Deitas Diego dan Diabolikal Maradona, Masianello Abad XX


Dua sosok yang berbeda menjadi lakon dalam film dokumenter mengenai Maradona yang disutradarai oleh Asif Kapadia. Film produksi HBO Sports itu membahas mengenai kiprah Diego selama 6 tahun di Napoli. Berikut ini adalah prosa impresi atas film tersebut.

"Apakah Maradona tahu bahwa Camorra punya segalanya di Napoli?"

Kutipan tersebut adalah lontaran pertanyaan pertama oleh wartawan yang dilakukan pada saat jumpa pers perkenalan Diego Armando Maradona sebagai pemain Napoli. Maradona, tahun 1984 waktu itu, didatangkan dari Barcelona dengan embel-embel pemain termahal dunia. Presiden Napoli, Corrado Ferlaino, dikritik karena insensitif terhadap kondisi kota terbesar Italia Selatan, sekaligus wilayah termiskin Italia tersebut.

Oleh karena itu, Ferlaino pula yang akhirnya menjawab pertanyaan mengenai Camorra di atas. Bahwa uang yang dikeluarkannya dengan susah payah adalah upaya untuk memberi bahagia ke rakyat Napoli. Iapun mengusir wartawan yang dianggapnya menuduh keterlibatan Camorra terhadap transfer Maradona.

Masaniello Abad XX

Dalam hal ini, dua belah pihak ternyata terbukti benar. Dari sisi Ferlaino: iya, Maradona membawa limpahan rezeki bagi salah satu kota dengan tingkat kriminalitas tertinggi di Italia. Sudah puluhan tahun mereka lekat dengan stigma kemiskinan. Orang utara Italia sering menyebut orang selatan sebagai kaum kudisan dan biang kolera.

Maradona, disebut salah satu wartawan Italia sebagai Masaniello. Tokoh yang memimpin pemberontakan pengemis pada kerajaan Spanyol yang saat itu menguasai wilayah selatan Italia.

Ia (Maradona) memang memimpin satu pemberontakan terhadap status quo. Pada definisi letterlijk, ia menggiring Napoli ke kebesarannya nyaris seorang diri. Ini yang mematronkan kisahnya sebagai pebola terakbar yang pernah hidup sepanjang sejarah.

Leo Messi tidak mungkin tiba-tiba memimpin revolusi di Rayo Vallecano misalnya. Cristiano Ronaldo juga sepertinya singgah ke klub-klub yang memang searah angin dengan capaian gelar. Demikian juga dengan Pele yang kerap disandingkan dengan Maradona sebagai pemain terbaik sepanjang masa. Tapi Pele tidak berprestasi di luar Santos.

Maradona, Sisi Diabolikal

Maradona membawa dua scudetti dan satu tropi kontinental pada enam tahun kariernya di Napoli. Seperti Masianello pula, nasibnya berakhir tragis. Sebagian, kata Fernando Signorini, pelatih fisik pribadinya, ya karena ia menyandang nama Maradona.

Signorini berkata bahwa ada dua personalita pada pemenang Piala Dunia 1986 ini. Yang pertama adalah Diego, anak yang lahir di Via Fiorito, kampung kumuh di Buenos Aires. Produk keluarga yang sangat menyayanginya (anak kelima, sekaligus anak laki-laki satu-satunya). Ia menikahi "teenage sweetheart"-nya, Claudia Villafane, dan masih menafkahi orangtua serta kakak-kakaknya.

Sisi satunya lagi adalah Maradona. Sosok glamor, personifikasi dari setan. Personalita yang tiba-tiba membalik sikapnya terhadap uang. Ia bilang bahwa bermain bola itu yang penting bahagia, sehingga sepertinya tidak akan pindah dari Boca Juniors karena uang.

Lalu tawaran dari Barcelona itu datang. Esoknya Maradona sudah mengenakan pakaian bulu mahal untuk merayakannya. Ya, semudah itu personalita berubah jadi Maradona. Gemar terhadap ekstravaganza yang kemudian mengenalkannya ke Carmine Giuliano, bos Camorra yang jadi tetangganya di Napoli.

Inilah Maradona yang kemudian mempunyai anak dengan Cristina Sinagra. Maradona juga yang membiarkan dirinya masuk ke dalam adiksi kokain yang di-suplai oleh Camorra. Kebiasaan yang berlarut-larut sampai peristiwa dirinya hampir mati pada tahun 2005 dengan kondisi badan sudah ekstrim obesitas.

Persekusi

Tetapi tidak sepenuhnya salah Maradona juga. Ada bagian lain, yaitu kelicikan ala Italia yang membuat kariernya di Serie A mandeg. Ia tidak membantu dirinya sendiri ketika terkesan "mengadu" nasionalisme dengan semangat kedaerahan kala Italia bersua Argentina di semifinal Piala Dunia 1990. Pertandingan tersebut dihelat di San Paolo, kandang Napoli yang juga rumah Maradona.

