Memandu Wisata demi Panen Rupiah



Salah satu keunggulan organized tour adalah koordinasinya dengan berbagai jejaring kepariwisataan di suatu negara. Ini penting untuk menjamin kelancaran pelesir, dengan tidak membuang waktu misalnya untuk mencari makanan halal dan sebagainya. Salah satu fitur yang paling saya suka adalah penyediaan local guide.

Local guide adalah orang lokal (tentunya) yang bertugas menjadi semacam liaison officer bagi rombongan. Mereka menjembatani komunikasi dengan warga lokal, mengurus berbagai koordinasi, hingga sebagaimana guide, menerangkan mengenai cerita di balik atraksi.

Local guide kami bernama Nguyen Van Phong. Di negara yang 70% lebih bernama Nguyen, ia minta dipanggil sebagai Phong.

"Nguyen adalah marga. Van menunjukkan gender laki-laki. Tinh untuk perempuan," kata Phong. "Nama ketiga adalah given name."

Phong sangat fasih berbahasa Indonesia. Ia juga rajin meng-update data mengenai negara kita. Saya suka caranya membandingkan, dengan data, antara dua negara sehingga kita bisa mendapatkan gambaran gampang. Misalnya ketika ia menggambarkan populasi Saigon yang 12 juta jiwa dengan Jakarta (10 juta). Atau bicara mengenai harga Innova di Jakarta dan Hanoi.

Tak hanya mengajarkan frasa umum, Phong menjelaskan mengenai nama Vietnam yang diambil dari kata viet (rakyat) dan nam (selatan). Viet Nam adalah sebutan orang Tiongkok bagi penduduk yang bermukim di seputar teluk Tonkin. Kerajaan dari Tiongkok menguasai Vietnam utara selama seribu tahun.

Dari Phong juga saya mengutip sejarah Hanoi. Ketika melewati jembatan sungai Merah, ia bercerita bahwa asal nama Hanoi adalah dari dua kata ha dan noi yang diartikan sebagai "di dalam sungai".

Hanoi dibangun di atas endapan sungai. Ia diapit oleh sungai Merah, dan di dalamnya juga masih terdapat situ-situ bekas sungai. Yang terbesar adalah West Lake, tempat bernaung pagoda tertua di Vietnam, Trung Quoc, yang masih digunakan penganut Buddha untuk beribadah.

Situ lainnya, Hoan Kiem Lake, menjadi batas kota lama dan geliat metropolisnya. Gedung pencakar langit mulai tumbuh di Hanoi, dengan yang tertinggi merupakan bangunan tertingg kedua di ASEAN setelah menara Petronas. Ini dimensi Hanoi untuk menunjukkan pertumbuhan ekonomi impresif yang diraih Vietnam dalam dua dasawarsa terakhir.

Vietnam sudah memanen hasil sebagai produsen beras dan kopi. Mereka mengekspor lebihan pangan ke Indonesia. 9 juta ton beras Vietnam dikonsumsi negara kita. Saat ini mereka mulai beranjak ke sektor lain yang juga menambang uang, yaitu pariwisata.

Sebagai wilayah yang penuh cerita, baik dari penguasa yang bergantian menjajah hingga cerita perang yang sampai hari ini masih laris sebagai tema film Hollywood. Pemerintah Vietnam sadar betul aset sejarah mereka dengan menjadikan hal ini sebagai ujung tombak wisata.

Ekonomi kreatif bergerak di Hanoi. Banyak Tourist Information Office (TI) yang menyebar di kota lama. Sektor jasa mengimbangi fasilitas yang disediakan. Di sekitar Hoan Kiem Lake ini kita menyaksikan demonstrasi keseriusan negara membangun pariwisata.

Local guide lalu lalang, dan mudah terdengar mereka sambil membawa bendera bicara dengan bahasa yang berbeda-beda. Perancis, Amerika, Mandarin, Melayu, dan Indonesia.

Pada 5 tahun terakhir, wisatawan Indonesia mulai banyak membanjiri Vietnam. Pasar ini ditanggapi serius dengan kurikulum yang wajib dikuasai para pemandu wisata turis Indonesia: shopping, sleeping, salat. Ini aspek kunci wisata Vietnam bisa mendulang rupiah. Mereka tahu betul potensi pasar.

Phong adalah produk industri wisata yang mencetaknya sebagai pemandu Indonesia. Ia belajar tentang Indonesia untuk tahu statistik dasar negara kita. Ia cukup tahu pengetahuan esensial seperti mahzab setir kanan yang dianut Indonesia (berbeda dengan Vietnam). Ia tahu Ayu Ting Ting dan fasih berbahasa Indonesia.

Vietnam, saat ini, adalah negara yang paling banyak memiliki penutur Indonesia di luar negeri berbasis bahasa Melayu.

Related

VietNow 7763560133112623887

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item