Review Serial The Punisher
https://www.helmantaofani.com/2019/01/review-serial-punisher.html
Karakter anti-hero, The Punisher, barangkali merupakan salah satu franchise komik Marvel yang cukup dikenal. Beberapa versi adaptasi televisi dan layar lebar sempat populer. Kaos atau kostum tengkorak yang dikenakannya juga kerap digunakan sebagai referensi budaya pop.
Nah, beberapa tahun belakangan, The Punisher kembali jadi perbincangan kala dibuat sebagai serial di Netflix. Tahun ini (2019), mereka merilis season keduanya. Setelah beberapa purnama kurang tidur, akhirnya selesai juga maraton menonton The Punisher hingga akhir season keduanya.
Siapa sih, The Punisher?
Bagi yang awam, karakter The Punisher ini merupakan tokoh abu-abu yang kadang jadi pahlawan atau villain (tokoh jahat) di komik Marvel, terutama Spider-Man. Dalam biografi komikalnya, The Punisher ini adalah eks tentara Amerika yang bernama Frank Castle. Ia kehilangan keluarganya yang terbunuh oleh kelompok mafia Amerika.
Dendam untuk menghabisi kelompok yang dianggapnya bertanggung-jawab terhadap kematian keluarganya ini membuat Castle melakukan aksi. Ia membunuhi orang-orang yang ada dalam organisasi kriminal, mengambil kostum dengan logo tengkorak, dan menyebut dirinya The Punisher (Sang Penghukum).
Latar dan modus operandinya (yang bisa membunuh lawan) ini lumayan sering diadaptasi ke berbagai versi. Ray Stevenson mengambil peran versi layar lebar terakhir lewat film Punsiher: War Zone yang diproduksi pada 2008. Selanjutnya karkter ini tenggelam dan baru naik ketika Netflix memperkenalkan lagi sosok Frank Castle.
Serial The Punisher
The Punisher versi Netflix yang diperankan Jon Bernthal ini sangat menarik perhatian ketika muncul muncul sebagai salah satu arc (apa ya terjemahannya, bagian cerita?) Daredevil (serial produksi Netflix juga) season 2. Arc Punisher a.k.a Frank Castle ini cukup lengkap, dari origin story hingga pengembangan karakter.
Ceritanya kurang lebih sama dengan biografi umum Castle versi komik. Ia eks marinir yang kemudian menjadi vigilante, membunuhi bandit dan anggota mafia, terutama yang berkaitan dengan tewasnya istri dan kedua anak Castle.
Castle bersua takdir dengan Matt Murdock (Daredevil, diperankan Charlie Cox), dan keduanya lantas terlibat diskusi mengenai filosofi yang diambil sebagai vigilante (pembasmi kejahatan ilegal).
Jon Bernthal sangat bagus di situ, dan Punsiher jadi karakter yang disenangi. Netflix aware mengenai hal ini, sehingga dibuatkah spin off serialnya sendiri mulai 2017.
Season 1
Season 1 masih merupakan engembangan dari kemunculan Punisher di Daredevil. Meski ceritanya “paripurna" di Daredevil, pada musim perdana ini karakter Castle lebih dielaborasi lagi. Latar militernya banyak diulik, dan angle-nya jadi mirip film-film perang kiwari. Antara trauma perang yang pointless (seperti American Sniper, Jarhead, The Hurt Locker) atau skandal di medan laga yang melibatkan konspirasi militer.
Storyline season pertama ini berkutat pada Castle yang ingin “clean slate”, membereskan hal-hal yang memicu trauma. Baik dari sisi yang membuat keluarganya terbunuh maupun “dosanya” di militer. Karakter pendukung yang muncul antara lain Dinah Madani (Amber Rose Revah), yang motifnya menggerakkan cerita. Juga muncul Micro (Ebon Moss-Bachrach), yang namanya sempat muncul di CD pada serial Daredevil.
Karena menggali latar, ada kalanya season 1 ini relatif lambat alurnya. Banyak aspek drama dan psikis yang dielaborasi. Mereka menyisip di formula aksi yang repetitif sebetulnya. Berantem, bonyok, diobati, repeat.
