Kelas Metallica Dari Panggung

Ada ujaran klise yang saya amati sejak tahun 2000, yaitu ungkapan penonton konser Metallica. "Saya sudah sepuluh kali ke konser Me...


Ada ujaran klise yang saya amati sejak tahun 2000, yaitu ungkapan penonton konser Metallica.

"Saya sudah sepuluh kali ke konser Metallica, tapi yang ini adalah yang terbaik," demikian rata-rata opini menanggapi review konser paling mutakhir. Saya berpikir, masa sih, ada yang lebih bagus dibanding - katakanlah - konser Metallica di Seattle 1989?

Minggu (22/1) lalu adalah kali ketiga saya menyaksikan konser Metallica. Yang pertama dan kedua, konsekutif, 2013 lalu di Singapura dan Indonesia. Saya, sebagaimana yang dapat diduga dari paragraf pertama, sudah puluhan tahun menggemari Metallica. Sayang, saya masih SD ketika mereka datang ke Jakarta tahun 1993. Selebihnya ya mengikuti dan selalu memantau.

Konser ketiga saya bertepatan dengan World Wired Tour gelaran perdana. Tur ini digelar selepas Metallica merilis album ganda, Hardwired...to Self Destruct, Desember tahun lalu. Sesuai komitmen dari para anggota yang beranjak senja, tur dunia dipecah menjadi beberapa chapter, agar mereka bisa kembali ke keluarga. James Hetfield, frontman band ini, harus mengantar anaknya, Cali, yang akan masuk kuliah tahun ini.

Asia menjadi chapter pembuka World Wired dari para papa-papa metal ini. Dimulai di Korea, dan diakhiri di Singapura, negara di mana saya memecahkan Metallivirgin tiga setengah tahun silam. Tempatnya berpindah, dari Changi Exhibition Centre yang bisa menampung 30.000 audiens, ke Singapore Indoor Stadium, yang berkapasitas 12.000. Apa sebab jadi lebih kecil?

Realistis saja, pihak penyelenggara tentu tahu bahwa konser ini tak akan menjaring sebanyak individu seperti 2013.

Faktor utama, dari penelusuran ke sejumlah individu yang memutuskan tidak menonton pada edisi ini, adalah jarak dari konser terakhir yang belum sampai menerbitkan rindu. Untuk level Asia Tenggara, jarak itu mungkin masih terlalu singkat, walau saya tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi penggemar di Amerika tanpa konser Metallica selama lebih dari dua tahun.

Konsekuensi berikut muncul, yaitu kenaikan harga tiket hampir dua kali lipat dari tiket pada 2013. Faktor ini rupanya juga menambah kontribusi minimnya metalhead yang muncul ke acara. Tetapi paing tidak, yang muncul kemudian adalah para penggemar Metallica. Berbeda dengan 2013, populasi pengena kaos Iron Maiden, Slayer, atau band lain berkurang drastis. Kebanyakan memamerkan kaos Metclub mereka, atau pose dengan merchandise yang baru didapat.

Pukul 8 malam, sesuai jadwal yang tertera di tiket, venue sudah dipadati oleh para penggemar tersebut. Klasifikasi venue dibagi menjadi empat tier: festival yang dibelah muka dan belakang, tribun lantai dua serta tiga. Sampai lagu "It's a Long Way to the Top (If You Want to Rock n' Roll)" milik AC/DC berkumandang, sebagai cue konser hendak dimulai, kapasitas stadion tinggal menyisakan sejumput tempat di festival bagian belakang yang menempel railing pembatas. Jam 8.30 tepat, tembakan meriam dari film "The Good, The Bad, and The Ugly" yang mengiring ke simfoni orkestra "Ecstasy of Gold", instrumen pembuka konser Metallica sejak 1984.

