Makkah, Kota Muslimpolitan

Arab Saudi adalah negara yang sejahtera. Sebagai eksportir minyak terkemuka, negara kerajaan ini bisa dibilang amat kaya malah. Oleh kar...


Arab Saudi adalah negara yang sejahtera. Sebagai eksportir minyak terkemuka, negara kerajaan ini bisa dibilang amat kaya malah. Oleh karena itu, meski tak sekosmopolit negara Emirates, kota-kota di Saudi juga diwarnai dengan citarasa internasional.

Meski statusnya "muslim only", Makkah membuka diri bagi arus investasi "kafir". Franchise atau jaringan brand internasional mudah dijumpa di sini. McDonald's, KFC, Starbucks, Giordano, dan sebagainya tersedia di berbagai gerai mal-mal.

Mengikuti hukum pasar, pusat ekonomi bergerak di seputar keramaian. Masjidil Haram, tempat paling suci bagi muslim, mendatangkan setidaknya dua juta orang dalam sebulan haji, atau katakanlah seperlima di bulan biasa. Itu adalah potensi transaksi yang cukup besar.

Sebagai konsekuensi, di sekitar Masjidil Haram berdiri berbagai amenities yang menyediakan barang dan jasa. Hotel-hotel terbaik Makkah ada di kisaran masjid. Mal juga tak luput. Di depan Bab al Malik (King's Gate) terdapat plaza yang langsung menyambung ke mal.

Usai ibadah atau tawaf, orang bisa langsung hangout di Starbucks. Pemandangan orang berkain ihram browsing di butik juga hal yang standar. Apakah ini merupakan paradoks?

Tidak juga, karena dari sejarahnya masjid memang dekat dengan aktivitas niaga. Dekat masjid lazim ada aktivitas jual beli, kadang berwujud pasar. Di Indonesia fenomenanya juga (sempat) demikian. Masjid selain Al Haram juga lazim didekatnya terdapat pasar.

Yang membedakan barangkali aura masjidnya masih lebih agung dibanding mal atau pasar. Di Indonesia kita saja jarang mendengar azan di dalam mal.

Di Saudi, ekonomi bergerak mengikuti masjid dan ada konsekuensinya. Jam buka toko mengikuti waktu-waktu salat. Pagi setelah Subuh, aktivitas ekonomi sudah menggeliat. Lalu sehabis Isya, pasar juga mulai ramai.

Yang mengagumkan, ketika tiba waktu salat (terdengar azan), aktivitas berhenti total. Semua berduyun ke masjid, atau bila tidak terburu cukup di emperan toko atau halaman. Yang penting dua hal: tepat waktu dan berjamaah.

Sopir-sopir taksi selalu bersiap sajadah yang mudah mereka gelar di jalan. Aktivitas konstruksi berhenti total ketika waktu salat sebelum berlanjut "business as usual" sesudahnya.

Jadi tidak peduli Anda tengah berbelanja tas di Gucci, bila masjid memanggil sudah tahu mana yang harus didahulukan.

Inilah muslimpolitan.

Related

travelogue 8205512301679080821

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item