Namun, seperti halnya yang memesona di serial Daredevil, adegan aksi ini memang yang dinanti. Kapasitas Frank untuk menggunakan berbagai cara yang dikenalnya di medan perang dalam menghabisi lawannya memang menarik. Dari hand-in-hand combat hingga sniper.
Arc yang muncul di season ini, selain cerita Frank dan Dinah Madani tadi, juga muncul karakter Billy Russo (Ben Barnes). Sulit mengelaborasi tanpa menyebut spoiler, tetapi intinya di season 1 ini cukup menarik karena arc-nya saling terhubung dengan sederhana.
Season 2
Sukses dengan season 1, The Punisher pada awal tahun ini muncul lagi dengan serial baru. Season 2 membawa ke ekspektasi tinggi para penggemar mengenai petualangan Frank Castle. Sayangnya, hasilnya agak sedikit turun dibanding serial sebelumnya. Padahal kemungkinan ini merupakan serial terakhir The Punisher di Netflix.
Kemungkinan ini pula yang membuat alur di season 2 ini seperti plot untuk dua musim penayangan yang ditabrakkan menjadi satu. Bila di season pertama berbagai arc yang ada berkelindan menjadi satu penyelesaian, maka di season ini tampak berbeda.
Terdapat dua arc utama di season kedua. Yang pertama adalah arc karakter bernama Amy (Giorgia Whigham) yang dikejar pembunuh sewaan seorang tokoh konservatif. Karakter pembunuh relijius, John Pilgrim (Josh Stewart), yang nyaris psikopatis ini mungkin bisa dipadankan dengan karakter Silas di film Da Vinci Code (diperankan Paul Bettany). Potensi arc ini cukup menarik untuk menghadirkan lawan imbang Frank Castle.
Sayangnya, arc ini tergangggu dengan munculnya plotline “sisa” dari season 1, yaitu bangkitnya karakter Jigsaw dan Dinah Madani yang belum selesai. Munculnya plotline ini berebut atensi dengan arc yang lain. Saya menduga, plotline Jigsaw ini materi untuk season 3 yang akhirnya dimampatkan karena Netflix ingin memotong serial Punisher dengan dua season saja.
Masing-masing arc tidak berkembang. Penonton masih jenuh dengan storyline di season 1 yang membuat munculnya kembali Dinah Madani dan Billy Russo jadi scene yang kurang diharapkan. Karakter-karakter di arc yang baru justru tidak dikembangkan, padahal berpotensi jadi menarik dengan latar liberal versus konservatif di Amerika.
Penyelesaian kedua arc ini tidak optimal, dan lucunya juga tidak saling bertemu. Sehingga kita seperti melihat dua film yang berbeda. Sayang memang, ketika ekspektasi meninggi karena kualitas Daredevil season 3 yang sangat baik, justru tidak diikuti oleh The Punisher.
Bernthal yang Dirindukan
Hal-hal yang masih membuat penonton bertahan mungkin Jon Bernthal yang masih membawakan karakter Punisher dengan bagus. Selain itu mungkin formula "berantem, bonyok, diobati, repeat" itu tadi. Meski demikian, aspek aksi di season ini tidak secanggih origin-nya di serial Daredevil atau minimal season 1 yang mengelaborasi segala kemampuan Frank Castle dalam medan pertempuran.
Meski tipis kemungkinan serial ini akan melihat musim ketiganya, saya masih berharap bisa melihat Jon Bernthal lagi sebagai Frank Castle. Minimal bila Netflix hanya mempertahankan Daredevil, karakter The Punisher masih bisa masuk. Atau mungkin ke level yang lebih dalam, masuk ke MCU pasca Avengers yang konon akan dibangun di sekeliling Spider-Man.
Namun, muatan kekerasan dan formula aksi serial ini agak susah bergabung bersama universe Marvel dan Disney. Nama terakhir tampak fokus mengembangkan universe yang lebih terang dan muda, berada di seputar Spider-Man versi Tom Holland. Jadi, harapan menyaksikan Frank Castle ini sepertinya suram bila bergantung pada kesepakatan Netflix dan Marvel yang tidak kunjung menemui titik terang.
Foto-foto: Netflix
Posting Komentar