Pelajaran Lestari dari Desa



Akhir pekan lalu (Sabtu-Minggu, 24-25/11), saya berkesempatan untuk ikut dalam International Conference on Village Revitalization (ICVR). Hajatan yang diprakarsai oleh Spedagi Movement ini pada intinya membahas tentang memberdayakan potensi desa, sebagai arus kontra dari konsep urbansentris warisan era industrialisasi dulu.

Mengutip mas Singgih Kartono, penggagas Spedagi, kita mesti berani shortcut, tidak mengikuti jejak industrialisasi yang kini malah mulai ditinggalkan di negara maju. Jalur yang sudah pasti gagal, merugikan, dan sudah pernah dilalui negara lain tidak usah kita ambil. Dua yang prominen antara lain urbanisasi dan kerusakan lingkungan.

Saya, salah satunya, warga desa yang mengikuti arus utama dengan memburuh di perkotaan. Life skill saya, di bidang kreatif, dulu seperti tidak bisa hidup di desa. Tetapi sekarang ini, fenomenanya justru mulai membalik. Dengan konektivitas, banyak kini pekerja kreatif yang undur diri dari kota, membuat lebih banyak portfolio dari desa. Hebatnya lagi, skill mereka pada akhirnya digunakan juga di desa dan membantu melesatkan produk untuk punya nilai tawar lebih.

Tema tersebut menjadi materi dari seminar internasional yang diikuti juga pemateri dan peserta dari Jepang, India, serta Australia. Setelah rangkaian sesi pembuka, seminar paralel pertama dibuka dengan paparan arsitek asal Jepang, Mitsuhiro Tokuda, yang merestorasi bangunan-bangunan mangkrak di sub-urban. Ia alihfungsikan bangunan agar punya daya (punya value bisnis dan komunitas) agar bisa lestari. Hitungan tidak berhenti di sisi materi saja, tetapi aspek kebergunaan dan pemanfaatan komunal jadi kunci lestari.

Seminar paralel kedua (yang saya ikuti) adalah tentang desa Pujon Kidul di Kabupaten Malang. Kepala Desa Pujon Kidul, Udi Hartoko, yang menjadi pemateri mengingatkan potensi pembangunan desa, dari pendekatan yang berbeda, hingga potensi ke depan dengan meningkatnya atensi pemerintah (yang menganggarkan dana desa). Materinya mungkin akan sangat berguna buat para pemangku kebijakan. Termasuk posisi Kepala Desa yang kini sudah seperti Walikota untuk bisa mengatur dan memberdayakan wilayah dan masyarakatnya.  Saya pikir bisa mengambil pelajaran dari sisi momentum. The time is now.

Pemateri ketiga yang saya hadiri (ada 6 kelas, di tiga sesi) adalah desainer muda asal Kashmir, India, Burhanuddin Khatib. Situasinya adalah mencoba memberikan nilai lebih pada produk wilayahnya (yang memang sudah terkenal, seperti pashmina) tetapi pada kondisi masyarakat yang jadi kurang berdaya akibat konflik politik. Inisiatifnya adalah membawa lagi kesadaran mengenai aspek penunjang dalam melestarikan dan tetap menjaga produk Kashmir bernilai tinggi. Ia ingin menumbuhkan kesadaran kolektif bagi masyarakat mengenai hal ini. Untuk mencapainya, ia mendirikan Studio Kilab yang bisa digunakan untuk kolaborasi elemen masyarakat.

Sebelumnya, dari Rabu (21/11) malam sudah diadakan kegiatan full-programme berisi lokakarya dan seminar dengan pemateri lain.


Seminar mengambil venue di kebun bambu yang oleh warga Ngadiprono, Temanggung, disulap dari tempat pembuangan sampah menjadi ruang publik yang indah. Lokasi ini juga menjadi tuan rumah Pasar Papringan (tiap Ahad Pon dan Wage - dua mingguan) sebagai demonstrasi apa yang dibicarakan di seminar. Esoknya, peserta seminar melihat sendiri bagaimana Pasar Papringan Ngadiprono.

