3x3 Bulan Puasa

Ada situasi dulu, warung makan yang buka selama siang hari berkurang atau menutup akses view -nya. Kesadaran sendiri, ngga ada yang maksa...


Ada situasi dulu, warung makan yang buka selama siang hari berkurang atau menutup akses view-nya. Kesadaran sendiri, ngga ada yang maksa. Apa alasannya?

Hukum ekonomi saja. Karena potensi pelanggan berkurang, maka lebih baik buka lebih sore atau kadang malah tutup sama sekali.

Manajemen pegawai. Mayoritas pelayan, juru masak, dan pekerja di warung biasanya berpuasa. Mengurangi/mengubah jam kerja (atau mungkin tutup) bisa jadi strategi juga. Beberapa mengatur atas nama toleransi juga.

Toleransi. Meski saya yakin mayoritas yang berpuasa tak menuntut untuk "dijaga", tapi hal seperti ini adalah bentuk empati saja. Saya sering menemukan empati bentuk seperti ini di level orang per-orang (rasa sungkan ketika orang makan di depan orang yang berpuasa). Logis bila ini diangkat ke level yang lebih luas.
Sekarang situasinya (di Jakarta), ketika bulan puasa, bisnis (cenderung) run as usual. Kira-kira apa penyebabnya?

(Lagi-lagi) Hukum ekonomi. Tempat makan buka artinya ada potensi pendapatan dan permintaan. Bisakah disimpulkan sebagai makin banyak orang yang tidak berpuasa. Tentu. Saya tidak akan terburu membuat asumsi muslim berkurang. Makin banyak, kok, orang yang (mengaku) Islam tapi tidak puasa.

Terkait dengan pasal di atas, prinsip kapitalisme juga berjalan seperti biasa. Artinya, untuk melayani orang-orang yang tidak puasa, para pegawai dan juru masak itu tetap masuk kerja layaknya hari biasa. Mereka toh butuh upah untuk persiapan hari raya (tidak ada pilihan lain).

Berkurangnya empati. Yang ada, sekarang malah seolah dipaksakan orang yang puasa diminta berempati pada yang tidak puasa. Atas dalil apa? Bahwa perjuangan orang mencari tempat makan selama bulan puasa jauh lebih berat ketimbang menahan lapar, dahaga, yang dilakukan orang berpuasa. Motivasi berpuasa (harus iklas, dilandaskan ketaatan, dan tidak tergoda) dijadikan advantage factor yang membuat posisinya di atas kebutuhan mencari tempat makan. Sweeping tempat makan malah makin menegaskan bias atau fallacy atas logika ini.
So, dari dua kelompok fenomena di atas, maka kita bisa sedikit memahami benturan-benturan status yang kerap terjadi di media sosial belakangan. Tanpa bermaksud menjadi polisi moral, sekiranya bisa diambil kesimpulan sebagai berikut:

Ada kelompok yang resah dengan menurunnya jumlah orang berpuasa. Apakah upaya ini sistematis (berkat aktivitas dakwah dari kepercayaan lain), atau ekses gaya hidup saja. Tapi percayalah, atas enigma ini segala pemaksaan atau sweeping menyambut Ramadan terjadi. Untuk itu, meski kepercayaan bukan hal utama, perlu ada upaya menutup (kesan) "growth" orang yang tidak berpuasa. Caranya? Jangan terlalu banyak mengumbar ketidakpuasaan di jam-jam puasa. Kuncinya kembali ke empati.

Pastikan pekerja terpenuhi hak-hak untuk menjalankan ibadah. Apakah akan dimanfaatkan untuk ibadah? Bila Anda tak mau ada polisi moral, maka hal itu juga berlaku bagi pekerja. Apa yang mereka lakukan dengan insentif selama puasa bukan urusan Anda.

Empati tetap harus dijaga, terutama mengingat poin pertama. Di sisi lain, bulan puasa ini sudah jadi calendar event tahunan yang punya aura festivitasnya sendiri. Bila Anda ngotot bahwa tiap Agustus wajib marak dengan merah-putih, bulan puasa juga punya alasan menuntut hak serupa kok.
Ini salah satu indikator toleransi yang gampang juga, dibanding ribut soal ucapan hari raya. Jangan memprovokasi dan jangan terprovokasi. Kalau dulu kita bisa, kenapa sekarang tidak?

Related

STICKY 4165550898863401838

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item