Safe Area Gorazde: Imaji Brutal Perang Bosnia Melalui Komik Jurnalistik


Lagu "Imagine" milik John Lennon membuka lagi kenangan terhadap konflik di Bosnia. Dan konflik di Bosnia membuka lagi kenangan terhadap sebuah buku.

Setiap Sabtu, dua minggu sekali, saya galau menentukan akan memilih buku apa yang direkomendasikan di Booking on Together. Wadah sharing rekomendasi buku yang tengah, ingin, atau sudah dibaca.

Demikian juga dengan Sabtu (11/12) ini, ketika sampai jam 2 siang saya masih ada di jalan. Acara sharing buku yang dibaca semestinya mulai jam 2. Saya meninggalkan pesan kepada penyelenggara, bahwa jam 3 sore saya (insyaallah) bisa join.

Sembari memikirkan buku apa, musik di ponsel yang tersambung ke kendaraan memutar lagu John Lennon, Imagine.

Imagine there’s no country, it isn’t hard to do.
Nothing to kill or die for.
No religion too.

Asosiasi yang muncul adalah imaji perang. Perang (umumnya) terkait batas kesepakatan maya yang bernama negara. Dan berkali-kali pula, unsur agama bisa menjadi salah satu yang memicunya. Pikiran saya, yang masih mencari buku apa untuk dipresentasikan, melayang ke Perang Bosnia medio 1990-an.

Safe Area Gorazde

Ada buku, berupa komik, berjudul Safe Area Gorazde yang saya punya. Komik (atau novel grafis) karya Joe Sacco tersebut bercerita mengenai kota Gorazde di Bosnia yang menjadi salah satu episentrum perang Serbia-Bosnia di tahun 1994.

Sacco sendiri merupakan wartawan slash komikus yang menghasilkan beberapa karya jurnalistik berwujud komik. Yang terkenal antara lain Palestina dan Catatan Kaki Gaza. Keduanya banyak direferensikan karena memuat subyek populer di negeri kita. Mengenai konflik Palestina-Israel.

Sementara Gorazde, yang versi Indonesianya (terbitan DAR Mizan) saya temukan di rak buku obral, berkisah mengenai subyek yang lebih low tune (bagi orang Indonesia). Yaitu perang di Balkan. Namun sesungguhnya Gorazde membawa kengerian yang lebih nyata lantaran konflik tersebut salah satu perang modern terbuka paling mutakhir yang terjadi di dunia.

Perang Balkan berlangsung sekitar setengah abad setelah beberapa negara bekas Yugoslavia menyatakan pecah. Yugoslavia sendiri merupakan negara federasi yang terdiri dari beberapa negara. Antara lain ada Slovenia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, Serbia, Montenegro, Kosovo, dan Macedonia.

Negara-negara tersebut disusun karena identitas etnisitas. Etnis Serbia, Kroasia, dan Bosnia adalah tiga terbesar (yang lain seperti etnis Albania di Kosovo). Mereka juga mewakili 3 kepercayaan mayoritas. Serbia dengan Kristen Ortodoks, Kroasia dengan Katolik, dan Bosnia yang mayoritas muslim.

Maka seperti kata Lennon di atas. Ada negara dan agama yang menjadi batas maya, kemudian berkembang sebagai sumber konflik. Pecahlah perang Balkan, diawali dengan separasi di 1991 dan diikuti perang sipil beberapa tahun setelahnya. Yang besar, perang Serbia-Bosnia.

Sebelum perang, wilayah eks Yugoslavia, terutama Bosnia, dihuni bauran etnis Serbia, Bosnia, dan Kroasia. Mereka hidup bertetangga seperti biasa. Sehingga ketika pecah perang, bauran tersebut dengan cepat menjalar jadi perang sipil. Di dalam Bosnia, etnis Serbia membentuk negara sendiri bernama Republik Serbia (berbeda dengan Serbia, negara eks Yugoslavia).

Republik Serbia segera mengonsolidasi sebagian wilayah yang mayoritas dihuni etnis Serbia sebagai daulat wilayah mereka. Mereka menginginkan bersatu dengan Serbia (negara). Perangpun dimulai. Kota seperti Gorazde yang berada di wilayah kantong mayoritas Serbia menjadi salah satu wilayah yang paling menderita. 

Gorazde diisolasi oleh tentara Republik Serbia. Jalur keluar-masuknya berupa satu jalan raya yang disebut dengan "jalur biru". Disebut demikian lantaran di jalan tersebut acap lewat kendaraan PBB yang simbolnya berwarna biru. Melalui jalur tersebut bantuan internasional, dan wartawan seperti Sacco masuk ke Gorazde. Jantung perang sipil Serbia-Bosnia.

