Seminggu di Thailand: Geliat Retail Posmo di Hari Keempat


Pada hari keempat di Bangkok, kami akan menjelajah kota dengan gaya koper. Tinggal di hotel berbintang dan mengunjungi distrik kelas atas. Sebagaimana yang dijelaskan pada catatan pendahulu, kami berpindah homebase, dari hostel ke serviced hotel.

  • Geliat Retail Posmo

Sebelumnya, apa beda utama antara serviced hotel dan hostel?

Faktor paling krusial adalah budget, tentu saja. Yang kedua adalah lokasi. Hostel biasanya terdapat di daerah-daerah ramai, kawasan wisata, yang tentunya di sekitarnya sudah terdapat banyak sarana penunjang. Dari tempat makan, minimarket, transport mudah, dan sebagainya. So, bila memutuskan untuk berbasis lokasi tertentu ketika pelesir, hostel bisa jadi opsi dibanding harus menginap di hotel pada lokasi sama. Harganya sudah pasti jauh beda.

Hostel kini juga sudah sangat bagus dan manajemennya rapi. Seperti hostel yang kami tempati di malam pertama dan kedua, Rezt. Bedanya, di hostel, selain tidur dan mandi, apa-apanya harus mempersiapkan sendiri. Sarapan, laundry, snack dan minuman dingin misalnya. TV saja harus berbagi. Hostel ideal apabila kita menerapkan konsep ekskursi pada pelesir, yang menjadikan basecamp sebagai titik istirahat saja.

Untuk staycation, sebaiknya menggunakan (full) serviced hotel, dengan standar kebintangannya yang mempengaruhi fasilitas apa saja di dalamnya. Pada konsep ini, lokasi menjadi tidak terlalu relevan lagi sebetulnya. Yang penting jangkauan mobilitas saja. Aspek inilah yang menjadi pertimbangan kami untuk berganti genre di hari keempat di Thailand. Aktivitas yang lebih tone down, masih jelajah kota tetapi tidak harus dengan itinerari yang ketat.

Baca juga: Pilihan Genre Pelesir.

Hotel yang kami tempati adalah Mercure di daerah Makassan. Hotel ini menghadap jalan raya dan jalur kereta LRT Bandara (Airport Link). Lokasinya sekitar 600 meter dari stasiun Makassan pada jaringan LRT Bandara. Selain itu, hotel juga berjarak 800-an meter dari stasiun MRT Petchaburi. Samping kiri dan kanan hotel praktis tidak ada apa-apa. Di belakangnya adalah jalan Petchaburi yang cukup dinamis (banyak tempat makan dan minimarket). Tetapi kami harus memutar untuk mengakses jalan tersebut. All in all, hotel ini didesain untuk staycation.

Kami mendapatkan fasilitas sarapan, mini bar, TV, dan kolam renang yang menghadap pemandangan kota Bangkok. Jadi, pada hari keempat, aktivitas kami dimulai dengan bermalas-malasan di hotel. Rencananya, karena saat itu adalah hari Minggu, pada tengah hari kami akan menyusuri skena retail produk organik artisan di Bangkok. Ya, ini adalah itinerari Gina, istri saya, yang punya ceruk usaha serupa di Jakarta. Awal mula aktivitas akan dimulai di Chatuchak.

Lho, katanya menghindari obyek turis?

Fakta bahwa Chatuchak hanya ramai saat weekend membuat saya pensaran juga seperti apa "marketplace" terbesar di Bangkok ini. Tetapi fakta yang lebih penting adalah untuk menjangkau daerah Lat Phrao yang menjadi itinerari Gina, bisa dengan mudah juga dari Chatuchak karena sama-sama di kawasan utara Bangkok. Selain itu, ke Chatuchak juga mudah diakses dari jalur MRT.

Ekskursi Retailer Posmo


Tengah hari kami sudah berada di Chatuchak, dan memutuskan untuk tidak berlama-lama di situ. Pasar cukup ramai, tetapi isinya sebetulnya bisa ditebak dan senada dengan ekspektasi. Di Bangkok, model marketplace atau retailer tradisional dan modern memang menjadi daya tarik. Ada pasar apung di Amphawa atau Damnoen Saduak sebagai gambaran retailer tradisional, disamping night market atau weekend market seperti Chatuchak, Pratunam, dan Asiatique.

