Jamaah Haji, Jamaah Pemerintah

Kami sekeluarga selalu mengikuti pemerintah. Untuk awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha, kami juga selalu mengikuti ketetapan pemerin...


Kami sekeluarga selalu mengikuti pemerintah. Untuk awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha, kami juga selalu mengikuti ketetapan pemerintah. Demikian juga dengan haji.

Sebagai anggota tur akbar yang diselenggarakan pemerintah, saya berusaha comply dengan segala ketentuan yang disiapkan oleh pemerintah, mengesampingkan ambisi pribadi. Ini termasuk itinerari haji, seperti yang pernah ditulis sebelumnya, terutama berkait dengan ibadah di Masy'aril Haram (Arafah, Muzdalifa, Mina).

Pemerintah, bekerja sama dengan pemerintah Saudi dan berkoordinasi dengan penyelenggara haji Asia Tenggara menetapkan jamaah dari region terkait mengikuti nafar tsani, atau meninggalkan Mina pada 13 Zulhijjah (7 Oktober). Tawaf ifada sebagai penyempurna haji juga digariskan setelah 13 Zulhijjah. Secara hukum agama, ini boleh.

Namun, seperti halnya polemik tarwiyah, contoh Nabi selalu dicari. Dalam kasus mabit Mina, Nabi melakukan tawaf ifada pada 10 Zulhijjah setelah melontar jumrah Aqaba. Setelah itu beliau kembali ke Mina dan menginap di sana sampai 13 Zulhijjah.

Semua orang ingin mencontoh Nabi, dan bisa dibayangkan Masjidil Haram penuh dengan jamaah pada 10 Zulhijjah. Situasi menjadi berbahaya, oleh karena itu pemerintah menganggap ini berpotensi sebagai salah satu mudarat sehingga diatur jadwal pemulangan dari Mina serta tawaf ifada yang sedemikian rupa.

Waktu melontar jumrah juga diatur. Maktab kami mendapatkan jatah melontar setelah asar. Sekali lagi tidak sesuai dengan contoh Nabi yang melontar saat duha. Situasi jamarat juga selalu rawan, jadi pengaturan memang diperlukan. Waktu setelah duha adalah situasi yang padat dan membahayakan bila 3,5 juta melontar bersamaan.

Jadi tidak masalah bagi kami untuk tetap melempar sesuai jadwal. Seluruh itinerari dan jadwal yang disusun pemerintah saya yakin telah dipertimbangan kekuatan syariahnya. Ibadah tak akan digugat keabsahannya.

Hanya saja, tetap saja ada ambisi-ambisi individu atau kelompok yang ingin mengejar keutamaan. Beberapa kelompok bimbingan berangkat duha untuk melontar jumrah pada 10 Zulhijjah. Ini sempat diperingatkan petugas haji. Tetapi mereka tetap memproses jalan.

Meski sudah diingatkan untuk tidak ke Masjidil Haram sampai setelah 13 Zulhijjah, kelompok tersebut juga tetap memaksakan untuk ke Makkah pada 10 Zulhijjah. Tepat setelah melontar jumrah. Sekali lagi melanggar himbauan pemerintah.

Di kloter sebelah ada jamaah yang meninggal lantaran kambuh asma. Diduga salah satu pemicunya adalah kelelahan. Begitu tiba dari Muzdalifa (10 Zulhijjah), jamaah berusia 60 tahun tersebut ikut dengan rombongannya melontar jumrah Aqabah, jalan kaki ke Makkah, istirahat di maktab, lalu kembali ke Mina sore harinya. Total ia bisa menempuh sekitar 30 km jalan kaki.

Itulah potensi mudarat yang dihindari dengan regulasi. Jamaah haji Indonesua banyak yang berusia lanjut dan perempuan. Kepergian-kepergian di luar jadwal menimbulkan polemik dan keresahan.
Banyak jamaah yang ikut dengan jadwal kelompok bimbingan, namun karena bukan anggota maka tidak difasilitasi. Padahal tempat tidur dan makan semuanya sama difasilitasi pemerintah.

Fadilah (keutamaan) memang bagus. Namun bukan rukun. Fadilah adalah bonus. Bonus adalah sunah. Sementara mudarat bisa berujung haram yang mungkin membatalkan rukun. Oleh karena itu mengejar fadilah yang berpotensi mudarat malah menjadi membahayakan ibadah.

Ibadah haji, terutama rangkaian di Masy'aril Haram didesain Nabi termasuk untuk memperlihatkan kekompakan jamaah. Sayang bila dicederai oleh kemauan untuk mengejar keutamaan individu dan golongan, bukan umat.

Secara khusus, jamaah haji adalah duta bangsa. Oleh karenanya, mereka juga mestinya taat kepada amirul hajj Indonesia, yang notabene dipegang pemerintah melalui Menteri Agama.

Related

travelogue 8898076005682725185

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item