Lebaran, Kali Ini


Biasanya, wajah cerah selalu menyapa kala kita tiba di kampung halaman.

“Lancarkah perjalanan?” tanyanya. Dan segudang lagi topik yang kemudian kami bicarakan. Sambil menyesap teh hangat yang disuguhkan.

Pak, saya bawakan emping. Kesukaan Bapak,” sambil kami serahkan sebungkus plastik. Di ujung telepon, sebelum pulang, beliau selalu berkata hal sama: “ingin kalian selamat saja sampai sini” ketika ditanya ingin dibawakan apa. Namun, emping tersebut selalu diterimanya dengan senang hati.

Tahun ini saya berlimpah motivasi untuk mudik Lebaran. Betul, seperti yang disampaikan para urbanis dan sosiologis, saya juga akan “mudik balas dendam” lantaran dua tahun berturut ada pembatasan-pembatasan. Pertama kalinya dua tahun tidak pulang kala Lebaran.

Bagi saya, pulang Lebaran itu sejenak menjadikan kita kembali ke titik mula. Romantisme usia ketika belum dewasa, yang berlimpah kasih sayang orangtua serta sanak saudara. Masa-masa ketika kita menjadi sentra atensi dalam kumpul keluarga.

Pulang (kala) Lebaran itu momentum rekoneksi kedewasaan dan jatidiri sebagai anak. Entah mengapa, aura ini kurang nampak pada momen-momen lain. Biasanya, pulang selain Lebaran memang mempunyai muatan motif lainnya.

Oleh karena itu, tidak jarang ketika Lebaran apa yang kita cari adalah simpul memori masa lalu kita. Jajanan yang dulu tak terbeli. Wilayah yang dulu menyimpan banyak kenangan. Rumah lama, kampung lama, atau lapangan lama yang kini sudah berubah menjadi perumahan barangkali. Atau kerabat dan sahabat lama?

Layaknya sebuah siklus, saya menyadari bahwa kelak kita akan menjalani situasi tidak bisa lagi pulang. Karena, justru kitalah yang kemudian menjadi kampung halaman. Menunggu mereka yang mau berbagi peran sebagai anak-anak kita.

Dalam bingkai kenangan seperti Lebaran lalu, seperti biasa Bapak melepas kami yang akan kembali ke kota dengan ucapan “…sepi lagi di sini”. Dan baru saya mengerti kemudian bahwa penghiburan “…nanti kami bisa ke sini lagi sesaat lagi” itu sudah berbeda arti.

Lebaran, dalam suatu tradisi unik Indonesia (atau Jawa) yang amat saya banggakan, selalu jadi momentum untuk merasa mendudukkan diri. Apakah kita masih butuh pulang, atau nantinya kita berharap ada yang pulang ke kita?

Tahun ini ketika tiba di kampung, saya merindukan sosok yang menyambut saya pulang. Saya berkunjung ke rumah Bapak. Kali ini ada ibu, kakek, nenek, dan sekian kerabat yang sudah beberapa Lebaran tidak bersamanya di rumah.

Pak, saya tidak membawa emping tahun ini. Tapi semoga khatam Quran ini bisa menjadi pelita yang menghangatkan kita semua Lebaran ini.”



Rumah Bapak kali ini sepetak tanah, dengan nisan tak bernama. Ia berbagi liang bersama istrinya, ibu dan bapaknya, serta kakaknya. Saya membayangkan ia tengah bahagia berlebaran menjalani peran sebagai anak yang kembali ke orangtuanya.

Taqaballahu minna wa minkum, Pak. Maafkan anakmu.

Related

STICKY 6778333200827872634

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item