Mal sebagai retailer modern juga sangat terkenal, di hari kedua kami sudah sempat menjelajahinya. Hari ini kami berencana melihat retailer posmodern berupa revitalisasi kios-kios dalam bentuk toko independen di pinggir jalan atau lokasi khusus. Biasanya, pemilik retailer posmodern ini entitas usaha menengah yang tengah mengembangkan bisnisnya. Kehadiran mereka berpotensi memberi warna pada daerahnya. Warga Jakarta bisa membayangkan seperti revitalisasi Pasar Santa yang sempat terkenal dulu. Atau seperti area Cipete yang kini dipenuhi spot kuliner dan kopi.

Tema tersebut menjadi inti itinerari kami, meski mengawali dari Chatuchak. Dari sana, kami memesan Grab untuk menuju Organic Supply di Nak Niwat Road, Lat Phrao. Ongkosnya sekitar 120 Baht. Organic Supply adalah retailer posmo yang menjual barang-barang organik dan natural (pangan, kosmetik, dan sebagainya) dengan konsep sustainable. Di dalamnya juga terdapat kafe.

Lokasi Organic Supply ini adalah di distrik yang tidak terjangkau jaringan BTS maupun LRT. Lokasinya di timur laut kota, dan merupakan distrik hunian kelas menengah. Akses mobilitas strategis terdekatnya adalah jalan tol. Jadi pilihan itinerari ini memang spesifik dan lebih lekas dijangkau menggunakan Grab atau taksi. Moda itu juga yang akan menghubungkan kami dengan destinasi selanjutnya.

Dari Lat Phrao kami akan menuju Thonglor. Distrik kelas atas yang jadi tempat tinggal ekspatriat. Macam Kemang kalau di Jakarta. Di sana, sesuai rekomendai beberapa kawan, kami akan melihat community hub bernama The Commons. Tempat ini semacam mal kecil, didesain dengan konsep terbuka dan mempunyai arsitektur yang menarik. Atraksi di dalamnya kebanyakan merupakan tempat jajan, termasuk Roast, salah satu chainstore kopi yang terkenal di Bangkok dengan gaya Melbourne-nya. Mirip Common Grounds kalau di Jakarta.

Saya sempat mencoba kopi di sana, dan sebetulnya ingin membeli biji kopi hasil roasting mereka (yang diberi label Roots), tapi harganya cukup mahal (550 Baht untuk 200 gram). Akhirnya hanya mencicipi cappuccino yang juga lumayan overpriced (120 Baht - bandingkan dengan Gallery Drip di hari kedua yang hanya membandrol separuhnya).


Dari The Commons, kami berjalan kaki sejauh 850 meter untuk ke destinasi akhir hari, yaitu Patom Organic Living. Tempat ini adalah urban garden sekaligus kafe dan outlet penjualan barang-barang organik. Lokasinya "nyempil" di tengah-tengah pemukiman elit, dan relatif tidak banyak orang lokal yang tahu. Setiba di sana, tempatnya dipenuhi dengan ekspat (atau turis), kebanyakan dari Jepang dan Korea. Tempat ini memang populer dan direkomendasikan di berbagai referensi.

Skena retail posmodern di Bangkok harus dikatakan lebih berkembang dibanding Jakarta. Meskipun kini kedai-kedai yang oke juga mulai keluar mal di Jakarta, persebarannya belum terlalu bisa menghidupi satu distrik. Barangkali yang sudah mapan macam Kemang, Cipete, dan beberapa tempat lain. Di Bangkok, skenanya sudah lebih banyak dan menjadikan menyusuri kota ini lebih dinamis dibanding harus berhenti di mal atau marketplace sentralistik saja.

Di sekitar Organic Supply misalnya, retail lokal juga tumbuh. Beberapa kios thrift store, kedai kopi, butik baju, dan outlet artisan lain menjamur dan mewarnai jalan Nak Niwat. Di Thonglor sendiri, menjelajah distrik tersebut juga lebih seru, karena bisa saja bertemu dengan "hidden paradise" macam Patom di tengah pemukiman penduduk. Atau di sepanjang jalan bila rajin menengok bisa menjumpai restoran yang masuk dalam Michelin Guide.

Bangkok tengah tumbuh, dan skalanya yang masif menjadikannya lebih seru untuk ditelusuri dibanding berpusat pada mal serta pusat perbelanjaan.

Baca juga: Hari pertama di Thailand.

Seperti biasa, sebelum petang kami memutuskan kembali ke hotel. Esok adalah hari terakhir kami di Bangkok sebelum menuju ke utara untuk ke kota yang disebut sebagai capital of creativity-nya Thailand.

Related

travelogue 1080256826491113481

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item