Catatan Brutalnya Perang

Sacco masuk pada tahun 1996, usai perjanjian Daytona ditanda-tangani. Ia berada di momentum ujung konflik yang kemudian berakhir dengan terbentuknya negara Bosnia-Herzegovina yang terdiri dari Republik Serbia, Bosnia, dan Herzegovina. Pada kunjungannya, Sacco merekam berbagai testimoni warga terkait pengalaman mereka ketika perang sipil meletus pada 1994. Latar Sacco sebagai wartawan membantunya mengoleksi berbagai rekaman narasumber. Model yang kemudian digunakannya kembali untuk merekam kehidupan orang Palestina di karyanya yang lain.

Cerita Sacco adalah cerita mereka yang di lapisan bawah ketika perang. Bukan kisah Alija Izetbegovic, Radovan Karadzic, dan Slobodan Milosevic di ranah pucuk konflik yang menyita atensi dunia. Bukan juga kisah mengenai Ratko Mladic, jenderal perang Republik Serbia yang bertanggung jawab atas genosida di Srebrenica yang menewaskan puluhan ribu laki-laki Bosnia.

Sepilu kita melihat makam korban di Srebrenica, cerita di Gorazde juga tidak kalah tragis. Cerita Sacco adalah cerita Edin, seorang mekanik yang kemudian terpaksa mengungsi keluar dari wilayah kantong. Edin adalah umumnya warga Gorazde beretnis Bosnia. Cerita Sacco adalah cerita orang-orang yang kemudian melihat tetangga mereka menyembelih orang-orang Bosnia di jembatan sungai.

Sacco merekam brutalnya perang. Termasuk cerita Emil yang membujuk anaknya untuk “bermain” merangkak di kebun jeruk penuh lumpur selama tiga jam menuju sungai guna menghindari berondongan mortar tentara Republik Serbia. Sesampai di sungai, tenyata sedang banjir. Tapi tidak ada pilihan selain harus menghanyutkan diri sambil menjaga agar ia dan anaknya tidak tenggelam.

Bahasa visual Sacco bisa memperlihatkan getirnya kenangan warga Gorazde ketika dikorek lagi kejadian yang amat memilukan tersebut. Sehingga ketika mereka bersorak atas Kesepakatan Daytona, kehampaan segera menyergap karena begitu banyak yang mereka korbankan.

Safe Area Gorazde merupakan buku Sacco sebelum kemudian ia menulis Palestina. Komik ini memenangkan penghargaan Eisner pada 2001. Beberapa media merilis bahwa karya Sacco ini menjadi edukasi yang baik mengenai kisah sesungguhnya perang, terutama perang sipil.

Refleksi Rapuhnya Perdamaian

Dibandingkan dengan konflik Palestina, kisah perang Balkan ini sebetulnya sangat korelatif dengan kondisi Indonesia. Di Indonesia, bangunan negara kita juga berlandaskan etnik dan agama. Ada beberapa etnis dominan yang bila tidak hati-hati, bisa saja memupuk ke situasi yang kemudian melanda Yugoslavia.

Betapa rapuh kerukunan yang dibangun puluhan tahun, ketika ada pemantik berupa chauvinisme. Kebanggaan atas golongan yang berlebih.

Membaca Safe Area Gorazde ini menjadi pengingat penting agar kita semua tidak pernah mengalami perang sipil. Perang yang membutakan mata banyak sekali manusia. Mereka yang dulunya bertetangga, tega menghabisi nyawa.

Perang yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Terutama di mata anak-anak dan orang tua yang kerap menjadi korban nyata. Ketika batas negara semakin maya di era siber ini, ancaman masih ada. Sejatinya, diri manusia menghendaki perselisihan sebagai bentuk mencapai adikuasa. Sebagaimana diingatkan John Lennon juga.

Imagine there’s no possession.
I wonder if you can.

Ah iya, mengapa lagu Imagine bertaut dengan Gorazde? Karena pada tahun 1994-1996 lagu tersebut (dan Zombie-nya The Cranberries) kerap diputar di televisi nasional sebagai bagian dari outcry internasional menghendaki krisis Bosnia berakhir.

No need for greed or hunger.
A brotherhood of man.

Keserakahan masih bisa menjadi biang nyata. Ironisnya itu menjadi subyek “perang” lain yang direkam Sacco kemudian. Di Palestina dan Gaza.

Seram juga kalau lagu Pak Lennon terus relevan.

Related

war literature 2861973941914220048

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item