Utopia, Realita, dan Apatisme di Tenabang


Dendam politik (politic vendetta) yang ngga kunjung usai di negeri kita rasanya mencemari ruang-ruang diskusi yang asyik. Seperti ngga bisa woles menyikapi perbedaan pendapat tanpa harus masuk ke dikotomi geng A dan geng B. Padahal, hey, saya pengennya di geng C.

Saya seneng dengan debat atau diskusi tata ruang kota. Sebagai arsitek murtad, isu engineering perilaku manusia melalui rekayasa fisik ini selalu jadi subyek yang menarik dibahas. Termasuk tentunya isu paling mutakhir, bab penataan kawasan Tenabang.

Saya termasuk di antara sejumlah yang sedih melihat kawasan tersebut semrawut usai sempat ada asa keteraturan dari relokasi pedagang ke Blok G dulu. Masalah seperti ini memang kompleks dan selalu ada di Indonesia. Sudah berapa kasus relokasi pedagang pasar jadi ribet? Sebetulnya, dalam hati, menanti juga model win-win solution yang bisa jadi preseden.

Walikota Bandung, Ridwan Kamil, yang notabene arsitek, menurut saya pernah membuat terobosan solusi yang cukup oke. Dengan penataan Sukajadi dan sekarang Cihampelasnya, kelihatannya ia mempunyai solusi. Tapi terakhir ke sana, Sukajadi mulai "pulih" seperti sedia kala. Sementara, Cihampelas masih menunggu, apakah berdampak baik atau buruk sehingga PKL akan kembali atau tidak.

Di Yogyakarta, Malioboro masih menjadi wacana hangat. Kehadiran PKL di sana yang dulu sempat diperkirakan "terlibas" toko dan mal, sekarang malah berjuang nelangsa bersama kompatriot kapitalnya. Penataan atau revitalisasi kawasan yang semasa saya kecil jadi Mekah-nya belanja ini jadi penting. So, kita masih menanti keputusan untuk menjadikan jalan legendaris ini semi-pedestrian, dengan melarang kendaraan pribadi lewat.

Dialektika penutupan jalan untuk hajat ekonomi dan berkumpul warga ini selalu menarik perhatian saya. Skala kecil bisa melihat maraknya Car Free Day (CFD) yang digelar di mana-mana. Itu bisa dimaknai satu, yaitu mungkin masyarakat mulai butuh ruang dan fasilitas untuk kendaraan (pribadi) sudah terlalu jenuh. Wacana CFD ini menarik, karena bagi saya, melihat lagi kota dalam dimensi manusia itu selalu menyenangkan.

Dalam dimensi ini, kota bertumbuh dalam skala yang lebih organis. Mungkin dalam jangka pendek, hal ini agak-agak anarkis, atau bahasa yang lebih bijak: organis. Tidak banyak diatur atau diskenariokan, dibanding pertumbuhan dalam skala mobilitas kendaraan yang mesti memperhatikan trotoar, sempadan, dan sebagainya. Obyeknya cenderung mekanis. Tapi inipun ada kelebihan. Salah satunya ya lebih oke dipandang, karena batas antar ruang lebih jelas dan pakem.

Sementara anarkis atau organis, jelas semrawut. Butuh waktu untuk mengendap sehingga itu menjadi orde itu sendiri. Dan di era serba cepat, di mana pembangunan diukur dalam jangka waktu 5 tahun sebelum pejabat berikut menganulir, membongkar, dan membuat tatanan baru, menunggu adalah hil yang mustahal.

Pengaturan yang cepat, akan berbau otoriter, tapi jenis seperti ini yang disukai arsitek. Kota atau daerah bisa jadi lab engineering sosial melalui rekayasa fisik. Ada kekuatan yang memaksakan hal ini terjadi, dan boleh dibilang situasi ini mungkin menarik bagi kelas menengah tapi jelas ditentang kelas bawah. Dan pertentangan ini jadi santapan politisi.

Yang jelas, kalau ingin melihat solusi yang konkret dalam penataan fisik (nan indah sesuai di gambar konsep), sudah tentu akan ada kepentingan yang disikat. Ini hampir nggak mungkin jadi konsensus, karena gampang digoreng jadi polemik lagi.

Memulai dari scratch, seperti membangun Rio de Janeiro mungkin lebih visible ketimbang mencarikan solusi baru dari masalah lama. Nah, di Indonesia, terutama di Jakarta, yang acap muncul adalah masalah menahun. Termasuk Tenabang itu tadi.

Balik ke kasus Tenabang, solusi makan jalan untuk menjadi ruang baru artinya bukan barang baru juga. Ini presedennya buanyak, dan tinggal pilih dari Sukajadi, Malioboro, hingga luar negeri. Artinya, di titik mengambil jalan sebagai lahan untuk kegiatan lain, ini sah-sah saja.

Lebih bagus atau tidak? Coba lihat saja nanti hasil terukurnya. Berapa pendapatan pedagang ketika ia berjualan di lahan lama. Lalu berapa pendapatan ketika ia berjualan di Blok G. Bandingkan dengan pendapatan ketika ia berjualan di yang sekarang. Itu sudah bukti empiris mudah berbasis data kok. Kalau ada perbaikan, artinya konsep itu diterima pedagang dan pembeli.

Tapi sah juga bersikap skeptis, apa iya itu sudah dihitung dengan seksama dampaknya?

Okelah, dampak kepada lalu-lalang kendaraan pribadi biarkan saja, tapi mengitung ekses baik dan buruk dari perilaku yang diharapkan. Apakah pedagang nantinya untung? Apakah konsep ini bisa menjadi permanen? Bagaimana memastikan itu menjadi tempat yang nyaman? Apa langkah untuk mengakselerasi penerimaan warga? Apakah ini-itu?

Jujur kita butuh lab semacam itu untuk membuat model serupa buat penyelesaian masalah. Tapi apakah warga Jakarta rela kotanya sebagai lahan percobaan? Apalagi dengan sentimen politik yang sangat kencang, hampir sulit membuat wacana diskusi yang menarik dari hal ini.

Relokasi PKL dan pasar sudah kodratinya sarat dengan muatan politis di mana saja. Di mana ada potensi pertentangan kelas, di situ politik bermain. Dan dengan iklim political vendetta seperti ini, boleh dibilang kontribusi saran dari masyarakat akan sangat minim karena antara ia tidak bisa obyektif (harus berdiri di salah satu sisi) atau karena takut beropini.

Takut karena paranoia akan distigma partisan, atau keniscayaan bahwa akan ada komentar yang mengembalikannya ke ranah politik praktis.

Sama seperti diskusi bola yang bubar karena ada komentar:

"Alah, kaya gitu tuh dibayar. Pasti ada bandar judi yang ngatur."

Related

urban living 6919385863874848060

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item