sukarnoputri sudah mengumumkan kemenangan Jokowi via hasil quick count. Kebetulan beberapa di antara kami yang hadir di TPS membawa ponsel dan lantas mengabarkan ke forum. Hasilnya, penyebutan beberapa kertas suara sisa menjadi tidak semangat karena dirasa sudah tidak menentukan lagi. Sama seperti Oscar mencetak satu gol di menit akhir ke gawang Jerman yang sudah membobol tujuh kali di 89 menit sebelumnya.

Betul bahwa statistik berperan di quick count, tetapi digital yang mengakselerasi. Tanpa bantuan proses digital, yang saya ingat dari quick count tahun 2004, hasilnya baru bisa diketahui sekitar pukul 21:00 WIB oleh Metro TV pada waktu itu. Rekapitulasi data dan pemancaran kini bisa jauh lebih advanced dan cepat.

Kasus lain, paling sering terjadi, adalah pre-order album baru dari band kesukaan saya. Di sela menunggu waktu pengiriman (yang biasanya dua minggu) saya cenderung sudah hafal bin khatam lagu-lagu di dalamnya hasil membeli via iTunes. Apakah itu menjadikan ketika CD datang menjadi hambar. Alhamdulillah tidak. Saya masih menikmati memelototi artwork dan memutar cakram ke stereo sederhana di rumah. Tetap ada sensasi yang berbeda.

Lalu beberapa testimonial dari orang yang masih membeli koran untuk cek nama anaknya juga membesarkan nama saya. Saking irasionalnya, para orangtua yang saya jumpai ini sering menyimpan halaman koran dengan nama anaknya. Saya tidak heran. Ayah saya dulu menjanjikan akan membeli satu koran seharga sepuluh ribu (tahun 1991 lho) apabila nama anaknya (kakak saya) ada di pengumuman UMPTN.

Romantika memang jadi kekuatan analog. Bagi orang yang memilih untuk selalu "sreg", pengalaman empiris barulah melegitimasi sebuah isu jadi fakta. "Kalau belum memegang kok masih ngga percaya," kata pedagang sayur depan kompleks yang selalu menata uang hasil jualannya color-coordinated! Mungkin sebaiknya karyawan seperti saya perlu sekali-sekali menarik semua uang pada tanggal gajian untuk dikipas-kipas, menikmati hawa kerja keras, sebelum esoknya semua menguap untuk bayar tagihan.

"Lho, lambatnya proses itu yang jadi tren anti mainstream saat ini," bela kawan saya yang masih sering mengirim surat via pos ke bapaknya di Solok. "Sekarang ada tren slow food, yang dinikmati apa?"

Untuk itu saya tidak akan mendebat orang yang masih butuh verifikasi hasil KPU tanggal 22 nanti meski secara metode ilmiah sudah terlihat siapa yang akan menjadi RI1. "Sampai ada angka yang keluar dari mulut Husni Kamil Malik, avatar saya baru akan diganti lagi," tegas kawan yang menjadi relawan capres nomer dua. Mungkin ia sadar bahwa ada yang namanya cacat produk dalam dunia analog.

Pernah saya mendapati CD dengan dua lagu berulang, track 10 sama dengan track 11. Ini jadi barang mahal di eBay. Lalu kartu pos yang luntur, setelah berbulan menunggu. Memegang uang palsu juga menjadi dinamika, meski menarik dari ATM. Dan terakhir, komplain dari orangtua yang tidak mendapati nama anaknya di kertas koran meski ia ada di dalam verifikasi via website. Ternyata namanya ke-copypaste dengan nama di bawahnya - kesalahan analog di bagian produksi kami.

Apakah hal seperti ini terjadi di dunia digital. Pernahkan kita menggugat ada 2000-an palsu dari sejumlah angka yang ditransfer ke rekening kita? Rasanya cacat produk masih jadi hak prerogatif analog.

Mungkin cacat analog ini juga yang ditunggu dari hasil perhitungan manual KPU?

Related

technology 1995150281400935474

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item