Review Film Ford v Ferrari: Empati dan Emosi untuk Ken Miles


Kita semua adalah Ken Miles.

Miles, afisionado otomotif. Mulai beranjak ke usia mapan, ketika “struggle is real”, dan pilihan untuk bersikap realistis mulai mengikis mimpi. Ia bermimpi ingin membangun mobil yang dikendarai sebagai nomor wahid di dunia. Di sisi lain, realitas menyajikan dirinya dalam bisnis bengkel dan harus menghidupi keluarganya.

Miles, cinta dengan dunianya. Ia paham seluk beluk kendaraan. Dari partikel terkecil di dalamnya (sesederhana sebuah pasak), hingga bagaimana mendengar “rintihan” dari mobil yang dikendarainya. Wujud bekerja karena passion, labor of love, hal-hal yang kita semua (pekerja kiwari) rindukan.

Ken Miles (Christian Bale) menjadi protagonis dalam film baru besutan James Mangold, “Ford v Ferrari”. Menyimak judulnya, iya, film ini berkisah mengenai dua mogul otomotif dunia tersebut. Sebetulnya membawa alegori yang menarik juga.

Alegori Dua Sisi

Ford adalah lambang industrialisasi. Revolusi yang dibawa Henry Ford membawa kemajuan meroket bagi Amerika Serikat. Berikut implikasi kapitalisme, produksi massal, dan bangunan-bangunan ekonomi dunia yang kita kenal sampai sekarang. Produknya adalah mobil massal, standar, dan digunakan banyak orang.

Sementara Ferrari adalah artisan. Mobil yang dibuat dengan tenaga manusia. Dalam jumlah terbatas, semuanya merupakan work of art. Ferrari tidak berkontribusi langsung dalam bangunan dunia makro. Tetapi kehadirannya jelas memberi warna dan pesona, seperti halnya benda seni dan sastra.

Ford v Ferrari berbicara kontradiksi itu. Lewat karakter Ken Miles yang mewakili sisi artisan, terdampar dalam dunia yang keliru ketika ia direkrut oleh Carroll Shellby (Matt Damon) untuk bergabung dengan Ford. Mencoba melawan hegemoni Ferrari dalam balapan Le Mans 24 Jam. Miles dan Shellby membawa etos yang sebetulnya mirip dengan Ferrari, dan harus berhadapan dengan korporasi masif Ford.

Ford bicara dalam banyak muka. Wujud sang Deuce, Henry Ford II (cucu pendiri Ford) yang diperankan dengan apik oleh Tracy Letts, adalah wajah utama. Sebagaimana korporasi, wajahnya akan berubah ketika ke bawah, dengan ambisi masing-masing personil dalam struktur yang rumit. Di antaranya melewati Leo Beebe (Josh Lucas), eksekutif brengsek yang ironisnya memang selalu ada dalam struktur korporasi sampai sekarang.

Miles dan Shellby harus mendapati keputusan-keputusan yang tidak sesuai dengan idealisme mereka. Hanya kecintaan mereka terhadap otomotif yang membuat keduanya bertahan. Antara artisan dan korporasi menjadikan temanya masih relevan hingga hari ini meski film mengambil setting tahun 1960-an. Ken Miles, Carroll Shellby, dan karakter lain yang ada dalam film adalah karakter nyata yang memang mewarnai sejarah otomotif dunia.

Dari perspektif lain, bisa saja yang masuk adalah bagaimana Ford mencoba menandingi status quo, sebagai pabrikan Amerika yang berkompetisi di Eropa. Namun, menjelaskan juga etos berbeda antara dua kontinen yang dipisah Atlantik itu dalam banyak hal hingga sekarang.

Apresiasi Sinematik

Seperti halnya film bertema balapan, alur utama relatif mudah diduga. Apalagi bila kita memperhatikan atau kenal dengan kejadian sesungguhnya pada balapan Le Mans di dekade 1960-an. Mangold tetap mempertahankan formula film balap yang membuat kita duduk tegang di kursi, lalu bersorak kala pembalap masuk ke garis finish.

Namun, yang menjadikan film ini kuat adalah mengenai dialektika tema di atas. Mengenai kapitalisasi dan humanisme, korporasi melawan artisan. Uang melawan ide.

Banyak gambaran-gambaran tersirat dan tersurat untuk memberikan kontradiksi tersebut. Misalnya seperti Shellby yang mengamati surat tembusan untuk Deuce harus melewati berbagai lapis orang. Sementara, di Modena, Enzo Ferrari melihat dan membaca langsung kontrak yang disodorkan staff Ford, Lee Iacocca (Jon Bernthal).

Christian Bale bermain luar biasa sebagai Ken Miles. Bale bisa menghadirkan impresi mengapa karakternya ini dihindari oleh eksekutif Ford untuk tampil sebagai poster boy mereka. Bale pula yang bisa memberikan impresi bahwa Miles ini memang orang yang sangat total terhadap bidang yang dicintainya.

Di sekitar Bale, karakter lain juga bahu-membahu mengangkat sisi samping dari film balapan ini. Matt Damon, Jon Bernthal, dan Tracy Letts membawa karkater masing-masing untuk bisa dengan mudah diposisikan dalam jalan cerita. Sinematografi yang digawangi Phedon Papamichael juga berkali-kali memberikan gambar indah. Baik ketika balapan, maupun dalam pengambilan momen dramatis.

Empati dan Tautan Emosi

Daya tarik film ini jelas, kehadiran Matt Damon dan Christian Bale. Serta mungkin premis yang Anda harapkan dari judul “Ford v Ferrari”. Namun, di akhir hari, akan banyak tautan-tautan personal bagi penonton yang berhasil menemukan “jiwa” yang ingin disampaikan.

Kita melihat Ken Miles, yang dibawakan Christian Bale, sebagai sosok sehari-hari. Orang-orang yang menjalani kenyataan hidup untuk membunuh impian demi realisme pahit. Mengorbankan kecintaan untuk kepentingan yang lebih besar. Meski selalu sama, bertepuk sebelah tangan lantaran kuasa kapital-kapital yang menihilkan upaya manusia.

Dan seperti halnya yang menjadikan film Joker naik, masalah itu yang mungkin saya dan Anda hadapi. Kita (penonton) akan menemukan celah untuk berempati dan berpihak pada Ken Miles.

Karena kita semua adalah Ken Miles.

Related

STICKY 5711465711923542689

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item