Review Film Turning Red: Derita Orangtua Kala Anak Jadi Panda


Pixar merilis film baru berjudul Turning Red yang berkisah mengenai alegori-fantasi tumbuh kembang anak-anak menuju remaja. Yang menarik, film ini barangkali akan meninggalkan kesan lebih justru kepada orangtua yang ikut menontonnya.

Menanggapi tagline film yang berkata “growing up is a beast”, orangtua tentu akan sepakat. Membesarkan anak yang mulai masuk ke fase-fase bertumbuh itu selalu berjalan bersama apa yang disebut “growing pains”.

Film “Turning Red” membawa alegori “growing pains” tersebut dalam kisah fantasi yang jenaka. Ceritanya tentang Mei-Mei, anak perempuan berusia 13 tahun yang beranjak masuk ke fase remaja. Tentu saja, secara biologis, “menjadi merah” di fase ini ditandai dengan menstruasi. Tapi di film ini, Mei tiba-tiba berubah jadi panda merah!

Mei-Mei berubah jadi panda ketika ia tidak bisa mengontrol emosinya. Jadi ketika marah, over-excited, sedih, dan sebagainya, ia akan berubah jadi panda. Maka, bagaimana Mei akan membawa karakter pandanya ini, pertama ke orangtuanya, lalu ke teman-temannya?

Bagi yang mempunyai anak perempuan, mudah menemukan celah untuk bisa masuk ke poin yang akan disampaikan dalam film ini. Ketika membuat tulisan ini, anak saya (perempuan) berusia 11 tahun dan kami mulai mengalami gejala-gejala ia akan berubah jadi panda. Eh, maksudnya, simtom ia masuk ke dunia remaja.

Simtom emosi yang mungkin makin sulit dipendam. Keinginan untuk mengekspresikan diri. Lalu juga seperti halnya di film “Turning Red” ini, fase dilematis juga memilih bersama teman (daring atau luring) atau dengan keluarga?

Latar Pendukung


Pixar menghadirkan alegori dan setting yang unik dalam menyampaikan pesannya. Kreatornya, Domee Shi (herself, Chinese-Canadian), sangat memahami bahwa dilema besar seperti ini akan terjadi dalam kultur budaya yang masih memertahankan nilai ikatan keluarga seperti umumnya di Asia. Oleh karena itu, karakter Mei-Mei diceritakan sebagai keturunan Asia yang tinggal di Toronto, Kanada.

Toronto adalah kota multikultur yang sangat kuat nuansa etnisitas Asianya. Kultur India dan Asia Timur sangat terasa di kota tersebut, yang dihadirkan juga melalui karakter-karakter pendukung dalam film. Beberapa di antaranya stereotipikal juga yang kerap kita dengar dalam bit komika macam Ronnie Chieng atau (legenda Toronto) Russell Peters mengenai orangtua Asia.

Hal lain yang juga menarik adalah diambilnya tahun 2000-an awal sebagai latar waktu. Awalnya cukup bingung melihat masih ada telepon rumah dan mainan tamagotchi. Tetapi dimengerti juga setting waktu ini akan lebih masuk untuk menggambarkan ikatan pertemanan yang berbeda dibanding zaman ini.

Target pemirsa film ini tampaknya adalah orangtua-orangtua yang pada latar waktu film ini masih menjadi remaja. Yang happening dengan bubblegum pop serta boyband macam N Sync atau Backstreet Boys. Masa ketika geng-geng pertemanan juga masih relevan, yang mungkin agak asing pada era anak-anak bergaul di Discord seperti zaman now.

Oleh karena itu, meski tetap menyenangkan juga ditonton anak-anak, menyelesaikan film ini barangkali akan membuat orangtua diam sejenak dan memetik hikmah. Bahwa pada masa menuju remaja, memang “growing pains”-nya akan dirasakan juga oleh orangtuanya.

Pada akhir hari, anak-anak kita akan menemukan panda mereka sendiri. Dan film ini menjadi pengingat menarik untuk ditonton bersama anak-anak. Bahwa kala masa itu tiba, problem ini jadi masalah bersama.

Related

turning red 6939640937180620911

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item