Eulogi Nomor Sepuluh


Saya khusyuk menyimak sepakbola di medio '90an. Serie A tentunya, karena cinta pertama saya adalah ke sepakbola produk negeri berbentuk high heels tersebut. Sampai hari ini, tahun 2017, hanya ada satu pemain yang masih merumput tanpa absen tiap musim.

Saya suka Serie A karena legacy old-school football-nya. Ia adalah romansa. Membawa nomor 10 ke altar pemujaan dengan sebutan fantasista. Orang yang dibebaskan dari banyak tugas agar bisa berbuat satu hal saja: berfantasi. Kredo yang dulu membuat bangsawan dan Kepausan "memelihara" fantasista seperti Michelangelo dan Da Vinci. Kaos sepakbola saya yang pertama juga memuja fantasista. Nomer 10, berwarna ungu, dan bertuliskan Rui Costa.

Dua dekade sepakbola berubah, sepakbola Italia berubah. Hari ini, Serie A yang dulu dikenal karena taktik defensifnya, menjelma jadi liga paling banyak menghasilkan gol. Lebih banyak dibandingkan lima liga top Eropa lainnya. Pergi sudah era keemasan para bek-bek brilian yang dikenal karena ketangguhan mereka menghadang lawan. Bek terbaik dunia, Sergio Ramos dan Leonardo Bonucci, kerap diingat karena gol mereka.

Saya mencetak gol, karena itu saya ada.

Dunia yang berubah juga melipat seragam nomor 10. Dunia sepakbola kini diatur oleh bakat-bakat luar biasa yang dulu biasa memakai nomor 7 atau 11. Ia yang jago dribel, kencang, dan bisa menyisir lapangan bergiliran merebut bola emas. Penghargaan yang dulu jadi giliran si nomer 9 dan 10.

Di Serie A, altar pemujaan terakhir romansa "il dieci" (nomer sepuluh) menghasilkan Dries Mertens, pemain nomor 11, yang menjadi kontender top skor. Ia bersaing dengan banyak nomor 9. Mertens dari klub yang memuja tuhan, D10, hingga nomer tersebut dikeramatkan. Il dieci tak pernah ada lagi di selatan Italia.

Akhir-akhir ini tak ada nomor 10 di deretan calciatori yang mencetak 20 gol lebih. Taktikpun mulai berevolusi di Italia. Para pemilik nomer 10, jago dribel tapi jelas tidak kencang, mulai menyingkir. Ada yang rela turun ke posisi nomor 4, atau kepalang tanggung jadi nomer 9. Itu berlaku bagi mereka yang masih mempunyai waktu. Satu pemilik nomor 10 terakhir sudah tidak punya. Ia melakoni gim terakhirnya kemarin.

Saya akan berkisah mengenai si nomor 10 ini.

Suatu waktu, si nomor 10 melakoni laga besar, melawan Inter Milan. Ia mendapatkan bola muntah di tengah lapangan. Menggocek, melewati tiga pemain Inter. Ia berpeluang melakukan apa yang Maradona (tuhannya nomor 10) lakukan dengan menggocek melewati bek terakhir, kemudian kiper. Tapi nomor 10 tidak berpikir seperti nomor lain. Tidak juga berpikir seperti seniman lain. Ia menemukan genrenya sendiri.

Menghadapi dua bek dan kiper, si nomor 10 mencungkil bola dari luar kotak pinalti.

Masuk!

Seisi stadion diam sejenak. Tak ada euforia karena ia bermain di kandang lawan. Sejenak kemudian aplaus pecah di Giuseppe Meazza. Sebenci-bencinya kita ke si nomor 10, susah mengingkari bahwa yang terjadi barusan adalah maestro.

Di lain ladang, kandang gladiator di Roma, si nomor 10 adalah simbol. Ia sudah berkalang rumput selama seperempat abad berkostum AS Roma. Mengapteni tim tersebut di usia belia. Membawa ke satu-satunya gelar yang membuat statusnya seperti Maradona bagi rakyat Napoli. Sayang nama depannya tidak diawali huruf D sehingga gagal menjadi tuhan.

Bagaimanapun, ia punya alasan untuk memiliki jemaatnya. 300 gol lebih yang ia cetak menunjukkan legacy-nya sebagai si nomor 10 yang istimewa. Dari sekian gol,  separuh di antaranya hanya bisa dicetak oleh pemilik nomor 10. Saya melihatnya suatu ketika di pertandingan tandang melawan Sampdoria.

Orang bilang gol Marco Van Basten ke gawang Rusia di Piala Eropa 1988 sangat indah. Menurut saya, yang Milanista, itu tidak ada apa-apanya.

Mendapatkan umpan dari kanan lapangan, si nomor 10 berada di tepi kiri kotak pinalti. Ia berjarak sekitar 10 meter dari garis gawang. Bola yang melambung disikatnya dengan tendangan first time ke tiang jauh.

Masuk!

Bagi saya, itu salah satu momen terindah sebagai penikmat bola. Itulah keajaiban nomor 10 yang kini semakin langka di sepakbola.

Dunia sepakbola berganti era. Umur saya belum setua si nomor 10 tapi jelas sudah tidak di masa anak-anak berumur 20-an atau bahkan belasan menendang bola di liga top dunia. Kiper kesebelasan favorit saya berusia 18 tahun saat ini. Kemarin, di gim terakhir si nomor 10, Genoa, lawannya, memainkan penyerang yang lahir di tahun 2000. Di tahun itu saya menonton aksi terbaik si nomor 10 berbaju timnas Italia. Brilian tapi tak juara.

Nasibnya juga terbawa di liga. Bersama klubnya, si nomor 10 hanya sekai juara dan berulang-ulang parkir di nomer dua. Seniman tidak bicara bagaimana karyanya ditukar gelar. Seniman bicara bagaimana orang lain mengingatnya.

Ia adalah penyepak dengan kaki luar terbaik di generasinya. Suatu ketika di Derby Roma, altar sakralnya, ia mendapatkan umpan ke tiang jauh. Bola bersiap mendarat dalam posisi yang susah disundul atau ditendang. Sekitar 2 meter dari garis gawang. Si nomor 10 meluncur, merebahkan diri dengan kaki di depan. Bola tepat mendarat di outsole kaki kirinya.

Masuk!

Gegap gempita pendukung Roma. Iapun berlari ke depan pemujanya. Meminjam kamera wartawan dan melakukan selfie dengan latar euforia merah-kuning. Stadion Olimpico Roma meledak ketika announcer stadion berteriak dengan pengeras suara.

"IL NOSTRO CAPITANOO. SIMBOLO DI ROMAA. IL NOSTRO BAMBINO DI OROO. IL NUMERO DIECI. SEI UNICO. CAPITANOOO. FRANCESCOOO..."

Related

totti 848120773980988094

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item