Pasar tersebut menjadi contoh nyata dari manifestasi “teori” yang dibicarakan dalam seminar. Bahwa dengan sentuhan kreativitas dan manajemen kiwari (hal yang dulu seperti eksklusif dimiliki urban), pasar bisa menjadi seksi dan eksotis sehingga menarik pengunjung. Masyarakat yang diberdayakan, bukan semata panggung pengusaha, memberikan interaksi menarik. Ada nilai-nilai kebijaksanaan lokal yang juga coba ditransfer bagi kami dan mungkin pengunjung pasar yang berasal dari kota.

Pemberdayaan manusia inilah yang kemudian menjadi PR eksklusif bagi tiap-tiap wilayah untuk bisa mengaplikasikan. Tantangannya akan beda, dan mengkopi konsep hanya dari wujud fisiknya hanya akan menjadi gimmick yang mungkin tak lestari setelah tren berlalu. Kelestarian ini yang menjadi kata kunci dan selalu diulang lantaran memang jadi aspek yang masih susah dibakukan. Aspek pemberdayaan manusianya menjadi kunci. Hal ini menjadi materi penutup seminar yang menghadirkan pemateri dari Ngadiprono (termasuk para pendukung kegiatan seperti arsitek dan budayawan). Mereka berkisah mengenai ide, inisiatif, dan manfaat dari pemberdayaan masyarakat melalui elemen kreatif.



Saya mengajak ayah pada penutupan kegiatan full programme (seminar ekstensif 2 hari 3 malam) berupa sendratari di pelataran Ngadiprono. Istri saya kebetulan ikut full programme dan mengundang kami untuk menyaksikan gelaran seni tersebut. Acara memanfaatkan lahan lapangan yang disulap menjadi ampiteater oleh arsitek Andra Matin. Yang dipentaskan adalah teatrikal tari mengenai asal-usul dusun Ngadiprono. Kolaborasi elemen kreatif dan masyarakat desa.

Kami melihat elemen masyarakat yang serentak bergerak, mengingatkan ayah pada suatu ketika sebuah LSM mengajukan proposal pengembangan desa wisata. Ayah, waktu itu sebagai kepala pemerintahan kabupaten, mendukung proposal LSM dan menawarkan bantuan pemerintah.

“Apakah bisa kita dukung dengan mengaspal jalan, atau membangunkan toilet umum?” kata ayah.

“Ini tipikal pemerintah ya Pak,” kata orang dari LSM. “Selalu berpikir menyelesaikan dari hal fisik, pembangunan dan infrastruktur. Bagi kami yang penting memberdayakan masyarakatnya dulu. Manusianya yang utama.”

Jawaban yang tak terduga dari pihak LSM itu menginspirasi ayah. Sejalan dengan nafas ICVR yang pada gilirannya menginspirasi saya. Banyak ide, inisiatif, inspirasi, dan motivasi dari agenda akhir pekan lalu. Tidak, saya belum berpikir kembali ke desa (dulu). Yang utama adalah memberdayakan apa yang kita punya. Di kota dan desa sebetulnya sama saja. Dengan konektivitas, kini bisa menyerap hal baik dari desa untuk kota, sebagaimana sebaliknya.

Tetapi berangan bisa kembali ke kampung halaman, memberdayakan apa yang kita cintai dengan tulus akan selalu menjadi impian. Kini tidak lagi jadi utopia, tetapi tinggal menunggu realisasinya. Mau kapan?

PS: Album foto bisa dilihat di Facebook

Related

village 3717282147204725714

Posting Komentar Default Comments

4 komentar

mbandah mengatakan...

udah lama pengen berkunjung ke pasar papringan tapi belum jadi - jadi hehe :-D

Helman Taofani mengatakan...

Sekarang banyak organized tour-nya kok mba. Lebih gampang secara transportasinya.

mbandah mengatakan...

wah iya ya? semoga ada kesempatan buat ke sana. oh ya, temen2 di Semarang juga sedang merintis Pasar Karetan dan juga Pasar Semarangan Tinjomoyo yang sepertinya terinspirasi dari Pasar Papringan ini mas hehe

selera sari nusantara mengatakan...

saya baca tulisan ini dua kali. menggigit. salam.

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item