Jumat Itu Saya Tidak Sepakat

Di era medsos, mungkin orang akan menghujat Resi Bhisma atas pilihannya membela Hastina. Wong sudah jelas-jelas di pihak Kurawa kok. Ra...


Di era medsos, mungkin orang akan menghujat Resi Bhisma atas pilihannya membela Hastina. Wong sudah jelas-jelas di pihak Kurawa kok.

Rabu, 2 November, sambil jalan ke kantor saya berdebat sengit dengan istri perihal demo yang akan terjadi dua hari lagi. Saya di posisi oposisi. Tidak setuju dengan alasan demo, dan tidak sepakat dengan kasus yang menjadi pokok sengketa. Saya menggugat posisi Aa Gym yang memutuskan ikut demo dan memperbesar skala magnitud kejadian ini.

Di hari yang sama, broadcast WA mulai tang-tung. Isinya mengenai dugaan kerusuhan yang akan terjadi pada 4 November. Yang paling konyol dilempar di grup SMA. Bahwa di Magelang, tanggal yang sama akan ada demo dan sweeping Pecinan. Magelang. Jaraknya 400 KM dari Jakarta.

Sore hari, saya dan kolega bertemu rekan bisnis. Di sana dijelaskan mengenai paranoia-paranoia atas kemungkinan kerusuhan. Kantor yang ditutup sudah biasa. Ini sampai ada mobilisasi untuk keluar dari Jakarta (bahkan Indonesia). Saya heran dengan atmosfir yang bertiup. Mengapa yakin sekali demo akan rusuh?

Saya ingat kutipan dari band kesukaan saya, Pearl Jam. "They keep drilling on fear to make the job simple." Pada kesimpulan, ini adalah peristiwa yang diskenariokan. Tak perlu menunggu pidato Presiden Jumat malam, langkahnya menemui elite politik sebelum demo sudah membuat demonstrasi ini bergerak ke ranah politik.

Mengapa demonstrasi yang belum ketahuan akan diikuti berapa banyak begitu ditakuti?

Jumat, 4 November pagi saya berangkat ke kantor. Ya, saya tidak ikut demo. Saya berangkat seperti biasa. Ke stasiun Jurangmangu, berjalan dengan baju flanel hijau dan mendengarkan Metallica di balik headphone. Jam 9 biasanya kereta lumayan lengang. Sampai di peron, saya bergegas karena KRL ke Tenabang sudah tiba. Begitu pintu kereta terbuka, alamaaak, penuuuh! Berisi orang-orang berbaju putih. Asli sesak. Seperti di jam sibuk Senin pagi.

Dan ini yang menampar saya. Ketika hendak masuk, saya merasa sungkan. Merasa rikuh. Saya sengaja berjalan beberapa gerbong untuk mendapati yang tak terlalu penuh. Karena tak ada, maka saya masuk, menyempil di antara pria-pria berjubah. Masih mendengarkan Metallica dengan headphone menempel di telinga.

Saya tidak mendengarkan James Hetfield. Tapi lebih ke mempertanyakan mengapa saya merasa rikuh. Saya muslim. Saya juga tengah dalam perjalanan ibadah untuk bekerja. Ini seperti meme yang sering dilontarkan kaum nyinyir jelang demo. Menganggap mereka yang demo kurang kerjaan. Saya bisa menggugat balik. Di antara yang demo itu, banyak juga yang rela melepas nafkah seharian, potong jatah cuti, dan pergi ratusan KM untuk menjalankan prinsip jamaah. Ya, individualis macam saya yang bekerja untuk harta sendir mungkin nggak akan paham. Dengar musik saja pakai headphone. Dinikmati sendiri.

