Review Film Bohemian Rhapsody


Tanpa musik dan aspek ikonik Freddie Mercury, mari kita ceritakan kembali bagaimana film “Bohemian Rhapsody”.

Ini adalah film mengenai perjalanan karier seorang keturunan Indo-Farsi dalam menapak tangga menuju impiannya. Ia percaya pada bakatnya, dan akhirnya membawa tiga rekannya meraih sukses.

Konflik dibangun ketika si protagonis mulai mendapatkan pengaruh buruk dari pihak lain sehingga ia meninggalkan orang-orang yang peduli padanya. Akhirnya protagonis rekonsiliasi dan meraih kegemilangan yang ditandai dengan satu event.

Plot berjalan lurus-lurus saja. Tidak ada pengembangan karakter yang berarti dari sisi protagonis dan orang-orang sekelilingnya. Alurnya kadang melaju pesat, melewati banyak detail yang seharusnya bisa dikisahkan. Di lain waktu, berjalan pelan untuk memperlihatkan sekadar siksaan batin si protagonis yang bingung dengan identitas dan pilihannya.

Banyak adegan trivial dan detail “easter eggs” yang tidak signifikan terhadap jalan cerita. Tidak ada kemistri juga antar karakter yang membuat kita bertanya. Apa hebatnya karakter perempuan ini sehingga sangat bermakna bagi protagonis. Apa peristiwa yang memicunya?

Apa arti tiga rekan band protagonis sehingga membuat ia merasa mereka sebagai keluarga. Mereka tampak seperti cameo saja. Filler sambil melempar joke I’m in Love with My Car. Apa signifikansi mereka di jalan cerita?

Film ini sepenuhnya bergantung pada musik dan pengetahuan orang tentang Queen. Iya, penonton akan bergetar kala mendengar tuts piano memperdengarkan prototipe melodi Bohemian Rhapsody. Atau detail trivial yang nyaris seperti sitkom di balik penciptaan We Will Rock You. Andai itu bukan lagu untuk buddy.

Hal yang menggetarkan berasal bukan kreasi pembuat film. Mereka adalah musik yang memang nyatanya mengangkat Rog, Brian, Deacy, dan Freddie ke ranah superstardom. Atau fakta mengenai Mary Austin dan Jim Hutton yang ada hingga Freddie meninggal. Mereka pastilah orang penting.

Hal yang menggetarkan adalah bagaimana kita, di 2018, tertawa atau bergumam melihat Rami Malek mengingatkan pada sosok Freddie Mercury. Bagaimana ia mengimitasi setiap gerakan di atas panggung. Semuanya bergantung pada aspek ekstrinsik, berupa latar dan nostalgia penonton.

Ketergantungan yang sejak semula digantungkan dengan memilih judul “Bohemian Rhapsody”. Relasi dengan apanya? Apabila konteks ke dalam cerita, porsi lagu operatik dan ikonik tersebut hanya muncul setara dengan Love of My Life misalnya. Tidak jadi pivot point juga selain menceritakan mengenai proses pembuatannya yang kompleks. Saya pikir arc cerita akan beralih menyoroti bagaimana Queen (terutama Freddie) jadi perfeksionis dan kompletis. Ternyata tidak juga.

Film ini terlalu obsesif dengan ingin menceritakan banyak hal, tetapi terbatas durasi.

Film ini juga cukup pintar memasang kait ke konser Live Aid yang memang dahsyat itu untuk menaikkan mood cerita. Mungkin tujuan orang menonton akan bermuara pada hebatnya Freddie menguasai panggung konser yang diadakan di Wembley tahun 1986 tersebut. Strategi itu mungkin berhasil karena penampilan Queen dengan medley Bohemian Rhapsody/Radio Gaga itu berhasil melupakan amburadulnya konsep film.

Film ini dimenangi oleh pesona Freddie Mercury dan lagu-lagu Queen. Mereka jelas lebih majestik ketimbang naskah dan konsep film yang silang sengkarut sejak 2011. Bahkan Bryan Singer yang dikredit sebagai sutradara hanya bertahan menyelesaikan 2/3 film.

Menurut rumor, dulu skenario film ini akan berkutat pada Live Aid sebagai (salah satu) pivot point karier Queen. Di pertengahan awal dekade 1980-an, Queen tampak kehilangan magis akibat kecondongan Freddie untuk mengadopsi dan memasukkan unsur kekinian (pada masanya) di musik Queen. Hal ini sempat jadi sumber keretakan hubungan dengan anggota band, sebagai terangkum dalam film dokumenter "Days of Our Life".

Andai mengisolasi pada arc tersebut, mungkin film ini bisa lebih baik. Lebih berkembang dan menceritakan hubungan yang naik turun, pengembangan karakter, dan sebagainya.

Arah dan pengembangan karakter memang absen di sini. Ini jelas jadi celah kala kita bicara dalam ranah film biopik yang sudah berbahan cerita faktual. Di ranah tersebut, film ini mengalir begitu saja seperti tengah membaca sepenggal summary biografi seseorang di Wikipedia. Celakanya, penggalan tersebut tidak sepenuhnya akurat juga.

Keluar dari bioskop, orang akan membicarakan kenangan terhadap Freddie Mercury, hebatnya konser Live Aid, dan penampilan Rami Malek. Beberapa lagi menyukai mendengarkan lagu-lagu Queen dengan full-blast, tata suara sekian point satu yang memanjakan kuping. Atau segelintir yang justru terpesona penampilan Queen (asli) memainkan Don’t Stop Me Now di kredit akhir.

Sisanya relatif akan berlalu, atau mungkin juga terkenang dari sisi yang tidak diharapkan.

Related

STICKY 1543382343168897365

Posting Komentar Default Comments

1 komentar

mbandah mengatakan...

buat saya yang cuma tahu sedikit soal queen, abis nonton film ini jadi tahu kalau ternyata Queen memang "sebesar itu". jadi tahu lagu -lagunya juga hehe


Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item