Utara dan Selatan


Vietnam sekarang adalah wilayah penting bagi Indochina Perancis pada 1887 hingga 1941. Ia memiliki garis pantai yang membujur dari utara ke selatan sepanjang 3.620 km.

Akses terbuka dari Laut Tiongkok Selatan, zona perdagangan penting dari barat ke Tiongkok, membuat wilayah ini memiliki poin strategis dibanding daerah lain yang kini jadi Laos dan Kamboja.

Dasar strategis itu yang menjadi latar klaim kedaulatan Vietnam. Wilayah negara Vietnam kini adalah daerah di balik sabuk pegunungan Indochina menuju akses pantai Laut Tiongkok Selatan.

Tekstur etnisitas Vietnam terasa. Di utara, etnis dominan adalah etnis Tiongkok. Bermata sipit, kulit putih, menganut agama Buddha Mahayana, Konghucu, atau Tao.

Bergerak ke tengah ada asimilasi dengan etnis Hmong, Khmer, Cham, dan sebagainya yang lebih mirip dengan orang Kamboja, Thailand. Mereka menganut agama Buddha Theravada, Katolik, dan Islam.

Keragaman ini berbaur sekarang. Di utara dan selatan tak lagi didominasi etnis tertentu. Sipit, Melayu, Buddha, Katolik. Semuanya bicara bahasa Vietnam. Bila saya tidak berasal dari Indonesia, ini sebuah fitur yang mengagumkan. Menyatukan etnis dan agama dalam waktu kurang dari separuh abad.

Padahal, tekstur etnografi dan religi ini menjadi isu yang memecah Vietnam Utara dan Selatan. Perjanjian Jenewa membelah wilayah ini pas jadi dua di 17 derajat lintang utara. Seperti Paus Alexander VI menjatah Amerika Selatan kepada Spanyol dan Portugis.

Sekitar dua dekade, dua wilayah tumbuh dengan episentrum dan magnitud yang berbeda. Utara dengan pusat di Hanoi, dengan orientasi nasionalis, komunis, serta besar pengaruh Soviet dan Tiongkok. Selatan berpusat di Saigon. Lebih kapitalis, demokratis, dan tampak bingung menerima pengaruh Amerika Serikat.

Meski pemerintahan komunis selama kurang lebih dua dekade berusaha membuat ekuilibrium, tapi karakter hasil pembagian itu terlanjur mengkristal. Lagipula, faktanya dua kota ini mempunyai latar yang berbeda pula.

Hanoi lebih konservatif, Saigon terbuka. Keteraturan di Hanoi, sedikit chaos di Saigon. Tertutup di utara, terbuka di selatan. Tentu ada juga faktor empat musim Hanoi, dan tropis di Saigon.

Antara dua episentrum ini terpisah 2.000 km. Sepanjang pulau Jawa. Dari Anyer ke Panarukan. Infrastruktur di Vietnam belum sempurna sehingga kecepatan jalan kendaraan masih dibatasi 80 km/jam di jalan tol. Di interstate dan jalan kota, hanya boleh berjalan setengah kecepatan tol.

Let's do the math. Dengan kecepatan rerata 55 km/jam, jarak segitu membutuhkan 36 jam. Persis dengan waktu tempuh kereta. Untuk bis, ditambah stop dan macet, mungkin bisa sampai 40 jam.

Pesawat kini menghubungkan keduanya dengan waktu tempuh dua jam saja. Ini adalah opsi populer bagi warga dan turis seperti kami, tentunya. Penerbangan domestik menggunakan Jet Star menjadi opsi kami berpindah destinasi. Dari Hanoi ke Saigon. Noi Bai ke Ton San Nhat. Utara ke selatan.

Setelah melaui penerbangan yang cukup berguncang, perbedaan nyata utara dan selatan langsung terlihat. Mungkin faktor usia, tetapi bandara Saigon adalah apa yang bukan Hanoi.

Berebut antrian bagasi, minim jumlah petugas, dan atmosfer yang lebih "Jakarta". Di Saigon mulai muncul apa yang masih malu-malu di Hanoi. Bukan hot pants (itu juga iya sih), tapi kapitalisme. ATM yang berlogo Mastercard, Visa, mulai muncul.

Keluar dari bandara, guide kami, Hyu, sudah menyambut. Kami berganti guide, dan berpisah dengan Phong. Awalnya saya menyangka Hyu orang Indonesia karena tampak seperti mas-mas yang biasa di KRL. Tetapi setelah bicara, barulah saya tahu ia orang Vietnam.

Selamat datang di Selatan.

- Saigon, 18 Maret 2017

Related

vietnam 6752113378678152217

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item