Celakanya lagi, Maradona menjadi salah satu eksekutor penentu yang menggagalkan Italia untuk masuk ke final. Hasilnya, nama Maradona (tiga bulan berselang) nangkring di peringkat teratas orang paling dibenci di Italia. Bahkan orang Napoli juga mulai ada yang anti terhadap sosok yang sebelumnya dianggap dewa tersebut.

Italia kemudian melakukan penyadapan telepon yang berhasil membuktikan adiksi Diego atas kokain. Penyadapan ini disusul dengan tes doping mendadak yang membuktikan substansi kokain ada dalam sampel urin Maradona. Ia dihukum 2 tahun tidak boleh bermain.

Situasi hanya bertambah buruk ketika Maradona memutuskan pulang kampung. Dalam tiga hari, si "Anak Mas" ini sudah dicokok polisi lantaran kedapatan sedang berpesta narkoba di Buenos Aires. Momentum ini rupanya menjadi titik akhir karier Maradona. Karena, ketika mulai bermain lagi, ia tersandung masalah yang sama di Piala Dunia 1994.

Nasib Maradona seperti Masianello yang dieksekusi keji oleh rezim penguasa saat itu. Kepala dan badannya dipisahkan, lalu diarak dan dikubur di tempat yang berbeda. Tetapi Masianello sangat dicintai rakyat, sehingga usai eksekusi, publik menggali kubur Masainello, lalu menyatukan dan memberi penghormatan yang layak. Ia menjadi obyek dan inspirasi bagi puisi serta karya seni di Napoli selama berabad-abad.

Revolusi dan Memori

Nasib yang membawa ke garis paralel dengan Diego. "Aku tak mau bernasib tragis seperti Masianello," kata Diego usai pertandingan Argentina melawan Italia di Piala Dunia 1990. Ia tak mati, tetapi tetap kembali masuk dalam memori orang-orang Napoli.

Pada dasarnya, Diego pernah memimpin ke revolusi di era mereka melawan hegemoni utara. Wilayah yang seolah mendapatkan privilese lantaran Vittorio Emmanuele, penyatu Italia, adalah raja yang menguasai Piedmont.

Ironisnya, klub yang sangat dibenci Maradona, adalah kebanggan Piedmont. Ia mengajarkan ke anaknya, Giannina, untuk berkata "Juve, Juve, vaffanculo."

Juventus adalah klub dari Turin, ibukota provinsi Piedmont.

Lebih ironis pula bila momentum Maradona kembali ke Napoli setelah 14 tahun adalah untuk merayakan pensiunnya legenda Juventus, Ciro Ferrara. Menyaksikan satu stadion (San Paolo) kembali serempak menyantikan chant fenomenal mereka.

"Oh mamma mamma mamma, oh mamma mamma mamma,
sai perche mi batte il corazon?

Ho visto Maradona. Ho visto Maradona.
Oh mamma, inamorato sono."

Wahai bunda, tahukah kenapa hatiku berdegup? Aku melihat Maradona. Dan bunda, aku terpana.

Diego dan Deitas

Lagu yang mengingatkan lagi pada testimonial Ferrara sendiri ketika ia masih menjadi pemain Napoli. "Aku tidak pernah melihat sosok yang diabolikal darinya. Bagiku ia adalah Diego, orang yang diberkati dengan banyak keindahan-keindahan."

Pada perayaan gelar Piala UEFA 1989, Diego mengingatkan kepada pers untuk merayakan Ferrara. Salah satu gol penentu kemenangan Napoli saat itu berasal dari sontekan Ferrara. Ia menyambar umpan yang dilesatkan oleh, tentu saja, Diego.

Bagi Ferrara, ia hanya melihat Diego. Bukan Maradona. Atau mungkin keduanya, dan yang ia putuskan untuk dikenang adalah Diego.

Publik Napoli saat ini, rupanya juga masih mengenang Diego dalam berbagai altar pemujaan. Paling gres, wajah "sang tuhan" ini muncul sebagai mural di apartemen-apartemen kota Napoli. Meneruskan kenangan yang membuat spanduk besar di pemakaman kota Napoli dipasang ketika klub itu meraih scudetto pertama karena Diego (1987).

"E non sanno che se so perso," bunyi spanduk tersebut. Artinya kurang lebih, para penghuni makam itu tidak tahu apa yang mereka lewatkan (scudetto).

Sukses Diego dan Napoli menjadi kebanggan generasi saat itu yang akan senantiasa dikenang. Menjadi folklor yang diturunkan ke anak-anak cucu. Bahwa pada suatu ketika, Santo Gennaro (patron Napoli) pernah turun memberkati kota mereka dalam wujud pesepakbola bocel asal Argentina yang membawa pesan enkripsi deitas (ketuhanan).

Diego, pengena nomor 10.

D10.

Related

STICKY 3466696092895201958

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item