Elevator-frenzy di Madinah

Malam Minggu di Bintaro Exchange artinya elevator-frenzy. Rasanya seluruh populasi warga Bintaro tumpah ke mal yang baru buka setahun ini.

Malam Minggu di Bintaro Exchange artinya elevator-frenzy. Rasanya seluruh populasi warga Bintaro tumpah ke mal yang baru buka setahun ini.


Bicara elevator-frenzy, saya jadi teringat ketika haji kemarin. Tepatnya 10 hari terakhir yang dihabiskan di Madinah. Bagi jamaah haji, dianjurkan untuk menjalankan salat Arbain (harafiah berarti 40). Yaitu menjalankan salat 40 waktu tanpa putus (5 kali sehari, dalam 8 hari). Ada pula syarat tambahannya, setiap salat harus berjamaah di Masjid Nabawi, dan tak boleh tertinggal takbiratul ikram.

Di Makkah, solusinya gampang. Jamaah akan tinggal di masjid selama mungkin (baru pulang usai Isya). Rata-rata pondokan di Makkah jauh, dan bila ditantang dengan salat Arbain (untungnya tidak) maka saya yakin akan banyak jamaah yang separuh lebih harinya dihabiskan di masjid.

Nah, di Madinah, godaannya adalah hotel yang persis di depan masjid. Ini yang membuat banyak jamaah pulang ke hotel usai salat, dan di sinilah keseruan terjadi.

Kami menginap di hotel berlantai 10, seberang makam Baqi, sekitar 200 meter dari masjid. Dekat. Kalau azan saja terdengar sampai hotel. Saya mendapat jatah di lantai 10 dari total kapasitas sekitar 1000-an penghuni. Di lantai 3 hingga 5 dihuni oleh jamaah Pakistan.

Di tiap waktu salat, terutama ketika azan berkumandang, orang-orang bergegas ke masjid. Tak ingin ketinggalan takbiratul ikram tentunya. Rasanya semua berpikiran sama. Leyeh-leyeh setelah jamaah salat, tiduran di hotel, lalu bergegas ke masjid.

Nah, bagi penghuni lantai 10 seperti saya, aturan mendapat giliran pertama untuk turun via elevator (lift). Sehari-dua hari pertama masih berjalan seperti itu, dengan penghuni lantai 3-5, yang orang Pakistan, kerap tak mendapat ruang untuk masuk lift lantaran sudah penuh.

Di hari berikut, jamaah Pakistan "membalas dendam" dengan naik dulu ke atas, dan kemudian turun lagi via lift. Ini membuat kami yang ada di lantai teratas kerap tidak mendapat space. Beberapa kali, karena terburu iqamah, kami kerap berlari turun tangga darurat sebanyak 11 lantai (termasuk mezzanine).

Elevator-frenzy ini sudah mirip pertikaian ruang antar lantai. Sati hari kami bersaing dengan Pakistani. Lain hari kami mendapati jamaah Indonesia melambaikan tangan, mengejek kompatriotnya yang tak bisa naik lift.

Strategi orang juga bermacam-macam. Ada yang pura-pura memenuhi depan pintu untuk memberi ruang rekan sebangsanya di bawah. Tapi yang paling sering, dan menjengkelkan, adalah memencet dua tombol. Turun dan naik.

Ini membuat lift jadi berhenti di tiap lantai dan berjalan lama. Waktu salat memburu. Namun anehnya, seiring waktu berjalan, tak ada yang bersiasat dengan datang ke masjid lebih awal. Selalu saja terjadi elevator-frenzy ketika azan tiba.

Bahkan di sekitar masjid Nabi, setan tetap masih punya cara.

Related

travelogue 4578997260669147429

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item