Haji, Percakapan Acak Antar Bangsa

Tiba waktu salat adalah saatnya keynote speaker dalam "World Muslim Summit" yang diikuti jamaah haji. Di Masjidil Haram, ketik...


Tiba waktu salat adalah saatnya keynote speaker dalam "World Muslim Summit" yang diikuti jamaah haji. Di Masjidil Haram, ketika sang imam memerintah merapikan barisan (saf), siapa berdiri di samping siapa adalah hal random, karena harus selalu mengisi ruang yang kosong di depannya.

Setelah salat, dan mengucapkan salam, barulah kita lihat wajah di samping kanan di kiri. Ada kalanya Arab, Afrika, India, Eropa, Malaysia, atau Indonesia. Yang jelas muslim dan bersaudara karena punya tujuan yang sama pada saat yang sama.

Percakapan yang timbul hasil dari sampel acak ras dan bangsa ini kerap menjadi menarik. Karena tidak bisa berbahasa universal di Mekkah, yaitu Arab, maka saya lumayan jarang ngobrol kecuali bila bertemu dengan rekan sebangsa, Melayu, atau yang bisa berbahasa Inggris.

Suatu waktu saya di sebelah jamaah Iran yang kebetulan bisa terbata bahasa Inggris. Kami ngobrol lumayan seru membahas mengenai Irak yang dibuka keprihatinannya.

"Unfortunately, we rarely see our Iraqi brothers. They are not allowed to go for hajj this year," kata si Iran.

Apakah terkait ISIS? Saya belum cek apakah benar, tapi memang jarang sekali jamaah Irak di Mekkah. Sama jarangnya dengan jamaah Palestina. Sesekali kita mengenal jamaah Palestina yang bila berdoa paling berbeda.

Jamaah Palestina mungkin satu-satunya kontingen yang selalu mendoakan nasib bangsanya. Sambil bercucuran air mata di depan Kabah, berkali-kali mereka sebut nama negara. Keluarga, atau rezeki mungkin bukan prioritas, tapi yang penting bagaimana menyelamatkan negara mereka yang makin mengecil dan hampir lenyap itu.

Saya sempat menyinggung obrolan politis dengan si Iran.

"Aren't you guys hate each other, given the not really well relationship in the past?"

"When in difference, we seek what common between us. And we're all muslim. We're brothers," jawabnya. Saya dapat ilmu lagi.

Di Mekkah memang kental perasaan karib antarras dan bangsa. Ketika bersebelahan dengan orang Malaysia, kami saling membandingkan layanan haji dari pemerintah. Kami sama-sama mengeluh bahwa haji tahun ini, jamaah Melayu (dan Asia Tenggara) langsung ke Arafah, tidak menginap di Mina dulu pada 8 Zulhijjah.

"Where are you from? Java? Sumatra?" tanya si Malaysia. Ketika saya jawab dari Jawa ia berujar bahwa dalam kacamata stereotip Malaysia, orang Jawa itu tradisional dan orang Sumatera modern. Mungkin ada kaitannya dengan rerata orang Indonesia yang sukses di Malaysia dari Sumatera (rumpun Melayu) dan banyak kuli serta TKW dari Jawa.

"But you're modern javanese," katanya menyinggung percakapan kami dalam bahasa Inggris.

Ketika bertemu orang India, ia bercerita punya kerabat di Medan. Jamaah Bosnia mengungkapkan gratitude-nya kepada Indonesia karena selalu mendukung independensi pecahan Yugoslavia tersebut.
Yang saya penasaran belum pernah kejadian adalah ngobrol dengan jamaah dari negara Afrika. Mereka reluctant untuk ngobrol dalam bahasa Inggris. Usai disapa salam standar, dan ditanya asal negara, biasanya mereka cenderung diam dan kembali menunduk.

Jamaah Afrika dan Indonesia punya kemiripan, kurang pede dalam pergaulan internasional. Apakah ini wujud "mental slavery", masa lalu sebagai pelayan bangsa kulit putih?

Saya ingat obrolan dengan muslim Perancis. Ia seorang kaukasia, jadi mualaf karena tinggal di lingkungan imigran Senegal di Lyon. Melihat haji, katanya, harus dialami semua orang kaukasia. Haji sangat efektif menghapuskan prasangka rasisme dan kembali meletakkan fitrah manusia yang setara.

Kembali perkataan si Iran terngiang. Ketika berbeda, memang sebaiknya mencari persamaan. Bukan sebaliknya.

Related

travelogue 8356696552179090626

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item