Siapkan Penyelamat Akhirat

Kemarin istri saya share sebuah broadcast yang menggugat minimnya peran ayah dalam pendidikan anak. Belum lama, juga ada sharing di media...


Kemarin istri saya share sebuah broadcast yang menggugat minimnya peran ayah dalam pendidikan anak. Belum lama, juga ada sharing di media sosial dari Felix Siauw yang mengkritik "absent father" dalam diri anak-anak kota. Ini mengingatkan saya kepada episode "father and son" saya sendiri belum lama, saat menunaikan ibadah haji di Tanah Suci bersama ayah.

Karena gula darah ayah hampir menyentuh angka 600, beberapa hari di Makkah dan Madinah dilewatkan dengan diam di maktab. Khususnya di Makkah, di mana maktab berjarak 3 kilometer dari Masjidil Haram.

Gejala diabetes mulai muncul beberapa hari setelah (alhamdulillah) haji selesai. Ayah mulai sering pipis dan terus merasa haus. Makin lama makin sering frekuensinya, bahkan beberapa kali tidak terkendali. Nafsu makan drop, dan tentu konsekuensinya tenaga juga drop. Ketika makin parah, barulah saya tahu bahwa itu gejala diabetes. Tapi saya tidak ingin bicara mengenai penyakit.

Ketika banyak waktu di maktab, saya banyak menemani beliau. Di dalamnya banyak terjadi dialog ayah-anak yang rasanya untuk pertama kalinya se-intens itu dalam skala kedewasaan. Beberapa hal yang kami bicarakan sempat mengundang degup jantung nan kencang. Ayah mulai bicara warisan, tempat pemakaman, dan sebagainya. Mengingat kisah-kisah ijabah di Tanah Suci, saya mulai khawatir. Tentu terkait dengan kondisi kesehatannya.

Tapi kisah yang paling menohok adalah ketika ia berkata bahwa ia menyiapkan "plan B" bilamana ia harus menghadap Tuhan nantinya.

Dalam ajaran Islam, selain amalan pribadi, ada tiga hal yang bisa menolong orang di akhirat. Amal, ilmu, dan anak. Semuanya harus dalam kondisi baik (jariyah, bermanfaat, dan saleh). Ayah berkata bahwa kini ia harus menyiapkan dua hal sebagai bekal, dan tidak bisa berharap terlalu banyak pada anak-anaknya.

Tentu saya, anaknya, yang diajak ngobrol merasa malu. Rupanya saya tidak (atau belum) memenuhi kriteria anak saleh yang bisa diandalkan. Jujur ini merupakan tamparan berat (plak!). Saya lebih banyak merenung untuk memikirkan bagaimana bisa ikut membantu orangtua saya di akhirat nanti. Saya sempat mencari link untuk belajar agama agar bisa ikut meneruskan estafet pondok pesantren yang didirikan ayah.

Sampai hari ini kami sekeluarga masih bingung mencari penerus langsung dari anak-anak ayah untuk kelangsungan pondok. Paling-paling kami semua bersedia membantu mengurus yayasan, Lagi-lagi kantoran.

Ketika saya mengungkap rencana untuk mengambil tongkat estafet pesantren, dengan hendak belajar agama, ayah malah menolak.

"Hidupmu kini untuk keluargamu. Konsentrasilah di sana."

Jawaban ini lumayan mengagetkan. Saya pikir tawaran itu bakal menyenangkannya yang mungkin pusing mencari penerus yang ideal (-nya berasal dari keturunannya). Tapi di sisi lain, jawaban itu juga mulai mengingatkan bahwa saya harus mulai mencari juru selamat saya di akhirat nanti.

Saya menjadi berpikir untuk mulai membangun pondasi penyelamat saya di akhirat. Selama ini belum terpikir, karena anak-anak saya baru berusia 5 dan 4 tahun. Saya kemudian membandingkan bahwa dari umur yang sama, ayah dulu sudah membekali dengan berbagai pengetahuan. Utamanya pengetahuan agama. Karena ketika kelas 1 SD (umur 6 tahun) saya sudah lepas dari level Juz Amma (dulu belum familiar metode Iqra) dan mulai memegang Al Quran besar.

Sekarang situasinya berbeda. Level mengaji saya mungkin belum beranjak dari progresi kelas 4 SD. Hafalan surat saya bisa dihitung jari sehingga kadang diprotes istri saya lantaran ketika mengimami salat selalu Al Fil atau An Nas. Ponakan saya di kelas yang sama sekarang sudah hapal Al Fajr. Sekitar 90% dari Juz Amma. Ini terus terang membuat malu sekaligus menjadi pelajaran untuk menyiapkan bekal pendidikan agama bagi anak.

Untuk mencari petunjuk, saya teringat surat Luqman yang banyak memberi nasihat mengenai bekal orangtua kepada anaknya. Semacam wasiat agama. Inti dari wasiat Luqman adalah agar anak-anak atau keturunan kita memenuhi setidaknya lima hal. Tidak menyekutukan Tuhan, menghormati orangtua, menjalankan salat, berbuat kebaikan dan menjaui keburukan, serta kerendahan hati.

Saya sering membaca surat Luqman sebagai bentuk doa supaya bisa mendidik anak. Sering pula membaca artinya, hingga tiba di ayat kedua sebelum terakhir dari rangkaian 34 ayat surat ke-31 Al Quran itu. Bahwasanya akan tiba hari di mana ayah tidak bisa menyelamatkan anaknya, dan juga sebaliknya. Kebetulan ketika dibacakan oleh Mishary Rashid Alfasy, ayat ini dibaca dengan nada tinggi. Semacam menegur.

"Ini lho, yang dimaksud ayahmu di Tanah Suci..."

Related

random notes 7045832527441406666

Posting Komentar Default Comments

2 komentar

putrimeneng mengatakan...

Kalau ibu saya bilang begini pas saya positif hamil.

Sudah siap belajar seumur hidup untuk menjadi orang tua yang tidak sekedar memberi makan fisik tapi juga ruh nya anakmu?

Karena anak itu pembelajar hebat dengan meniru dan melihat. Jadi perbaiki dulu dirimu kalau mau anakmu baik.

Sudah tertampar waktu itu. Maksimal banget efeknya hehe

ainur rifqi mengatakan...

Aku belum sempet berbicara secara intens terutama hal yang dewasa bersama bapak.

Tulisan yg sip iki mas (y)

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item