James Hetfield dan Sindrom Popularitas


Membuang sisi yang telah memberi banyak hal pastinya sulit. Termasuk popularitas, yang di dalamnya muncul juga ekspektasi dan image dalam persepsi orang banyak. Sindrom ini dialami banyak figur publik.

Beberapa hari belakangan, saya mengikuti kabar mengenai insekuritas yang dialami frontman Metallica, James Hetfield. Singkat cerita, dalam sebuah konser di Brasil, Papa Het bilang kalau kadang ia merasa sudah terlalu tua dan takut tidak bisa memenuhi ekspektasi semua orang lagi.

Di hadapan puluhan ribu jamaah Metalikiyyah, pengakuan itu cukup mengejutkan. Disusul spontan anggota band lainnya segera menghampiri Papa Het dan memberikan pelukan. “Karena mereka (anggota band) dan kalian (penggemar) saya masih merasa berarti,” kata gitaris wal vokalis band yang sudah menjual puluhan juta rekaman serta - arguably - yang menempatkan musik metal dalam radar banyak orang.

Papa Het memang pribadi unik. Seorang introvert, pendiam, yang memimpin kapal bernama Metallica. Band dengan musik yang diidolakan masokis dan meletupkan testosteron. Baju hitam-hitam dan memimpin penyaluran adrenalin bagi umatnya melalui teriakan, kadang sumpah serapah, serta yang jelas downpicking senar gitar nan terhubung dalam tata suara yang menggelegar.

Imaji James Hetfield adalah sosok yang berdiri dalam postur templat aspirasi jutaan gitaris sambil menenteng ESP-nya. Imaji yang dikatakan Papa Het sendiri, dalam film dokumenter Some Kind of Monster (2004), sebagai “Devil Het". Sosok yang ia ciptakan untuk mengatasi rasa gugup, minder, dan kurang percaya diri dengan bantuan substansi alkohol. Hingga akhirnya “Devil Het” mengambil alih proyeksi atas diri - seperti Jekyll and Hyde.

Seiring menua, Het sangat serius coba membuang sisi “Devil Het”, salah satunya dengan memperkenalkan karakter “Papa Het”. Sejak menjadi orangtua bagi ketiga anaknya, terutama usai menjalani terapi adiksi alkohol pada 2003, Hetfield mencoba memancarkan pribadi yang berbeda kepada khalayak. Namun, pesan-pesan mengenai keinginan lepas dari “Devil Het” ini sebetulnya sudah mulai acap disampaikan melalui lirik-lirik yang ia tulis pasca album Metallica/Black Album (1991).

Usai album tersebut, Metallica baru merilis kembali pada 1996 yang ditandai dengan perubahan imej mereka. Tidak lagi gondrong, dan lebih memberi dinamika dalam musiknya. Lewat album Load (1996) dan Reload (1998), Metallica acap dicibir melemah dan meninggalkan akarnya. Melihat kembali (retrospektif), sepertinya mereka memang ada upaya sengaja untuk bertolak haluan, terutama James Hetfield.

Secara tema, lirik dalam album Load dan Reload banyak menyorot mengenai ketenaran, perang dengan diri sendiri, kesemuan gemerlap hidup, dan bangunan fana popularitas. Singel pertama Load, “Until It Sleeps” adalah testamen yang cukup jelas mengenai upaya meredam “beast” yang ada dalam diri sendiri.

Pada “King Nothing”, Hetfield lebih frontal lagi bicara mengenai hadiah semu dari popularitas. Tema yang kontinu dari lagu “The House that Jack Built”. Berkata: "the higher your place, the higher you fall", berarti mempertanyakan lagi motivasi untuk mencapai puncak tertinggi.

Dalam kontinuitas album yang dibuat pada masa bersamaan dengan Load, yaitu Reload, singel paling terkenalnya "The Memory Remains" juga berkutat pada struggle yang sama. Tekanan popularitas.



Katarsis Papa Het

Industri musik memang penuh kompetisi. Apalagi dalam genre musik yang mengandalkan skill dan power seperti metal. Musisi layaknya atlit yang didorong untuk tetap di puncak. Tekanan inilah yang pastinya “diderita” oleh James Hetfield ketika ia mulai menuai popularitas terlebih ketika album kelima Metallica mengangkat mereka melesat sendirian.

Perubahan atmosfer dan tekanan seperti inilah yang kemudian banyak memakan korban. Para musisi yang depresi, bahkan hingga hilang nyawa, karena crack under pressure. Salah satunya terjadi pada masa antara album Black dan Load. Pada 1994, vokalis Nirvana, Kurt Cobain, bunuh diri dengan meninggalkan pesan “better to burnt out than to fade away”.

Bagi James Hetfield yang selalu mendapat tekanan untuk terus bisa akbar, tekanan seperti itu jadi problematika yang paralel. Ditambah lagi naluri introvertnya yang membuat dirinya, by default, selalu overthinking. Lagu "Nothing Else Matters" hampir batal eksis karena Hetfield merasa itu "tidak Metallica". Beruntung orang di sekelilingnya punya pikiran berbeda.

Mungkin poin inilah yang disampaikan James di Brasil mengenai support dari Lars Ulrich dan Kirk Hammett. Kemudian di masa-masa belakangan, fans juga (ternyata) mulai embrace sisi utuh manusiawi dari James Hetfield dan kawan-kawan. Guyonan basi mengenai skill drum Lars Ulrich yang tidak lagi relevan. Atau menerima bahwa pedal wah dan Kirk Hammett adalah satu entitas.

Penggemar metal puritan yang selalu berkiblat pada empat album awal Metallica (saja) juga mulai terdengar seperti resital usang. Metallica lebih bisa embrace karya-karya terbaru mereka, termasuk dari album St Anger (2003) yang seperti dibuat hasil dari kecelakaan. Namun, tema album tersebut sejatinya sangat dalam dan relevan terhadap kondisi yang dialami Hetfield sampai sekarang.

Metallica, dalam konsernya, kini menampilkan variasi yang kaya dari katalog karier mereka selama empat dekade. Seharusnya memang demikian. James tidak perlu mendengarkan troll metal puritan dan percaya diri dengan kapasistasnya sebagai inspirator jutaan orang. James akan selalu diterima sebagai pribadi yang bisa menulis "Master of Puppets" di usia 20-an tahun, lalu merawikan katarsis "Halo on Fire" pada usia 50-an.

Bahwa jelang kepala enam ia masih menjadi simbol penyaluran adrenalin jutaan orang adalah testimoni sendiri bagaimana ia dilihat oleh penggemarnya. Andai ia mau memeluk sisi lain, rasanya masih ada jutaan juga yang mau bertumbuh bersamanya. Berdamai mendengarkan sisi spiritual Papa Het yang menuliskan ini di salah satu liriknya: "Love is control. I'll die if I let go."

We are with you, Papa Het.

Related

STICKY 5331737271561944403

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item