Saya Mengeluh, Tuhan Menjawab

Orangtua saya mengibaratkan melakukan ibadah haji itu seperti dipanggil oleh Ketua RT. Setelah dipanggil, pertanyaan dari tetangga dan m...


Orangtua saya mengibaratkan melakukan ibadah haji itu seperti dipanggil oleh Ketua RT. Setelah dipanggil, pertanyaan dari tetangga dan mungkin istri biasanya berkisar pada pertanyaan: 

"Tadi Pak RT ngomong apa? Ngapain lo dipanggil?"

Demikian juga dengan haji. Yang harus diantisipasi adalah pertanyaan "Tadi Tuhan bilang apa? Pasti ada yang Ia sampaikan setelah kau datang ke rumah-Nya?"

Saya mencoba membuka audiensi dengan Tuhan dengan cara apapun. Saya adalah pribadi otak kiri yang sangat rasional logis sehingga, jujur, sulit melakukan hal spiritual semacam itu.

"Kunci pertama, merendahkan diri dulu," pesan ayah. "Setelah itu jujurlah mengungkapkan keluh kesahmu."

Secara dasar, memang begitulah adat meminta. Jadi memang logis.

"Banyak-banyaklah mengingat," lanjut ayah.

Hari pertama sambil tawaf saya mengeluhkan segala hal. Paling utama mengenai anak saya, Aksara, yang mengalami development delay. Mengingatnya, saya kadang mengeluh hingga menangis.

Berlanjut sa'i, entah kenapa saya sangat menghayati upaya gigih Hajar dalam mencarikan air untuk Ismail, anaknya. Itu menjadi landasan sa'i, dan prosesi tujuh kali pastilah dianjurkan Rasul agar kita bisa menggaris bawahi kata ini: determinasi.

Di hari kedua, sehabis Asar saya berdiam di masjid dan merenung. Kembali berkeluh kesah kepada Tuhan, sambil membaca kitab suci, mengingat almarhumah ibu, pakde, dan tentu saja kembali ke Aksara, yang membuat air mata saya berderai. Di depan Kabah, sungguh berlipat sisi sentimental seseorang.

Ketika tiba saatnya salat Magrib, imam masjid membaca surat At Taubah yang di salah satu bagiannya sungguh meruntuhkan pertahanan ego saya.

"...la tahzan, innallaha maana."

Janganlah bersedih, sesungguhnya Tuhan bersamamu. Saya mungkin tak bisa bahasa Arab tapi untuk beberapa ayat atau ungkapan saya paham. Secara random, tiba-tiba ayat ke-40 dari surat ke-9 dalam Al Quran itu disebut.

Lutut saya gemetar, hati juga tertohok sehingga di tengah salat saya kembali menangis. Pikiran saya terburai. Inikah jawaban Tuhan?

Tuhan memberikan Aksara sebagai hadiah. Tapi saya selama ini selalu melihatnya dengan kacamata kekurangpuasan. Betapa tinggi hati, menistakan pemberian. Bahkan berani datang dan mengeluhkan di rumah-Nya.

Ar Rahman. Ar Rahim. Ia yang tidak murka, tetapi malah memberi garansi inallaha maana. Bahwa Ia bersama saya.

Entah kenapa kemudian saya seperti didorong untuk melafalkan asmaul husna. Apakah itu istilah "hati berbicara"? Setelah sebelumnya Ia membisikkan kata "determinasi" kemudian dilanjutkan dengan "la tahzan innallaha maana".

Di rumah-Nya kita dituntut untuk berdialog dengan-Nya. Dan di sana juga saya merasa mendapat jawaban dari-Nya.

Esok pagi, setelah salat Duha, saya berdialog dengan istri menyampaikan pesan Tuhan, terutama terkait anak kami. Berdua kami menangis seperti bayi mendapat teguran sekaligus garansi kasih sayang-Nya.

Sekali lagi, selamat datang di sekolah Tuhan.

Related

travelogue 6409862700596090211

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item