Saya merasa rikuh karena sejatinya orang-orang yang demo ini berangkat lebih karena semangat "promote what you love", bukan sebaliknya. Sebagian kecil, barangkali, merupakan endorser kebencian. Benci pada Ahok mungkin. Pada Jokowi. Tapi, haqqul yakin, dari massa yang memutihkan Jalan Merdeka, sebagian besar datang karena cinta terhadap islam. Ingin menjadi bagian pernyataan keislaman. Di kereta mereka bersalawat, saya ingat tifosi Napoli yang memenuhi stasiun Roma. Sama. Mereka sama-sama endorse kesukaan. Satu ke tim bola, satu kepada agama.

Jumat siang, ketika melihat jutaan massa berpakaian putih, hati mana yang tak tergetar? Saya teringat kredo para pejuang perang salib dari Inggris. Pedang itu seperti salib. Bagi yang berdaya, itu adalah penyemangat. Bagi yang kalah, itulah lambang nisan mereka.

Lautan umat Islam yang demo akan memancing reaksi yang sama. Bagi orang yang melihat, tahu bahwa pancaran aura yang ada adalah pancaran kesenangan. Aura cinta. Yang tak mengkhawatirkan, tidak sesuai dugaan skenario anasir zalim melalui medsos dan broadcast. Melihat lautan manusia itu, bagi yang zalim, mungkin menggetarkan. Meniupkan ketakutan. Seperti simbolisme pedang dan salib bagi crusaders.

Rikuh yang saya rasakan ketika hendak naik kereta barangkali mencerminkan perasaan bersalah saya karena telah zalim. Zalim berprasangka, utamanya bagi sebagian besar yang datang. Bagi mereka yang barangkali guru sekolah anak saya, orang yang ringan tangan mengusung jenazah paman saya, dan seterusnya. Orang biasa. Wajah kita. Bukan penggede-penggede dengan agenda masing-masing.

Saya melihat seliweran di timeline yang membuat haru. Massa sangat tertib, memunguti sampah, menjaga taman, dan kondusif juga bagi aparat. Mungkin tidak kondusif bagi media yang dalam live report mereka berkali-kali diulang "situasi sejauh ini kondusif" seolah mereka mengharapkan ada sesuatu yang membuat tayangan mereka naik rating. Sama dengan selentingan orang di sekeliling saya yang berujar "Ah, ngga rame. Ngga rusuh."

Saya menyaksikan demo damai, diikuti jutaan manusia (demo terbesar sepanjang hidup saya) di satu tempat, dan satu keyword: muslim. Bagaimana media yang "international-minded" akan mengabarkannya?

Selepas Isya, sesampai saya di rumah (sekitar pukul 9 malam), saya menonton televisi yang menampilkan tembakan dari aparat kepada demonstran. Pertanyaan saya dua. Apa yang terjadi. Mengapa masih ada demo? Terlebih, mengapa menjadi rusuh?

Saya menangis. Saya yakin umat Islam juga menangis. Mengapa ada yang merusak hasil kehumasan fantastis yang didapat dari pagi hingga sore? Siapa yang berkepentingan bila aksi menjadi rusuh? Umat Islam? Tentu saja tidak.

Di waktu yang sama, terjadi juga kerusuhan di Penjaringan. Berita mulai simpang siur. Tetapi itu tak menghentikan gelombang komentar di media sosial. Saya menyitir satu status di timeline, "Aksi damai? Cih. Kalau ada 'mereka' mana bisa?"

Bila kita membuat kronologi, ada aksi rusuh yang terjadi antara pukul 8-11 melibatkan beberapa orang di bagian depan yang berhadapan dengan istana. Polisi lebih banyak menembakkan sesuatu dan tampak terlindung dengan seragam dan tameng. Tapi entah kenapa ada mobil Brimob yang dibakar dan (menurut berita) ada polisi yang terkapar.

Rusuh seperti ini tampak seperti rusuh biasa. Yang lebih parah banyak. Tapi sudah cukup bagi media untuk mendapatkan framing yang mereka inginkan. Anda tahu kan framing? Itu adalah upaya untuk menempatkan gajah dalam sebuah gambar, sedemikian rupa hingga terlihat belalai dan orang akan menganggap itu ular. Kesimpulan sudah diambil. Media seperti Jakarta Post dengan op-ed-nya membentuk opini demonstrasi jutaan umat memalukan, membuat Indonesia tak beranjak dari keterbelakangan intelektual. And boy, how powerful the frame.