Lampu padam, koor mengikuti melodi gubahan Ennio Morricone menggema, mengantar ke visualisasi berpindah ke foto potret empat anggota band yang menjadi sampul album baru. Playback berkumandang, fade in intro lagu pembuka album, Hardwired, yang disusul oleh hentakan musik dari instrumen James, Lars, Kirk, dan Rob. Seperti di album, konser juga dibuka dengan lagu titel.

Setlist Metallica sudah bisa diamati dari gelaran sebelumnya di Seoul, Shanghai, Beijing, dan Hong Kong. Berisi 18 lagu (termasuk 3 setelah encore), dibuka dengan runutan lagu dari album baru, Hardwired dan "Atlas, Rise!". Ini adalah susunan staple di semua venue sepanjang tur ini. Membuka dua lagu dengan materi dari album baru yang belum lama dirilis, ini adalah perjudian. Tapi ini adalah Metallica. Riff James Hetfield adalah juru bicaranya.

Dua lagu pertama tetap memicu kepalan tangan ke udara, terutama di front-row, tempat bersua beragam umat. Di sana juga ada perwakilan dari Indonesia, AIFA, chapter resmi penggemar Metallica dari negara kita.

Pada lagu ketiga, konser seolah baru "diresmikan" ketika James Hetfield mengumumkan "For Whom the Bell Tolls". Lagu ini dipasang back to back dengan "Fuel" yang diakhiri atraksi solo Kirk Hammett.

Lagu selanjutnya adalah lagu yang (ternyata) saya hafal dari awal hingga akhir, "The Unforgiven". Ini lagu lama yang tidak saya dapat di edisi 2013.

Pada statistik setlist sebelumnya, dari 18 lagu, Metallica membawakan lima lagu dari Hardwired. Selepas tiga lagu dari album lawas, dua nomor baru dirilis. Yang pertama adalah lagu yang bisa dibilang paling kece di Hardwired, "Now We're Dead". Lagu ini dikonstruksi dari riff mekanikal Hetfield yang tampak cocok menghiasi film beroktan tinggi seperti Mad Max. "Moth into Flame" menyusul yang dihiasi permainan laser memukau.

Sebelum berturut kemudian dua lagu Hardwired (rekor enam lagu dibawakan, lepas dari tren setlist sebelumnya), yaitu "Confusion" dan "Halo on Fire", saya kembali mendapatkan lagu yang tidak ada ketika 2013. Intro khas "Wherever I May Roam" memicu histeria pribadi, karena ini lagu yang di-shuffle dari setlist sebelumnya. Saya berharap mendapatkan Roam, lagu sinematik yang gagah ketika dibawakan live.

Catatan khusus adalah bass solo Rob Trujillo pada slot usai Confusion. Rob memamerkan skillnya "menyiksa" bass Warwick. Dari slap, betot, dan strumming. Siksaan diakhiri dengan peregangan senar hingga frekuensi terendah. Hetfield kemudian masuk menyanyikan chorus Halo on Fire sebagai intro.

Usai Halo, yang lama-lama terasa sebagai ballad untuk album oktan tinggi macam Hardwired, James kembali berkalung ESP Explorer hitamnya. Ini semacam tanda bahwa ia akan membawakan lagu dari Black Album, dan bila mengamati sejarah setlist agak tertebak lagu apa. Lucunya, melihat salah seorang penonton di front-row membawa topeng monster yang ada di cover EP "Jump in the Fire", Papa Het sempat tease penonton dengan riff dari lagu yang turut ditulis oleh Dave Mustaine tersebut. Ini bisa dibilang intro sebelum segmen akhir set utama.

Segmen akhir set utama adalah "greatest hits", dimulai dari "Sad But True", "One", "Master of Puppets" (lingkar moshpit paling besar sepanjang konser), dan "Fade to Black". Sesi ini, bagi sebagian besar penonton adalah sesi paling melelahkan (dalam makna positif) karena tubuh tak bisa dikendalikan. Headbang, fist in the air, singalong, meninggalkan pos statis karena tergeser moshpit, atau turun ke balkon bagi yang di tribun. Inilah Metallica!

