Age of Samurai, Inspirasi Hideyoshi dari Eiji Yoshikawa


Netflix membangkitkan kenangan lama ketika mereka menyiarkan film semi-dokumenter “Age of Samurai: Battle for Japan”. Film yang mengisahkan Jepang di akhir abad ke-16 (Sengoku), dengan tiga tokoh sentral: Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi, dan Tokugawa Ieyasu.

Kilas balik ke hampir dua dekade silam, saya pertama menemukan buku seri Taiko di kos kakak. Epos karya Eiji Yoshikawa tersebut menceritakan mengenai biografi Toyotomi Hideyoshi yang sangat menginspirasi. Ia menjadi salah satu pilar unifikasi Jepang tanpa bekal darah biru. Kerja keras, ketekunan, dan kecerdikan yang membuat pangkatnya terus naik. Dari pembawa sandal, kepala dapur, terus naik hingga menjadi kepala negara.

Taiko karya Yoshikawa merupakan epos ringan yang menarik dibaca. Isinya menghibur, membawa kita melahap halaman demi halaman. Pada masanya, buku ini diterbitkan dalam 10 jilid paperback yang ringan. Gramedia kemudian merilis edisi omnibusnya yang besar dan tebal. Lebih dari 1000 halaman di ukuran buku kuarto.

Keunggulan Yoshikawa dalam bertutur adalah pengembangan karakter yang dibuat secara cermat. Selain Taiko, Yoshikawa juga menulis epos Musashi. Epos karyanya ini yang menjadi basis manga terkenal, Vagabond. Bagi pembacanya, tentu akan mengenal karakter Yoshikawa yang membangun karakter untuk mempersiapkan duel puncak antara Musashi dan Sasaki Kojiro di pulau Ganryu. Kisah mereka adalah folklor klasik yang dihapal masyarakat Jepang. Jadi, akhir ceritanya sudah lazim diketahui. Ruang atau teknik bercerita menjadi medium yang baik untuk dikembangkan.

Demikian pula dengan Taiko. Masyarakat Jepang (dan pemerhati sejarah) juga sudah familiar dengan jalan cerita Nobunaga, Hideyoshi, dan Ieyasu. Selain mereka bertiga, nama-nama lain yang menentukan sejarah Jepang juga tentunya sudah akrab dengan telinga. Bagaimana Yoshikawa membangun karakter ensembel, sembari tetap fokus pada biografi Hideyoshi adalah salah satu yang membuat Taiko menjadi sastra menonjol dari tahun 1930-an.

Pada masa itu, Jepang adalah kekuatan militer yang menggeliat di Asia Timur. Mereka bersiap untuk kemudian melakukan sejumlah invasi yang akan memantik Perang Dunia II. Epos Yoshikawa ini menjadi karya yang tepat pada masanya, dengan membawa semangat lama (bushido), kemauan berkorban (termasuk mengorbankan diri), dan bekerja keras. Banyak doktrin-doktrin yang pada masanya menginspirasi patriotisme, tetapi masih relevan juga untuk dikaitkan dengan era modern.

Kisah Hideyoshi sendiri sangat menginspirasi. Skema manajemen dan kepemimpinannya antara lain ditulis dalam buku Swordless Samurai oleh Kitami Masao. Buku ini menemukan saya pada tahun 2005, tepat ketika lulus kuliah dan bersiap masuk ke dunia kerja. Antara Taiko dan Swordless Samurai sepakat bahwa nasib orang bisa diubah dengan kerja keras dan kerja cerdas. Manajemen kepemimpinan Hideyoshi sebagai organisatoris dan strategis dengan mengutamakan hasil menjadi poin yang amat relevan dengan kebutuhan modern.

Visualisasi Era

Akrab dengan kisahnya, saya tentu menanti adaptasi sinematik dari babad Jepang era Sengoku ini. Buku Yoshikawa sendiri sebetulnya sangat “sinematik”, nyaris seperti skenario film yang bisa langsung diterjemahkan secara visual. Manga Vagabond setidaknya berhasil membawa teks ke visual. Sependek pengetahuan saya, tidak banyak film atau komik yang mengangkat mengenai epos Nobunaga, Hideyoshi, dan Ieyasu. Paling banyak mereka hanya muncul sebagai latar. Coba bandingkan dengan epos Tiga Kerajaan dari Tiongkok.

Untuk melengkapi imajinasi yang terbentuk dari membaca Taiko, saya juga membekali dengan berbagai pustaka sejarah Jepang. Terutama melihat (visualisasi) mengenai seperti apa pakaian, senjata, rumah, pada zamannya. Pengetahuan populer macam ini ternyata cukup penting untuk membedakan latar masa lalu Jepang yang muncul pada banyak adaptasi medium.

Kisah-kisah samurai dan pedang dalam film Akira Kurosawa misalnya (ia sempat mengangkat novella tulisan Yoshikawa, Rashomon, ke dalam film). Latar era yang menjadi basis komik Samurai X. Atau mungkin era Taisho yang diangkat dalam manga dan anime Demon Slayer. Mereka semua menggunakan pedang panjang (katana), kimono, tetapi mana yang era ini, mana yang era itu?

Age of Samurai dari Netflix, dengan posisinya sebagai film semi-dokumenter, menjadi referensi yang cukup baik untuk visualisasi era Sengoku. Baju zirah, senjata, dan gaya rambut berpijak pada dokumentasi sejarah yang cukup akurat. Namun untuk cerita, serial ini tidak menawarkan rujukan yang semenarik epos atau folklor-nya. Alur ceritanya meloncat-loncat, tidak runut secara linimasa. Model ini pernah dipakai juga dalam seri sebelumnya tentang Romawi.

Yang paling "mengesalkan" barangkali adalah komentar mengenai babad sejarah Jepang yang terlalu barat-sentris. Mungkin disesuaikan dengan kebutuhan audiens. Namun, dalam banyak hal, pesan-pesan insipiratif dari kisah Nobunaga, Hideyoshi, dan Ieyasu jadi tenggelam demi kebutuhan hiburan visual. Jelas ada konflik kepentingan scene apa yang akan ditampilkan dari sudut pandang sejarah dan hiburan.

Meski tidak sempurna, menonton serial ini tetap menyenangkan. Setidaknya (bagi saya) memantik lagi memori mengenai Taiko yang melegenda. Menggali lagi berbagai inspirasi dari kisah yang diabadikan dalam alegori klasik masyarakat Jepang.

Ada burung kenari yang tidak mau berkicau.

Nobunaga akan berkata: “Bunuh burungnya!”
Hideyoshi akan berkata: “Bujuk supaya burungnya berkicau!”
Ieyasu akan berkata: “Tunggu.”

Related

Taiko 5504139563166475662

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item