Gugatan sederhananya, ini seperti menonton Shawshank Redemption dan mengambil kesimpulan bahwa Andy Dufrense melakukan penipuan dan kabur ke Meksiko.

Saya memutuskan untuk melakukan aksi bela agama juga. Dengan agenda yang sedikit berbeda. Musuh saya bukan Ahok. Musuh saya adalah para pembenci Islam yang secara sistimatis menyerang agama ini. Dengan landasan ketidakobyektifan, fallacy, pars pro toto, dan agenda-setting untuk memberi cap Islam tidak toleran, tidak plural, dan tidak konstitusional.

Tekanan ini saya rasakan sangat kuat, dan cenderung mulai kasat mata jelang demo 4 November. Apabila tidak rusuh, seizin Tuhan, mungkin muslim bisa kompak melihat bahwa yang di sana adalah cerminan umat mengekspresikan keislamannya. Hal yang wajar, wong kita toleran sama pendukung Persib yang memenuhi jalan ketika juara.

Tapi demo di-twist dengan aksi selepas Isya yang cenderung mencurigakan. Rusuh terjadi, baku hantam dengan polisi. Tetapi apakah jenis rusuh seperti ini yang membuat orang-orang kabur ke Singapura? Yang membuat ekspatriat bekerja di Bandara? Yang membuat isu sweeping Pecinan terjadi di tempat 400 KM jauhnya?

Akal sehat kita bisa mencerna. Silahkan rangkai fakta untuk membuat penilaian.

Bagi saya, aksi bela Islam baru mulai usai 4 November. Melawan sistimatika dan propaganda entitas yang memang ingin menista agama. Menjaga dari bias pandangan terhadap orang-orang yang saya temui tiap hari. Melawan kesimpulan-kesimpulan tak berdasar yang ingin mencitrakan Islam sebagai agama intoleran. Melawan generalisasi yang ingin menggambarkan Indonesia sebagai negeri yang rasis. Melawan pembentukan opini bahwa mayoritas menindas minoritas.

Sahabat, sudahkah Anda salat? Ada alasan kenapa kau dituntut berucap salam ketika melihat siapa di sampingmu pada akhir salat.

Muslim, satu sama lain mengikat. Itu adalah ikrarmu yang dimaktub dalam pilar agama. Salat bersama, puasa bersama, zakat butuh pemberi dan penerima, haji jelas.

Di Islam, kau tak bisa beragama sendirian.

Di dunia ini tak ada yang mendoakanmu secara konsisten selain keluargamu dan sesama muslim. Umat Islam mendoakan satu sama lain secara konsisten, minimal sekali sepekan. Untuk diampuni dosanya. Untuk terkabul keinginannya.

Di Islam, agama bukan urusan indivdual. Kacamata sekular dan materialisme akan gagal memotret ghirah muslim dalam menjalankan wasiat-wasiat Al Quran. Saatnya kau luruskan bahwa tidak semua yang datang pada 4 November itu datang demi uang atau nasi bungkus. Setidaknya, jangan kau lihat padangan "bela agama" dari balik perspektifmu. Kamu dan headphone mahalmu. Kamu dan kariermu.

Saya bisa melihat posisi Bhisma. Ia tentu tahu bahwa pandangan Duryudana tak sesuai dengannya. Tapi bagaimanapun juga Kurawa adalah pemimpin yang dianut rakyatnya. Orang-orang kecil yang maju ke Baratayuda karena cinta mereka ke Hastina. Dan untuk alasan ini Bhisma tak bisa membela Indraprasta. Tak harus melawan Pandawa, ia maju ke Kurusetra untuk melindungi rakyatnya. Bagaimanapun, Hastina adalah wajahnya.

Related

STICKY 6613863219687266459

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item