Salah satu dimensi menikmati konser adalah kita kadang mengapresiasi sebuah lagu dengan cara yang beda. Ini sangat penting bagi promosi album baru, untuk menjelaskan nilai tambah dari lagu-lagu yang mungkin masing-masing penonton sebelumnya mempunyai interpretasi berbeda-beda. Dari konser ini, saya bisa memahami konstelasi Hardwired sebagai pembuka, mengapa Moth into Flame menjadi kojo, dan Halo on Fire mungkin bisa jadi staple sebagai perwakilan mid-tempo. Itu juga berlaku untuk album lawas. Sad But True menjadi staple, karena hampir tidak mungkin orang akan diam mendengar heavy groove lagu tentang haters ini.

Mengakhiri set adalah "Seek and Destroy", lagu yang pada edisi 2013 mengakhiri konser. Lagu ini bukan staple, karena kadang-kadang di-shuffle dengan The Four Horsemen, sebagai sole representative dari Kill 'Em All. Jatah staple yang hilang (dengan penambahan kuota lagu baru) adalah Creeping Death.

Set usai encore 60% stabil, diisi oleh "Nothing Else Matters" dan "Enter Sandman". Lagu pembuka pos-encore bergantian sepanjang tur. Saya berharap mendapatkan Whiplash seperti Shanghai, tapi akhirnya intro berkata bahwa pos-encore dibuka dengan "Fight Fire with Fire", alumnus Jakarta 2013.

Dua jam tepat, konser berakhir. Seperti yang diduga, uncle-uncle ini membawakan 18 lagu. 15 di set utama, dan 3 pos-encore. 6 di antaranya dari album Hardwired. Lima lagu dari Black Album, yang menurut Metal-Insider, tahun lalu masih menjual lebih dari 250.000 kopi meski terpisah seperempat abad sejak rilis. Show ditutup dengan lagu yang 2013 lalu memungkasi set utama, dan dulu membuka konser di Lebak Bulus. Kali ini tak se-ekstravagansa dengan bola-bola dan confetti.

Usai konser, satu per satu anggota menyampaikan apresiasinya ke penonton Singapura. Lars Ulrich, yang paling terakhir, berkata: "Singapura, baru pisah 3,5 tahun, tapi kalian sudah lebih baik. Konser ini yang terakhir dari seri World Wired Tour Asia, dan kami yakin ini yang paling bagus."

Saya yakin kalau Metallica mengadakan konser terakhir di Nepal sekalipun, Lars akan berkata demikian. Sesungguhnya bagus-tidaknya konser bergantung pada pengalaman memori. Saya bisa menghubungkan dengan pendapat fans yang bilang konser Metallica selalu yang terakhir yang paling bagus.

Saya mungkin membandingkan dengan 2013, pengalaman yang berbeda. Audiens yang lebih "lapangan" dan set berbeda pula. Tapi tampak memang Metallica telah mendapatkan equilibrium sebagai staying power di jagad heavy metal. Antara tahun 1993 dan 1996 berbeda tiga tahun, melalui hairdo Hetfield gondrong, redneck mullet, hingga pendek. Yang ini nyaris tidak beranjak, dari terakhir bersua Papa Het, kecuali edisi ini ia makin moncer kala menyanyi (bahkan growling).

Di usia kepala lima, yang sebentar lagi mengganti nama menjadi "Grampa Het", Metallica masih mampu membuat lagu seperti Spit Out to the Bone. Saya yakin di batch tur selanjutnya lagu tersebut bisa dibawakan setelah Lars Ulrich pede dengan staminanya.

Panggung, bagi Metallica, adalah tempaan yang kian membentuk jatidiri. Di sanalah kelas Hetfield cs terbentuk. Seperti halnya lirik lagu Whiplash yang seharusnya bila dibawakan bisa mengakhiri catatan saya ini dengan sempurna.

The show is through, the metal’s gone
It’s time to hit the road
Another town, another gig

Related

STICKY 3733661265598644139

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item