Dehidrasi dan Perjuangan Wukuf

Berdiam di tenda, dengan suhu luar mencapai nyaris 40 derajat Celsius rupanya merupakan perjuangan penuh kesan selama wukuf. Nabi du...


Berdiam di tenda, dengan suhu luar mencapai nyaris 40 derajat Celsius rupanya merupakan perjuangan penuh kesan selama wukuf.

Nabi dulu tanpa tenda, dan hanya berteduh. Dengan tenda, paparan sinar mungkin tertangkis, tapi panas terperangkap di dalam ruang. Tak ada AC atau kipas angin dan satu tenda diisi separuh kloter (sekitar 150 jamaah). Semua berebut oksigen yang sama.

Selama periode matahari naik, dari waktu duha hingga tengah hari, adaptasi fisik di mulai. Real feel suhu di dalam tenda barangkali mencapai setengah titik didih air. Semua air mineral menjadi hangat dan bisa melarutkan gula.

Wukuf dimulai ketika tengah hari. Setelah kutbah wukuf, jamaah bisa mulai merenung dan berdoa. Itu adalah acara puncak dari ibadah haji, dus merupakan waktu yang paling pas untuk mengeluarkan uneg-uneg.

Ini juga waktu paling sentimental bagi saya. Mungkin salah satu ekskresi air mata paling banyak setelah sekian lama. Kata orangtua, bila yang didoakan terbayang jelas visualnya, maka ada kontak spiritual kita. Percaya atau tidak, hal itu mudah terjadi ketika wukuf. Saya melihat almarhumah ibu, pakde, anak-anak di rumah, dan kawan-kawan yang menitipkan doa.

Di paruh pertama, hingga jelang asar, dehidrasi mulai menyerang. Meski sudah menutup dengan banyak (sekali) minum, namun kondisi tubuh sangat drop. Ketika kencing, warnanya sangat keruh.

Paruh kedua rencananya kami akan ke luar dan melanjutkan wukuf. Tapi saya sudah terlanjut lemas sehingga beberapa kali berbaring menahan panas dan membunuh haus dengan isitighfar.

Di maktab kami, persediaan air minum cepat habis. Kulkas tidak berfungsi. Yang ada botol air panas. Kami seperti selalu minum air hangat. Hasilnya suhu tubuh tak cepat turun.

Penurunan performa dan stamina terus terjadi hingga mabit (menginap) di Muzdalifa. Area Muzdalifa adalah area terbuka berupa padang pasir berkerikil di pinggir jalan raya. That's it, tidak ada apa-apa. Satu-satunya "hiburan" barangkali penjual mi instan. Tapi saya dalam kondisi kehausan dan butuh penurun suhu tubuh.

Kekacauan transportasi juga mengakibatkan kami baru bisa meninggalkan Muzdalifa pada pukul 3:30 dari rencana jam satu malam.

Setibanya di Mina, hal pertama yang saya incar adalah minuman dingin. Tiga kaleng cukup menurunkan suhu dan membuat badan rasanya siap untuk melanjutkan ritual haji, yaitu melontar jumrah.

Konon, episode terberat haji sudah dilalui. Kini kami tinggal di tenda dengan AC. Meski demikian, pengalaman wukuf dengan proses dehidrasinya menjadi pengalaman yang sangat berkesan. Kami bisa memahami esensi berdiam yang dicontohkan Nabi. Istighfar atau permintaan ampun memang sering disebut-sebut dalam gladi resik pengadilan akhirat ini.

Pagi jelang wukuf, saya sempat berjalan ke ujung maktab untuk melihat Jabal Rahmah. Di gunung itu tak ada tenda tapi sudah berwarna putih penuh jamaah. Mereka pasti lebih gila lagi menahan sengatan panas dan dehidrasi.

Dekat gerbang maktab ada tenda-tenda berukuran raksasa. Disitu tinggal jamaah haji yang memanfaatkan fasilitas ONH Plus. Di dalamnya, kata ayah saya, merupakan ruangan ber-AC, terdapat tempat tidur, dan juga memiliki kulkas.

Mungkin karena iri, tapi kini saya berpikir apakah mereka mendapatkan esensi wukuf di tengah kenikmatan seperti itu?

Ah, siapa saya menilai...

Related

wukuf 6763825316594475165

Posting Komentar Default Comments

1 komentar

ilyapadmore mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item