Realita dan Mimpi Roma


Stadio Olimpico dengan 75.000-an kapasitasnya penuh semalam. Menyisakan satu deret kosong sebagai pembatas suporter kandang dan tandang.

Ini adalah anomali, di tengah pesimisme akut orang Italia, kalah 1-4 di leg pertama dari tim yang tak terkalahkan di liga, dan diperkuat seorang alien, toh penonton masih membanjiri stadion. Gilanya lagi, di Circus Maximus, arena kariot kuno yang kini jadi alun-alun, ribuan penonton berkumpul terpaku ke layar besar.

Entah apakah bertanding melawan Barcelona kini menjadi prestise tersendiri. Mungkin penonton bisa berharap selfie dengan latar Lionel Messi yang akan menaikkan kastanya di media sosial? Atau mungkin ribuan orang yang tergesa-gesa membeli tiket kala undian Liga Champions membawa Roma melawan Barcelona.

Kerja bagus tim PR Roma patut diapresiasi, ketika seluruh direksi dan manajemen kompak memompa semangat penonton. Ya, penonton. Pemain tidak perlu disemangati, karena pada leg 1, mereka sudah tahu bahwa Barcelona bisa diladeni. Skor 1-4 bukan cerminan adil. Roma bermain lumayan dan harusnya beroleh dua penalti.

Namun, membalikkan ketinggalan tiga gol tetap tidak mudah. Apalagi melawan Barcelona. Saya masih takjub dan respek terhadap animo penonton yang membanjiri Olimpico. Padahal Roma sendiri baru saja kalah di stadion yang sama tiga hari sebelumnya, melawan Fiorentina di Serie A.

Berkali-kali pemain Roma menunjukkan apresiasi atas lubernya Olimpico sebagai motor yang mendorong kemenangan atas Barcelona. Mereka menikmati pertandingan, seperti halnya pemain dan pelatih Roma. Satu demi satu proses dan ikhtiar untuk mendominasi Barcelona dari awal hingga akhir.

Satu gol (Dzeko), disusul berbagai peluang dari Schick, Nainggolan, dan Dzeko juga mengakhiri babak I dengan skor 1-0 (agregat 2-4). Saya pikir bila pertandingan berakhir saat itu, penonton juga akan terhibur. Menjawab pertanyaan Maximus di film Gladiator.

“Are you entertained?”

Ketika babak II mulai, pemain juga terlihat menikmati pertandingan. Barcelona memegang sedikit kendali hingga Dzeko dijatuhkan di kotak pinalti. Daniele De Rossi, pembuka skor bagi Barcelona di leg 1, mengeksekusi dengam baik. Menendang ke sisi tidak naturalnya dengan kencang, sehingga Ter Stegen tak kuasa menjangkau.

2-0, dan Roma bermimpi.

Nah, hebatnya, setelah skor itu, tim tuan rumah justru menginjak gas tinggi. Seolah sudah kepalang basah, dengan terus menekan. Di Francesco memasukkan Cengiz Under untuk mencoba menusuk Barcelona dari sisi. Ia kemudian berbuah tendangan pojok yang diambilnya.

Di titik ini, saya meyakini bila pemain Roma berjuang bukan untuk lolos, tetapi untuk menghibur. Sama seperti skenario babak pertama, andai gim berakhir atau bahkan Barcelona mencetak satu gol saja, Roma sudah punya cerita untuk meladeni sepupu mereka, Lazio, minggu ini.

Tendangan diambil Under, melengkung ke tiang dekat yang diambil Manolas untuk membelokkan bola. 3-0.

Manolas euforia berlari ke pinggir lapangan. Yang menarik, ekspresi Under dan Florenzi justru memegang kepala seolah tak percaya.

“Ini nyata?”

Usai gol tersebut, rasanya justru Roma baru sadar mereka bermain di atas tanah. Sebelumnya mereka bermain mengambang, ringan tanpa beban. Barcelona mengambil kendali, meluncurkan beberapa peluang, hingga membelokkan statistik penguasaan bola, membalikkan 53% yang tadinya dimainkan Roma menjadi milik mereka.

Sekitar dua tembakan usai gol Manolas menambah kapitulasi serangan Barcelona menjadi tujuh peluang. Roma sendiri hingga upaya Manolas sudah mencocor gawang Ter Stegen sebanyak 17 kali.

Peluit panjang wasit meledakkan sukacita di stadion. Televisi menyorot tangisan seorang anak kecil berkaus marun ketika pemain Roma merayakan kemenangan gemilang ini. Mereka merekam euforia di Olimpico hingga Trigoria, pusat latihan Roma yang berjarak 33 km dari stadion.

Usai pertandingan, meniru adegan di film La Dolce Vita, presiden Roma, James Pallota, menyeburkan diri ke kolam Trevi. Koleganya di Boston juga tengah merayakan klub yang mereka miliki, Liverpool, maju juga ke semifinal Liga Champions. Takdir membawa pemain eks Roma, Mohammed Salah, menentukan laju klub Merseyside mengalahkan Man City.

Publik di Italia pernah punya lagu untuk Mo Salah. “Siamo venuti fin qua, per vedere segnare Salah.” Kami datang jauh-jauh untuk melihat Salah mewujudkan (gol).

Orang Italia punya konteks kata yang unik dengan lema “segnare”. Harafiah, lema tersebut berarti mewujudkan, membuat catatan, dan kerap digunakan sebagai lawan kata imajinasi, mimpi. Lema untuk menggambarkan hasil konkret.

Demikian konteks yang tepat bagi skena Roma semalam. Penonton berbondong karena yakin Roma bisa mencatatkan sesuatu (segnare) yang kemudian membuai mereka bermimpi. Tahu apa kata “mimpi” dalam bahasa Italia?

“Sognare.”

Realita dan mimpi (ternyata) hanya berjarak satu huruf.

Related

ucl 7152021994150165966

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item